Marhaenisme dan Prinsip-Prinsipnya
- Pengertian Marhaenisme
Secara etimologi, marhaenisme
berarti paham (isme) tentang Marhaen. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,marhaen adalah penyebutan untuk kelompok petani kecil, buruh kecil, nelayan
kecil, dan sebagainya. Dengan kata lain marhaen adalah sebutan untuk kaum
kecil. Marhaenisme sendiri adalah paham yang bertujuan memperjuangkan nasib
kaum kecil untuk mendapatkan kebahagiaan hidup.
Mengenai pengertian marhaenisme ini,
Sukarno sendiri dalam amanatnya di muka Kongres Besar Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) di Tawang Mangu pada bulan Februari 1959, menyatakan:
“...azas marhaenisme adalah suatu azas yang paling cocok untuk gerakan
rakyat di Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut:
1.
Marhaenisme adalah azas, yang menghendaki susunan masyarakat kaum marhaen.
2.
Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum
Marhaen pada umumnya.
3.
Marhaenisme adalah dus azas dan cara perjuangan tegelijk, menuju kepada hilangnya
kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.
Secara
positif, maka marhaenisme dinamakan juga sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi, karena nasionalismenya kaum marhaen adalah nasionalisme yang
sosial-bewust dan karena demokrasinya kaum marhaen adalah demokrasi yang
sosial-bewust pula.”
Di sini
Sukarno dengan jelas menyatakan bahwa marhaenisme adalah cara perjuangan
revolusioner untuk menghilangkan segala jenis penindasan terhadap rakyat
marhaen (kaum kecil) demi mewujudkan suatu masyarakat marhaen, yang dibangun di
atas prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi adalah prinsip atau pilar pembangun marhaenisme, yang
pembahasannya akan penulis uraikan di bagian berikut nanti.
Marhaenisme adalah istilah ciptaan
Sukarno, berasal dari nama seorang petani kecil, Marhaen, yang ditemuinya di
sebuah daerah pertanian di bagian
selatan kota Bandung, sewaktu Sukarno masih menjadi mahasiswa berusia 20
tahun (sekitar tahun 1921). Dari Marhaen, Sukarno mengetahui bahwa ia menggarap
tanahnya sendiri, memakai alat sederhana miliknya, dan hasilnya dipakai
sendiri. Dari percakapan itu Sukarno mendapat inspirasi untuk menyebut rakyat
kecil dengan nasib yang sama sebagai kaum marhaen yang meliputi petani, nelayan
kecil, tukang sate, tukang gerobak dan kaum kecil lainnya dalam masyarakat
Indonesia.
Marhaen merupakan gambaran rakyat kecil
yang banyak di Indonesia. Mereka mempunyai rumah, tanah pertanian, alat
cangkul, dan hasil dari pertaniannya hanya untuk mencukupi dirinya
sendiri. Walaupun Marhaen memiliki hal-hal
tadi, ia tetap miskin dan tidak sejahtera. Kemiskinan itu nampak dalam realitas
kehidupan sehari-hari, seperti mendiami rumah yang tidak layak dan kebutuhan
hidup sehari-hari tidak tercukupi untuk keluarganya. Bagi Sukarno, Marhaen
tersebut tidak bisa disebut proletar dalam pengertian Karl Marx, karena Marhaen
mempunyai alat produksi sendiri, dan tidak semata-mata menjual tenaganya kepada
pemilik modal. Namun demikian ia tetap miskin. Istilah marhaen memiliki makna
yang lebih luas dari proletar atau buruh, karena proletar termasuk dalam
marhaen pada konteks Indonesia. Selanjutnya pengertian marhaen tidak hanya
dikenakan untuk rakyat kecil, seperti petani, tukang gerobak, intelektual, dan
yang lainnya; karena selanjutnya Sukarno menggunakan istilah marhaen untuk
sebutan semua rakyat Indonesia, yaitu: setiap orang yang menjalankan
marhaenisme.
Istilah marhaen ini adalah upaya Sukarno
dalam mencari istilah yang cocok bagi konteks Indonesia yang agraris demi
mengganti istilah proletar dari konteks industrialis. Ini dimaksudkan agar ia
dapat menerapkan metode historis-materialisme dari Marx untuk memahami dan
menjelaskan proses kapitalisme dan kolonialisme-imperialisme yang menciptakan
penindasan dan kemiskinan di Indonesia, serta dapat memakai teori konflik Marx
untuk menyatukan dan menggerakkan rakyat untuk melawan kolonial Belanda dalam
perjuangan kemerdekaan. Ini adalah suatu kontekstualisasi politik dari Sukarno.
