Longko' - Siri' - Rasa Malu (tenggang rasa)
Mungkin dalam kehidupan sosial anda dalam lingkup Toraja anda sering mendengar mengenai kata Longko' atau siri'. kedua kata ini ternyata memiliki makna yang menarik mari kita lihat penjelasannya berikut ini:
Harga diri pada cara hidup orang Toraja diungkapkan melalui "longko'" dan "siri'"[1]. Semua nilai harus diperoleh dalam kerangka AsP. Melakukan sesuatu di luar kerangka AsP adalah sama dengan dosa dan menyebabkan rasa malu, bukan saja secara pribadi, melainkan juga pada seluruh persekutuan dan terutama pada keluarga besar. Sebab itu seseorang akan selalu berusaha untuk tidak berbuat onar terhadap persekutuan keluarga, karena secara otomatis yang bersangkutan juga akan dipermalukan.
Harga diri pada cara hidup orang Toraja diungkapkan melalui "longko'" dan "siri'"[1]. Semua nilai harus diperoleh dalam kerangka AsP. Melakukan sesuatu di luar kerangka AsP adalah sama dengan dosa dan menyebabkan rasa malu, bukan saja secara pribadi, melainkan juga pada seluruh persekutuan dan terutama pada keluarga besar. Sebab itu seseorang akan selalu berusaha untuk tidak berbuat onar terhadap persekutuan keluarga, karena secara otomatis yang bersangkutan juga akan dipermalukan.
Harga diri
adalah nilai yang tinggi, sebab itu seseorang akan selalu berusaha berperilaku
yang baik, agar ia jangan dipermalukan atau mempermalukan orang lain.
Longko' adalah
juga "tenggang rasa", atau "teposeliro", artinya bersikap
sopan dan hormat untuk tidak membuat orang dipermalukan. Tetapi sikap itu bisa
juga karena kita takut dipermalukan, maka kita juga berusaha untuk tidak
mempermalukan orang lain.
Sikap longko'
ini merupakan sumber dan dasar dari ungkapan-ungkapan berikut:
"tae'
nama'din untossok matanna bale"[2]
"tae'
nadibatang dallei tu tau"[3]
"ketanduk
tu kada"[4]
"nasulemora
tama inanna"[5]
"tae'
nadipopa'kambelang tu kada"[6]
"patiro
mata apa tang tiku'bi' puduk"[7],
dan sebagainya.
Semua ungkapan
di atas mengatakan hal yang sama, yaitu bahwa kita tidak boleh secara langsung,
terang-terangan, mengatakan sesuatu (to the point), kalau hal itu bisa
menyakiti atau mempermalukan orang lain.
Sesuatu itu harus diungkapkan secara halus, seperti:
"dipontobannangi"[8],
dengan cara "goratongkon"[9]
atau dengan "ma'basa Toraya"[10].
Bahasa
"goratongkon" adalah gaya bahasa dalam diskusi-diskusi resmi untuk
tidak mengungkapkan sesuatu secara langsung dan terang-terangan. Untuk gaya
bahasa gora-tongkonan ini diperlukan pengetahuan bahasa yang mendalam dan
ketrampilan untuk menafsir dalam kerangka adat dan kebudayan. "Ma'basa Toraya"
tidak hanya berarti berbahasa Toraja, tetapi mengungkapkan sesuatu dengan gaya
bahasa orang Toraja, yang bagi orang yang tidak mahir bahasa Toraja, tidak
jelas atau terbuka bagi bermacam tafsiran dengan maksud untuk menghindari suatu
perasaan tidak enak atau rasa tersinggung pada pendengarnya. Tetapi justru gaya
bahasa yang demikian bisa mengakibatkan salah interpretasi dan salah paham
sehingga justru menghasilkan apa yang ingin dihindari.
Sikap longko'
dipengaruhi juga oleh nilai-nilai lain, seperti "disukai oleh semua
orang"[11],
atau paling sedikit "anna da' napokada boko' ki' tau"[12]
(agar jangan kita menjadi buah bibir orang).
Longko' adalah
sikap hidup dengan unsur-unsur positif, terutama yang menyangkut kesopanan dan
perilaku yang baik. Tetapi ada juga segi negatifnya. Ia bisa juga membuat orang
bersikap statis. Longko' bisa mematikan semua inisiatif untuk mengembangkan
kehidupan. Oleh sebab itu longko' sebagai sikap budaya berdasarkan perasaan
bisa merupakan penghalang bagi pemikiran yang dinamis, yang seharusnya
mendorong kita kepada pengembangan kehidupan. Jadi jelas: kita mengehendaki
yang satu, tetapi dihalangi oleh yang lain. Nilai yang kita butuhkan ialah yang
menjamin kedamaian dan harmoni dalam kehidupan persekutuan. Dari sini hanya
selangkah saja untuk tiba pada persekutuan sebagai prioritas yang menentukan
segala nilai.
Terima Kasih Telah Membaca!
Catatan: Gambar hanya Pemanis...he..he
Like and share adalah wujudnyata dari terima kasih Anda!!
0 komentar:
Post a Comment