Monday, April 15, 2019

Marhaenisme dan Prinsip-Prinsipnya

Marhaenisme dan Prinsip-Prinsipnya 



  •  Pengertian Marhaenisme

Secara etimologi, marhaenisme berarti paham (isme) tentang Marhaen. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,marhaen adalah penyebutan untuk kelompok petani kecil, buruh kecil, nelayan kecil, dan sebagainya. Dengan kata lain marhaen adalah sebutan untuk kaum kecil. Marhaenisme sendiri adalah paham yang bertujuan memperjuangkan nasib kaum kecil untuk mendapatkan kebahagiaan hidup.
Mengenai pengertian marhaenisme ini, Sukarno sendiri dalam amanatnya di muka Kongres Besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Tawang Mangu pada bulan Februari 1959, menyatakan:
“...azas marhaenisme adalah suatu azas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut:
1. Marhaenisme adalah azas, yang menghendaki susunan masyarakat kaum marhaen.
2. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum
    Marhaen pada umumnya.
3. Marhaenisme adalah dus azas dan cara perjuangan tegelijk,  menuju kepada hilangnya 
    kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.
Secara positif, maka marhaenisme dinamakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, karena nasionalismenya kaum marhaen adalah nasionalisme yang sosial-bewust dan karena demokrasinya kaum marhaen adalah demokrasi yang sosial-bewust pula.”

Di sini Sukarno dengan jelas menyatakan bahwa marhaenisme adalah cara perjuangan revolusioner untuk menghilangkan segala jenis penindasan terhadap rakyat marhaen (kaum kecil) demi mewujudkan suatu masyarakat marhaen, yang dibangun di atas prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah prinsip atau pilar pembangun marhaenisme, yang pembahasannya akan penulis uraikan di bagian berikut nanti.
Marhaenisme adalah istilah ciptaan Sukarno, berasal dari nama seorang petani kecil, Marhaen, yang ditemuinya di sebuah daerah pertanian di bagian  selatan kota Bandung, sewaktu Sukarno masih menjadi mahasiswa berusia 20 tahun (sekitar tahun 1921). Dari Marhaen, Sukarno mengetahui bahwa ia menggarap tanahnya sendiri, memakai alat sederhana miliknya, dan hasilnya dipakai sendiri. Dari percakapan itu Sukarno mendapat inspirasi untuk menyebut rakyat kecil dengan nasib yang sama sebagai kaum marhaen yang meliputi petani, nelayan kecil, tukang sate, tukang gerobak dan kaum kecil lainnya dalam masyarakat Indonesia.
Marhaen merupakan gambaran rakyat kecil yang banyak di Indonesia. Mereka mempunyai rumah, tanah pertanian, alat cangkul, dan hasil dari pertaniannya hanya untuk mencukupi dirinya sendiri.  Walaupun Marhaen memiliki hal-hal tadi, ia tetap miskin dan tidak sejahtera. Kemiskinan itu nampak dalam realitas kehidupan sehari-hari, seperti mendiami rumah yang tidak layak dan kebutuhan hidup sehari-hari tidak tercukupi untuk keluarganya. Bagi Sukarno, Marhaen tersebut tidak bisa disebut proletar dalam pengertian Karl Marx, karena Marhaen mempunyai alat produksi sendiri, dan tidak semata-mata menjual tenaganya kepada pemilik modal. Namun demikian ia tetap miskin. Istilah marhaen memiliki makna yang lebih luas dari proletar atau buruh, karena proletar termasuk dalam marhaen pada konteks Indonesia. Selanjutnya pengertian marhaen tidak hanya dikenakan untuk rakyat kecil, seperti petani, tukang gerobak, intelektual, dan yang lainnya; karena selanjutnya Sukarno menggunakan istilah marhaen untuk sebutan semua rakyat Indonesia, yaitu: setiap orang yang menjalankan marhaenisme.