Itulah sebabnya Sukarno mengatakan, ”Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia
dalam praktek.”
Marhaenisme
adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional. Kepribadian yang
senantiasa menekankan persatuan dalam gotong-royong. marhaenisme merupakan
suatu gerakan massa yang bersatu untuk kepentingan massa, dan di dalamnya
Sukarno mewakili segenap rakyat Indonesia. Persatuan merupakan isu penting
dalam marhaenisme, dan Sukarno menginginkan memasukkan sebanyak mungkin
golongan politik agar kekuatan revolusioner semakin bertambah banyak, serta
kuat guna mencapai Indonesia merdeka.
Itu juga sebabnya dalam ”Indonesia
Menggugat”, Sukarno menyamakan marhaenisme dengan massaisme. Marhaen adalah
simbol kaum kecil yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Ia adalah massa yang walaupun kecil dalam
status dan pemilikan, tetapi besar dalam jumlah yang bila disatukan, bisa
menjadi kekuatan besar untuk melawan kolonialisme. Dalam kaitan inilah terkenal
semboyan Sukarno dalam perjuangan revolusioner, machtsvorming dan machtsaanwending, menyusun
kekuatan massa aksi dan menggerakkan aksi massa. Bagi Sukarno, marhaen adalah modal dasar untuk
melakukan perjuangan revolusi, agar kapitalisme dan imperialisme Barat hilang
dari tanah air Indonesia, dan kemerdekaan Indonesia dapat tercapai.
Sifat
revolusioner dan anti kapitalisme Barat dari marhaenisme ini, sering membuat
orang menyamakan marhaenisme dengan marxisme. Namun sebenarnya sifat
revolusioner dan anti kapitalisme Barat itu, lebih disebabkan karena
marhaenisme sebagai sosialisme
Indonesia memandang bahwa kapitalisme Barat tidak sesuai dengan alam Indonesia
dan tidak memberi kesejahteraan kepada rakyat, sebab pengalaman penjajahan
menjadikan mereka tetap miskin. Kapitalisme dan sosialisme Barat hanya memberi
hak-hak politik, sedangkan dalam bidang ekonomi, rakyat selalu kekurangan; dan menghasilkan
masyarakat dalam kelas-kelas sosial.
Dalam hal ini, di satu pihak kita harus
mengakui bahwa marhaenisme memiliki akar dalam marxisme, karena Sukarno dalam
marhaenisme memakai metode historis-materialisme untuk menganalisa kondisi masyarakat Indonesia
dengan tujuan agar dapat memahami perkembangan dalam masyarakat Indonesia dan
dapat menganalisa bagaimana seharusnya perjuangan kemerdekaan dilakukan secara
mandiri dengan percaya pada kekuatan diri sendiri. Namun di lain pihak, kita harus membedakan
marhaenisme dengan marxisme karena marhaenisme menolak filsafat materialisme
Marx yang anti Tuhan. Di dalam marhaenisme ada ajaran tentang Tuhan. Jadi dari
dua unsur pembangun marxisme, yaitu ”historis-materialisme dan filsafat
materialisme”,
Sukarno menolak filsafat materialisme walaupun menerima historis-materialisme.
Mengenai hal ini, dalam biografi Sukarno, Dahm mengatakan:
”Dia buang
filosofi materialisme dari marxisme lalu diberinya Allah: dia buang kemunduran
masa lampau dari Islam dan diberinya kemajuan marxis; dibuang kesempitan pemikiran
kaum nasionalisme dan diberinya suatu pengertian yang lebih luas dari dia
sendiri.
Ini menjelaskan bahwa Sukarno percaya
kepada Tuhan dan bukan komunis anti Tuhan. Hal ini juga nampak dalam pidato
Sukarno, yang menyatakan bahwa dia percaya kepada Tuhan dan hidup dari Tuhan.
Sukarno mengatakan:
”Ya,
kalau saudara tanya apakah Bung Karno itu percaya kepada Tuhan? Ya, saya
percaya kepada Tuhan. Malahan sebagaimana kukatakan berulang-ulang, saya hidup
diberi Tuhan. Hidup, menurut anggapan saya untuk apa? Sebagai dikatakan oleh
Pak Saifudin Zuhri, saya pernah berkata, untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha
Esa, mengabdi kepada Tanah Air, mengabdi kepada cita-cita. Saya sebutkan Tuhan
Yang Maha Esa nomor satu, saudara-saudara bagi saya, tanah air amanat Tuhan
kepada kita. Segala alam ini adalah amanat Tuhan kepada kita.”
