Tiga Model Teologi Agama
Teologi Agama-agama (dalam bahasa Inggris Theology of Religions,
dalam bahasa Latin Theologia Religionum) adalah cabang dari ilmu
teologi yang membahas bagaimana kekeristenan memberi respons teologis
terhadap kenyataan adanya pluralitas agama di luar dirinya. Secara umum, ada tiga model pandangan teologi agama-agama: eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Mari kita pelajari satu persatu:
- Eksklusivisme
Pertama,
pandangan eksklusivisme memiliki pandangan eksklusif mengenai
keselamatan. Eksklusivisme menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen
ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan diluar agama Kristen sama
sekali tidak ada keselamatan. Ayat yang digunakan umumnya adalah kitab
Kis 4:12 dan Yoh 14:6. Dalam Gereja Katolik, Paus Bonifasius VIII
merumuskan pandangan ini dalam semboyan “Extra ecclesia nulla salus”
yang berarti “diluar gereja tidak ada keselamatan”.
Teolog yang mewakili pandangan eksklusif adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Barth
berpendapat bahwa agama adalah ketidakpercayaan. Agama-agama merupakan
upaya manusia yang sia-sia untuk mengenal Allah. Allah hanya bisa
dikenal kalau Allah sendiri yang memperkenalkan DiriNya. Allah sudah
memperkenalkan diriNya didalam dan melalui Yesus Kristus. Injil adalah
anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, sedangkan agama-agama adalah
upaya manusia yang sia-sia. Sebab itu, tidak ada hubungan antara Injil
dengan agama-agama. Tidak ada hubungan antara anugerah Allah di dalam
Yesus Kristus dengan upaya sia-sia manusia. Ini juga berlaku bagi agama
Kristen. Tetapi agama Kristen dibenarkan karena Injil anugerah yang
dipegangnya.
Hal senada, namun beda argumen disampaikan Kraemer,
yang berpendapat bahwa penyataan di dalam Yesus Kristus merupakan
kriteria satu-satunya yang dengannya semua agama-agama, termasuk agama
Kristen, dapat dimengerti dan dinilai. Yesus Kristus ditempatkan sebagai
satu-satunya kriteria dalam memahami dan menilai agama-agama. Penyataan
umum diakui keberadaannya, teologi naturalis, tetapi tidak berdiri
sendiri. Penyataan umum itu harus terkait dalam penyataan diri Yesus.
Titik tolak Kraemer adalah “biblical realism” (kenyataan alkitabiah)
yang mengandung dua hal: realitas alkitabiah menunjuk pada kesaksian
mendasar Alkitab tentang kemahakuasaan Allah dan keberdosaan manusia
yang diperhubungkan dengan inkarnasi Yesus Kristus; dan pandangan
mengenai agama-agama lain sebagai sistem yang meliputi segalanya, yang
masing-masing ditandai pemahaman-pemahaman tersendiri akan totalitas
eksistensi. Sebab itu, antara Injil dan agama-agama tidak ada
kesinambungan
- Inklusivisme
Kedua, Pandangan
inklusivisme yang berkembang sejak Konsili Vatikan II. Pandangan ini
mengandung dialektika penerimaan dan penolakan agama-agama lain. Pada
satu sisi, inklusivisme menerima adanya manifestasi rohani di dalam
agama-agama lain, shingga dapat disebut suatu tempat bagi kehadiran
ilahi. Pada pihak lain, agama-agama ditolak sebagai yang tidak mencukupi
bagi keselamatan, karena hanya dalam krsitus saja ada keselamatan.
Kitab yang dijadikan dasar adalah kitab Lukas 4:21, 24:27, Kis 10:34-35,
Yoh 1:1-4.
Teologi agama-agama berpandangan inklusivisme ini dianjurkan oleh Yustinus Martir, Deklarasi Konsili Vatikan II, Karl Rahner danHans Kung.
Yustinus Martir,
bapa gereja abad kedua, terkenal dengan istilahnya “Logos Spermatikos”
(benih-benih logos/firman). Martir, berdasarkan Yoh 1:1-5, berpendapat
bahwa di dalam dunia ada logos spermatikos yang merupakan bagian dari
kehadiran Allah memelihara ciptaanNya yang telah dirusakkan oleh dosa.
Sejajar dengan filsafat Stoa, iayakin bahwa semua orang berpartisipasi
dalam Akal kosmik universal, yaitu Logos ilahi yang abadi, yang menjadi
prinsip dari rasionalitas yang terpadu merembesi kenyataan dasar alam
semesta secara keseluruhan. Yesus Kristus itulah Logos ilahi yang abadi.
Teori Logos Spermatikos menyatakan adanya kehadiran Kristus dalam dunia
yang mengungkap kebenaran dalam filsafat dan dalam agama-agama.