Istilah marhaen ini adalah upaya Sukarno dalam mencari istilah yang cocok bagi konteks Indonesia yang agraris demi mengganti istilah proletar dari konteks industrialis. Ini dimaksudkan agar ia dapat menerapkan metode historis-materialisme dari Marx untuk memahami dan menjelaskan proses kapitalisme dan kolonialisme-imperialisme yang menciptakan penindasan dan kemiskinan di Indonesia, serta dapat memakai teori konflik Marx untuk menyatukan dan menggerakkan rakyat untuk melawan kolonial Belanda dalam perjuangan kemerdekaan. Ini adalah suatu kontekstualisasi politik dari Sukarno. Itulah sebabnya Sukarno mengatakan, ”Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek.”
Marhaenisme adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional. Kepribadian yang senantiasa menekankan persatuan dalam gotong-royong. marhaenisme merupakan suatu gerakan massa yang bersatu untuk kepentingan massa, dan di dalamnya Sukarno mewakili segenap rakyat Indonesia. Persatuan merupakan isu penting dalam marhaenisme, dan Sukarno menginginkan memasukkan sebanyak mungkin golongan politik agar kekuatan revolusioner semakin bertambah banyak, serta kuat guna mencapai Indonesia merdeka.
Itu juga sebabnya dalam ”Indonesia Menggugat”, Sukarno menyamakan marhaenisme dengan massaisme. Marhaen adalah simbol kaum kecil yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia.  Ia adalah massa yang walaupun kecil dalam status dan pemilikan, tetapi besar dalam jumlah yang bila disatukan, bisa menjadi kekuatan besar untuk melawan kolonialisme. Dalam kaitan inilah terkenal semboyan Sukarno dalam perjuangan revolusioner, machtsvorming dan machtsaanwending, menyusun kekuatan massa aksi dan menggerakkan aksi massa. Bagi Sukarno, marhaen adalah modal dasar untuk melakukan perjuangan revolusi, agar kapitalisme dan imperialisme Barat hilang dari tanah air Indonesia, dan kemerdekaan Indonesia dapat tercapai.
Sifat revolusioner dan anti kapitalisme Barat dari marhaenisme ini, sering membuat orang menyamakan marhaenisme dengan marxisme. Namun sebenarnya sifat revolusioner dan anti kapitalisme Barat itu, lebih disebabkan karena marhaenisme sebagai sosialisme Indonesia memandang bahwa kapitalisme Barat tidak sesuai dengan alam Indonesia dan tidak memberi kesejahteraan kepada rakyat, sebab pengalaman penjajahan menjadikan mereka tetap miskin. Kapitalisme dan sosialisme Barat hanya memberi hak-hak politik, sedangkan dalam bidang ekonomi,  rakyat selalu kekurangan; dan menghasilkan masyarakat dalam kelas-kelas sosial.
Dalam hal ini, di satu pihak kita harus mengakui bahwa marhaenisme memiliki akar dalam marxisme, karena Sukarno dalam marhaenisme memakai metode historis-materialisme untuk menganalisa kondisi masyarakat Indonesia dengan tujuan agar dapat memahami perkembangan dalam masyarakat Indonesia dan dapat menganalisa bagaimana seharusnya perjuangan kemerdekaan dilakukan secara mandiri dengan percaya pada kekuatan diri sendiri. Namun di lain pihak, kita harus membedakan marhaenisme dengan marxisme karena marhaenisme menolak filsafat materialisme Marx yang anti Tuhan. Di dalam marhaenisme ada ajaran tentang Tuhan. Jadi dari dua unsur pembangun marxisme, yaitu ”historis-materialisme dan filsafat materialisme”, Sukarno menolak filsafat materialisme walaupun menerima historis-materialisme. Mengenai hal ini, dalam biografi Sukarno, Dahm mengatakan:
”Dia buang filosofi materialisme dari marxisme lalu diberinya Allah: dia buang kemunduran masa lampau dari Islam dan diberinya kemajuan marxis; dibuang kesempitan pemikiran kaum nasionalisme dan diberinya suatu pengertian yang lebih luas dari dia sendiri.

Ini menjelaskan bahwa Sukarno percaya kepada Tuhan dan bukan komunis anti Tuhan. Hal ini juga nampak dalam pidato Sukarno, yang menyatakan bahwa dia percaya kepada Tuhan dan hidup dari Tuhan. Sukarno mengatakan:
”Ya, kalau saudara tanya apakah Bung Karno itu percaya kepada Tuhan? Ya, saya percaya kepada Tuhan. Malahan sebagaimana kukatakan berulang-ulang, saya hidup diberi Tuhan. Hidup, menurut anggapan saya untuk apa? Sebagai dikatakan oleh Pak Saifudin Zuhri, saya pernah berkata, untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengabdi kepada Tanah Air, mengabdi kepada cita-cita. Saya sebutkan Tuhan Yang Maha Esa nomor satu, saudara-saudara bagi saya, tanah air amanat Tuhan kepada kita. Segala alam ini adalah amanat Tuhan kepada kita.”