Dengan
demikian, jelas bahwa Sukarno bukanlah seorang komunis ataupun marxis yang anti
Tuhan. Justru ia seorang yang percaya kepada Tuhan dan berusaha memasukkan
paham tentang Tuhan dalam marxisme, yang akhirnya melahirkan marhaenisme. Ia
memang bukan seorang “Marxis murni”, tetapi ia mungkin lebih tepat dikatakan
seorang “Marxis” yang nasionalis dan agamais - seorang “Marxis religius”.
Berdasarkan
seluruh uraian di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa marhaenisme sebagai
keseluruhan ajaran Sukarno senantiasa ingin memperjuangkan harmonisasi dan
pengaktualisasian secara bebas serta mandiri dari nilai-nilai kemanusiaan
berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, yaitu keadilan sosial dan kemerdekaan
dari segala hal yang menindas kehidupan, bagi setiap marhaen atau manusia yang
tertindas oleh suatu sistem (kolonialisme/imperialisme) dengan menekankan pada
persatuan dan gotong-royong untuk bersama-sama berjuang secara revolusioner
demi menghapuskan sistem yang menindas itu. Marhaenisme adalah suatu paham yang
dimaksudkan dan berfungsi sebagai pemersatu seluruh rakyat marhaen dengan
tujuan menciptakan persatuan dalam menghapuskan seluruh bentuk penindasan demi
perikemanusiaan dalam masyarakat marhaen yang merdeka, adil dan makmur. Jadi, marhaenisme adalah keseluruhan ajaran
Sukarno yang menghendaki penghapusan segala sistem yang menindas kaum kecil
(marhaen), demi memperjuangkan nasib kaum kecil untuk mendapatkan kebahagiaan
hidup dalam masyarakat marhaenistis yang merdeka, adil dan makmur. Secara
ringkas, marhaenisme adalah paham persatuan untuk kemerdekaan demi kemanusiaan
dalam gagasan Sukarno.
- Prinsip-Prinsip Marhaenisme
Menurut Sukarno,
marhaenisme dibangun berdasarkan dua prinsip yaitu sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi. Hal ini sesuai dengan isi pidato Sukarno pada Kongres Besar
GMNI di Tawang Mangu dalam bulan Februari 1959, seperti yang dikutip oleh
Abdulgani bahwa, “Secara positif, maka marhaenisme saya namakan juga sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum marhaen adalah nasionalisme yang
sosial-bewust dan karena demokrasinya kaum marhaen adalah demokrasi yang
sosial-bewust pula.”
Sosio-nasionalisme
adalah nasionalisme yang menghendaki kesejahteraan, nasionalisme yang
berperikemanusiaan, nasionalisme yang dibangun dalam wawasan internasionalisme,
bukan nasionalisme yang chauvinistis. Nasionalisme yang saling menghargai
antara bangsa-bangsa dalam kesederajatan dan perdamaian abadi, sehingga tidak
menghendaki terjadinya penjajahan suatu bangsa oleh bangsa lain. Mengenai hal
ini Sukarno menyatakan bahwa:
“...Nasionalisme kita haruslah
nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. ...Oleh karenanya, maka
sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap tindak
borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi:
sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi, suatu nasionalisme
yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan
negeri dan keberesan rejeki.”
Sedangkan
sosio-demokrasi adalah demokrasi yang berkeadilan sosial, bukan demokrasi yang
sekedar mengedepankan perbedaan dan kemerdekaan individu yang mengabaikan
kebersamaan serta tegaknya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Esensi dari sosio-demokrasi
adalah tegaknya kesederajatan dan kebersamaan yang merupakan landasan bagi
terwujudnya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Tujuan demokrasi adalah untuk
menciptakan kesejahteraan bersama, tanpa ada penindasan manusia oleh manusia.
Tentang hal ini Sukarno mengungkapkan bahwa:
“Sosio-demokrasi adalah pula
demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat.
Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil saja,
tetapi kepentingan masyarakat. Sosio demokrasi ...adalah demokrasi sejati yang
mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki.
Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.”
Marhaenisme
dengan seluruh prinsipnya sebagai sosialisme Indonesia, di bangun di atas dasar
“gotong-royong” yang merupakan implementasi dari perikemanusiaan dalam budaya
Indonesia yang religius. Marhaenisme dalam seluruh prinsipnya dijiwai oleh
perikemanusiaan yang holistik, yang menyadari manusia sebagai bagian dari
totalitas alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Di dalam marhaenisme, tersirat
ajaran tentang Tuhan. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa
dalam marhaenisme selain mengandung prinsip sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi juga mengandung prinsip sosio-religiusitas (Ketuhanan).