Pandangan inklusivisme lainnya, kita peroleh dari Konsili Vatikan II
(1962-1965) dalam dokumen Nostra Aetate (Dewasa`Kita), yaitu Deklarasi
tentang sikap gereja (Katolik) terhadap agama-agama bukan Kristen.
Deklarasi tersebut menyatakan bahwa dalam agama-agama lain, ada usaha
menanggapi kegelisahan hati manusia dengan pelbagai cara sambil
menganjurkan jalan, yakni ajaran (kultus), peraturan (etis), dan ibadat
suci (ritus); gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci
dalam agama-agama, danmemandang dengan penghargaan yang jujur bahwa
tidak jarang itu memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangi semua
masnusia. Terhadap Hindu, Konsili Vatikan II memahami
bahwa di dalam Hinduisme, manusia meneliti misteri ilahi lalu
mengungkapkannya dengan perbendaharaan mitos yang luar biasa kaya dan
dengan usaha-usaha filsafatnya yang tajam, dan mencari pembebasan
melalui bentuk-bentuk meditasi yang mendalam, atau pula dengan berpaling
kepada Allah dengan cita kasih dan pengharapan. Terhadap Budhisme,
ada diajarkan jalan, yang dengannya manusia dapat mencapai tahap
pembebasan sempurna atau atau dapat menggapai pencerahan tertinggi
dengan usaha-usaha sendiri atau dengan bantuan dari atas. Terhadap Islam,
yang menyembah Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang
Mahapengasih dan Maha kuasa, Pencipta, Yang berbicara kepada manusia.
Terhadap Yahudi, gereja Katolik mendorong persaudaraan
dengan umat Yahudi, dan menentang antisemitisme, sikap anti Yahudi oleh
fasisme Hitler masa perang Dunia II yang menewaskan enam juta orang
Yahudi.
Penganjur Inklusivisme, Karl Rahner,
menggabungkan suatu teologi yang bersifat kristosentris dengan
pengalaman keagamaan non-Kristen. Kristus tetap pusat dan kriteria dari
anugerah dan penyelamatan Allah. Sebab itu, orang non-Kristen disebutnya
sebagai orang Kristen anonim. Gagasan ini dikemukakan dalam
empat tesis: agama Kristen ditujukan untuk semua orang, sehingga agama
lain tak diakui; agama nonkristen menjadi saluran anugerah Allah dalam
Kristus, sebelum Injil memasuki sejarah individunya; agama Kristen
menghadapi agama lain sebagai Kristen anonim; orang Kristen sebagai
barisan terdepan yang nyata dari harapan Kristen yang hadir sebagai
realitas terselubung dalam agama-agama lain. Tokoh inklusif lainnya, Hans Kung, menyebut pendirian kritis-oikumenis, yang
memandang agama dari luar dan dari dalam. Dari luar dengan pengakuan
akan kebenaran dalam agama-agama, dan dari dalam, dengan kebenaran dalam
agama sendiri.
- Pluralisme
Ketiga, pandangan
Pluralisme yang tergolong kontroversial dan baru. Pandangan ini mengakui
adanya kebenaran yang sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda.
Dasarnya adalah pengkajian kembali berita Alkitab, khususnya mengenai
Kristologi. Pluralisme menggeser Kristosentris ke Theosentris, dengan
dasar kitab Yoh 14:28, 17:3, 1Kor 15:28, sikap teosentri Yesus, kitab
Mazmur, nabi-nabi, dan filsafat agama.Penganjur pluralisme, E.Hocking, menekankan perubahan fungsi pekabaran Injil dari peran kristenisasi menjadi peran kemitraan dalam mengembangkan agama lain; Arnold Toynbee menganjurkan untuk mengakui agama-agama lain sambil berpegang teguh pada keyakinan agama sendiri; Ernst Troeltsch berpendapat bahwa kebenaran suatu agama terikat pada suatu kebudayaan tertentu, dan Allah bekerja melalui seluruh agama; John Hick
menganjurkan revolusi Copernican dengan memindahkan pusat agama dari
Kristus ke Allah, sebagaimana Copernicus (matahari pusat) mengubah
pandangan geosentri Ptolemous (bumi pusat); Wilfred Cantwell Smith
menekankan penerimaan dan penghargaan pada agama-agama lain (moral dan
teologis), karena Allah yang memperkenalkan diri dalam Kristus penuh
kasih dan yang menyelamatkan, termasuk dalam agama lain, dan
agama/komunitas bersama-sama menuju pada satu tujuan akhir, yaitu Allah
sendiri; Wesley Ariarajah menggeser tekanan
kristosentrisme ke teosentrisme, dan mengusahakan dialog dalam
penghargaan dan keterbukaan kepada agama-agama lain, ayat-ayat eksklusif
mestilah dipahami dengan seluruh kesaksian Perjanjian Baru dan dipahami
dari sudut bahasa iman, bahasa cinta.
Terima Kasih
0 komentar:
Post a Comment