Dengan demikian, jelas bahwa Sukarno bukanlah seorang komunis ataupun marxis yang anti Tuhan. Justru ia seorang yang percaya kepada Tuhan dan berusaha memasukkan paham tentang Tuhan dalam marxisme, yang akhirnya melahirkan marhaenisme. Ia memang bukan seorang “Marxis murni”, tetapi ia mungkin lebih tepat dikatakan seorang “Marxis” yang nasionalis dan agamais - seorang “Marxis religius”.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa marhaenisme sebagai keseluruhan ajaran Sukarno senantiasa ingin memperjuangkan harmonisasi dan pengaktualisasian secara bebas serta mandiri dari nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, yaitu keadilan sosial dan kemerdekaan dari segala hal yang menindas kehidupan, bagi setiap marhaen atau manusia yang tertindas oleh suatu sistem (kolonialisme/imperialisme) dengan menekankan pada persatuan dan gotong-royong untuk bersama-sama berjuang secara revolusioner demi menghapuskan sistem yang menindas itu. Marhaenisme adalah suatu paham yang dimaksudkan dan berfungsi sebagai pemersatu seluruh rakyat marhaen dengan tujuan menciptakan persatuan dalam menghapuskan seluruh bentuk penindasan demi perikemanusiaan dalam masyarakat marhaen yang merdeka, adil dan makmur. Jadi, marhaenisme adalah keseluruhan ajaran Sukarno yang menghendaki penghapusan segala sistem yang menindas kaum kecil (marhaen), demi memperjuangkan nasib kaum kecil untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dalam masyarakat marhaenistis yang merdeka, adil dan makmur. Secara ringkas, marhaenisme adalah paham persatuan untuk kemerdekaan demi kemanusiaan dalam gagasan Sukarno.


  •  Prinsip-Prinsip Marhaenisme

Menurut Sukarno, marhaenisme dibangun berdasarkan dua prinsip yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Hal ini sesuai dengan isi pidato Sukarno pada Kongres Besar GMNI di Tawang Mangu dalam bulan Februari 1959, seperti yang dikutip oleh Abdulgani bahwa, “Secara positif, maka marhaenisme  saya namakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum marhaen adalah nasionalisme yang sosial-bewust dan karena demokrasinya kaum marhaen adalah demokrasi yang sosial-bewust pula.”
Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menghendaki kesejahteraan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, nasionalisme yang dibangun dalam wawasan internasionalisme, bukan nasionalisme yang chauvinistis. Nasionalisme yang saling menghargai antara bangsa-bangsa dalam kesederajatan dan perdamaian abadi, sehingga tidak menghendaki terjadinya penjajahan suatu bangsa oleh bangsa lain. Mengenai hal ini Sukarno menyatakan bahwa:
“...Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. ...Oleh karenanya, maka sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi, suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki.”

Sedangkan sosio-demokrasi adalah demokrasi yang berkeadilan sosial, bukan demokrasi yang sekedar mengedepankan perbedaan dan kemerdekaan individu yang mengabaikan kebersamaan serta tegaknya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Esensi dari sosio-demokrasi adalah tegaknya kesederajatan dan kebersamaan yang merupakan landasan bagi terwujudnya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Tujuan demokrasi adalah untuk menciptakan kesejahteraan bersama, tanpa ada penindasan manusia oleh manusia. Tentang hal ini Sukarno mengungkapkan bahwa:
“Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio demokrasi ...adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.”