Sosio-nasionalisme adalah kebangsaan yang berprikemanusiaan, yang bertujuan
memperbaiki keadaan seluruh bangsa Indonesia, yang bebas dan merdeka.
Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang peduli kemanusiaan, yang bertujuan
memperbaiki keadaan ekonomi dan politis seluruh rakyat Indonesia, yang adil dan
merata dalam kebersamaan. Sosio-religiusitas (Ketuhanan) adalah keberagamaan
yang melayani kemanusiaan, yang bertujuan memperbaiki keadaan rohani-spiritual
seluruh masyarakat Indonesia yang penuh kasih dan berdamai. Sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi dapat dikatakan sebagai prinsip eksplisit yang nyata dalam
rumusan marhaenisme Sukarno, sedangkan Ketuhanan – yang dapat dibahasakan
dengan sosio-religiusitas – dapat disebut sebagai prinsip implisit yang nampak
dalam pernyataan Sukarno sendiri yang menyiratkan bahwa marhaenisme mengandung
ajaran tentang Tuhan, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Filsafat materialisme adalah ajaran yang
menekankan keunggulan faktor-faktor material atas yang spiritual. Filsafat
materialisme Marx disebut materialisme dialektis, yaitu pandangan yang
menyatakan pemutlakan materi yang bergerak dalam waktu dan ruang atau
pengukuhan terhadap becoming (menjadi) yang ada tanpa suatu sebab.
Materialisme dialektis memadukan pandangan materialisme bahwa yang nyata adalah
materi semata-mata di satu pihak, dengan “dialektika” Hegel di pihak lain.
Sedangkan historis-materialisme adalah pandangan materialistis tentang sejarah
yang menyatakan bahwa hakikat sejarah terjadi karena proses-proses ekonomi,
dimana dinamika sejarah ditentukan oleh dialektika pada basis material; atau
dengan kata lain paham yang menyatakan bahwa sejarah ditentukan oleh
proses-proses ekonomi atau cara-cara produksi yang menyebabkan pertentangan
kelas. Untuk lebih jelas lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000),
hlm. 593-604 Benhard Dahm, Sukarno..., hlm. 243. Dari ungkapan Dahm ini nampak bahwa
melalui marhaenisme, Sukarno telah melampaui marxisme. Marhaenisme sebagai
sosialisme Indonesia merupakan formula baru ciptaan Sukarno yang menekankan
persatuan, dengan mensintesakan ajaran Karl Marx, Nasionalisme, dan Islamisme
(agama). Ide ini tidak ada dalam pemikiran Marx. Sukarno bukanlah seorang
”Marxis murni”, tetapi - dengan meminjam istilah Manalu - ia adalah seorang
”Marxis” yang nasionalis dan agamais, yaitu memakai analisa Marx guna mendukung
pemikirannya tentang persatuan Indonesia dalam konsep marhaenisme. Marhaenisme
adalah paham persatuan yang mengenal ajaran tentang Tuhan, walaupun memiliki
akar dalam marxisme. Hal ini dapat kita lacak juga dalam pendapat Sukarno, yang
mengatakan bahwa marhaenisme adalah sosialisme campuran antara persamaan
politik dari ”Declaration of Independence” dari Amerika, persamaan dari
spiritual Islam dan Kristen, dan persamaan dari ajaran Karl Marx. Ia
dipercikkan ke dalam gotong-royong yang menjadi jiwa, dimana ada kerja sama,
hidup bersama, dan saling membantu. Ketika dimasukkan dalam konteks Indonesia,
ia disebut sosialisme Indonesia. Di sini nampak bahwa melalui marhaenisme
Sukarno ingin menyatukan paham-paham yang membelah dunia. Jadi walaupun
marhaenisme memiliki akar dalam marxisme, namun marhaenisme tidak dapat
disamakan begitu saja dengan marxisme, karena marhaenisme telah melampaui
marxisme. Untuk lebih jelas tentang persamaan dan perbedaan marhaenisme dengan
marxisme.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia ^^
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat :)
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
- Adu Q
- Bandar Q
- Bandar Sakong
- Bandar Poker
- Poker
- Domino 99
- Capsa Susun
- BANDAR66 / ADU BALAK ( GAME TERBARU )
Contact Us
Website arena-domio.net
WA : +855964967353
Kami Siap Melayani anda 24 jam Nonstop