Wednesday, April 10, 2019

Longko' - Siri' - Rasa Malu dalam Kehidupan Suku Toraja



Longko' - Siri' - Rasa Malu (tenggang rasa)


Mungkin dalam kehidupan sosial anda  dalam lingkup Toraja anda sering mendengar mengenai kata Longko' atau siri'. kedua kata ini ternyata memiliki makna yang menarik mari kita lihat penjelasannya berikut ini:
Harga diri pada cara hidup orang Toraja diungkapkan melalui "longko'" dan "siri'"[1]. Semua nilai harus diperoleh dalam kerangka AsP. Melakukan sesuatu di luar kerangka AsP adalah sama dengan dosa dan menyebabkan rasa malu, bukan saja secara pribadi, melainkan juga pada seluruh persekutuan dan terutama pada keluarga besar. Sebab itu seseorang akan selalu berusaha untuk tidak berbuat onar terhadap persekutuan keluarga, karena secara otomatis yang bersangkutan juga akan dipermalukan.
Harga diri adalah nilai yang tinggi, sebab itu seseorang akan selalu berusaha berperilaku yang baik, agar ia jangan dipermalukan atau mempermalukan orang lain.
Longko' adalah juga "tenggang rasa", atau "teposeliro", artinya bersikap sopan dan hormat untuk tidak membuat orang dipermalukan. Tetapi sikap itu bisa juga karena kita takut dipermalukan, maka kita juga berusaha untuk tidak mempermalukan orang lain.
Sikap longko' ini merupakan sumber dan dasar dari ungkapan-ungkapan berikut:
"tae' nama'din untossok matanna bale"[2]
"tae' nadibatang dallei tu tau"[3]
                        "ketanduk tu kada"[4]
"nasulemora tama inanna"[5]



"tae' nadipopa'kambelang tu kada"[6]
"patiro mata apa tang tiku'bi' puduk"[7], dan sebagainya.
Semua ungkapan di atas mengatakan hal yang sama, yaitu bahwa kita tidak boleh secara langsung, terang-terangan, mengatakan sesuatu (to the point), kalau hal itu bisa menyakiti atau mempermalukan orang lain.
Sesuatu  itu harus diungkapkan secara halus, seperti: "dipontobannangi"[8], dengan cara "goratongkon"[9] atau dengan "ma'basa Toraya"[10].
Bahasa "goratongkon" adalah gaya bahasa dalam diskusi-diskusi resmi untuk tidak mengungkapkan sesuatu secara langsung dan terang-terangan. Untuk gaya bahasa gora-tongkonan ini diperlukan pengetahuan bahasa yang mendalam dan ketrampilan untuk menafsir dalam kerangka adat dan kebudayan. "Ma'basa Toraya" tidak hanya berarti berbahasa Toraja, tetapi mengungkapkan sesuatu dengan gaya bahasa orang Toraja, yang bagi orang yang tidak mahir bahasa Toraja, tidak jelas atau terbuka bagi bermacam tafsiran dengan maksud untuk menghindari suatu perasaan tidak enak atau rasa tersinggung pada pendengarnya. Tetapi justru gaya bahasa yang demikian bisa mengakibatkan salah interpretasi dan salah paham sehingga justru menghasilkan apa yang ingin dihindari.





Sikap longko' dipengaruhi juga oleh nilai-nilai lain, seperti "disukai oleh semua orang"[11], atau paling sedikit "anna da' napokada boko' ki' tau"[12] (agar jangan kita menjadi buah bibir orang).
Longko' adalah sikap hidup dengan unsur-unsur positif, terutama yang menyangkut kesopanan dan perilaku yang baik. Tetapi ada juga segi negatifnya. Ia bisa juga membuat orang bersikap statis. Longko' bisa mematikan semua inisiatif untuk mengembangkan kehidupan. Oleh sebab itu longko' sebagai sikap budaya berdasarkan perasaan bisa merupakan penghalang bagi pemikiran yang dinamis, yang seharusnya mendorong kita kepada pengembangan kehidupan. Jadi jelas: kita mengehendaki yang satu, tetapi dihalangi oleh yang lain. Nilai yang kita butuhkan ialah yang menjamin kedamaian dan harmoni dalam kehidupan persekutuan. Dari sini hanya selangkah saja untuk tiba pada persekutuan sebagai prioritas yang menentukan segala nilai.


Terima Kasih Telah Membaca!
Catatan: Gambar hanya Pemanis...he..he
Like  and share  adalah wujudnyata dari terima kasih Anda!!


     [1]Longko', siri' = tenggang rasa, rasa malu.
     [2]Tidak boleh menusuk mata ikan; artinya tidak boleh berterus-terang karena itu bisa menyinggung.
     [3]Batang dalle = batang jagung. Kata-kata itu tidak boleh telanjang bagaikan batang jagung.
     [4]Perkataan itu bertanduk, jadi sulit ditelan.
     [5]Perkataan yang salah (ucap) akan kembali ke tempatnya semula.
     [6]Perkataan itu tidak boleh telanjang.
     [7]Mata melihat, tetapi mulut tidak bergerak, artinya mulut sulit mengungkapkan.
     [8]Gaya bahasa Toraja untuk mengungkapkan sesuatu secara ambivalen (berarti ganda) atau untuk menyindir.
     [9]Gaya bahasa tinggi seperti pontobannang.


0 komentar:

Post a Comment