Marhaenisme dengan seluruh prinsipnya sebagai sosialisme Indonesia, di bangun di atas dasar “gotong-royong” yang merupakan implementasi dari perikemanusiaan dalam budaya Indonesia yang religius. Marhaenisme dalam seluruh prinsipnya dijiwai oleh perikemanusiaan yang holistik, yang menyadari manusia sebagai bagian dari totalitas alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Di dalam marhaenisme, tersirat ajaran tentang Tuhan. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa dalam marhaenisme selain mengandung prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi juga mengandung prinsip sosio-religiusitas (Ketuhanan). Sosio-nasionalisme adalah kebangsaan yang berprikemanusiaan, yang bertujuan memperbaiki keadaan seluruh bangsa Indonesia, yang bebas dan merdeka. Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang peduli kemanusiaan, yang bertujuan memperbaiki keadaan ekonomi dan politis seluruh rakyat Indonesia, yang adil dan merata dalam kebersamaan. Sosio-religiusitas (Ketuhanan) adalah keberagamaan yang melayani kemanusiaan, yang bertujuan memperbaiki keadaan rohani-spiritual seluruh masyarakat Indonesia yang penuh kasih dan berdamai. Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dapat dikatakan sebagai prinsip eksplisit yang nyata dalam rumusan marhaenisme Sukarno, sedangkan Ketuhanan – yang dapat dibahasakan dengan sosio-religiusitas – dapat disebut sebagai prinsip implisit yang nampak dalam pernyataan Sukarno sendiri yang menyiratkan bahwa marhaenisme mengandung ajaran tentang Tuhan, seperti yang telah dijelaskan di atas.


  

Filsafat materialisme adalah ajaran yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas yang spiritual. Filsafat materialisme Marx disebut materialisme dialektis, yaitu pandangan yang menyatakan pemutlakan materi yang bergerak dalam waktu dan ruang atau pengukuhan terhadap becoming (menjadi) yang ada tanpa suatu sebab. Materialisme dialektis memadukan pandangan materialisme bahwa yang nyata adalah materi semata-mata di satu pihak, dengan “dialektika” Hegel di pihak lain. Sedangkan historis-materialisme adalah pandangan materialistis tentang sejarah yang menyatakan bahwa hakikat sejarah terjadi karena proses-proses ekonomi, dimana dinamika sejarah ditentukan oleh dialektika pada basis material; atau dengan kata lain paham yang menyatakan bahwa sejarah ditentukan oleh proses-proses ekonomi atau cara-cara produksi yang menyebabkan pertentangan kelas. Untuk lebih jelas lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 593-604  Benhard Dahm, Sukarno..., hlm. 243. Dari ungkapan Dahm ini nampak bahwa melalui marhaenisme, Sukarno telah melampaui marxisme. Marhaenisme sebagai sosialisme Indonesia merupakan formula baru ciptaan Sukarno yang menekankan persatuan, dengan mensintesakan ajaran Karl Marx, Nasionalisme, dan Islamisme (agama). Ide ini tidak ada dalam pemikiran Marx. Sukarno bukanlah seorang ”Marxis murni”, tetapi - dengan meminjam istilah Manalu - ia adalah seorang ”Marxis” yang nasionalis dan agamais, yaitu memakai analisa Marx guna mendukung pemikirannya tentang persatuan Indonesia dalam konsep marhaenisme. Marhaenisme adalah paham persatuan yang mengenal ajaran tentang Tuhan, walaupun memiliki akar dalam marxisme. Hal ini dapat kita lacak juga dalam pendapat Sukarno, yang mengatakan bahwa marhaenisme adalah sosialisme campuran antara persamaan politik dari ”Declaration of Independence” dari Amerika, persamaan dari spiritual Islam dan Kristen, dan persamaan dari ajaran Karl Marx. Ia dipercikkan ke dalam gotong-royong yang menjadi jiwa, dimana ada kerja sama, hidup bersama, dan saling membantu. Ketika dimasukkan dalam konteks Indonesia, ia disebut sosialisme Indonesia. Di sini nampak bahwa melalui marhaenisme Sukarno ingin menyatukan paham-paham yang membelah dunia. Jadi walaupun marhaenisme memiliki akar dalam marxisme, namun marhaenisme tidak dapat disamakan begitu saja dengan marxisme, karena marhaenisme telah melampaui marxisme. Untuk lebih jelas tentang persamaan dan perbedaan marhaenisme dengan marxisme. 

1 comment:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia ^^
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat :)
    Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino

    - Adu Q
    - Bandar Q
    - Bandar Sakong
    - Bandar Poker
    - Poker
    - Domino 99
    - Capsa Susun
    - BANDAR66 / ADU BALAK ( GAME TERBARU )

    Contact Us
    Website arena-domio.net
    WA : +855964967353
    Kami Siap Melayani anda 24 jam Nonstop

    ReplyDelete