Tuesday, April 9, 2019

Refleksi: “Skeptisisme” Abraham dan Sinisme Kita

“Skeptisisme” Abraham dan Sinisme Kita

Bagaimana biasanya kita membaca kisah Abraham? Dari masa depan, sebagian pembaca yang sudah melihat bagaimana Allah menggenapkan janjinya untuk membuat nama Abraham masyhur, memberikan sebuah tanah perjanjian, dan menjadikannya bangsa yang besar, membaca kembali kalimat Abraham, “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak …,” (Kej. 15:2) dengan senyum kecil dikarenakan “kekurangan iman” Abraham. Sebagian orang lagi mungkin lebih bersimpati terhadap kesulitan Abraham memahami janji Allah di dalam sudut pandangnya yang terbatas.
Penulis kitab Ibrani mempunyai penilaian yang sangat tinggi terhadap Abraham. Meskipun Abraham adalah orang asing di negeri yang dijanjikan, Ibrani menuliskan, “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan mengakui, bahwa mereka adalah orang asing yang datang di bumi ini” (Ibr. 11:13). Jadi, bagi penulis Ibrani, Abraham bukan kekurangan iman, melainkan merupakan saksi iman yang kisahnya paling disoroti di dalam Ibrani 11. Lagipula, Abraham tidak berhenti pada kalimatnya yang saya kutip di atas dan bertahan pada skeptisismenya. Dia percaya kepada janji Allah meskipun dia belum melihat semuanya tergenapi.
Mari kita beralih dari janji Allah kepada Abraham kepada janji-Nya kepada kita, anak-anak Abraham, yang saya ambil dari surat Roma dan Efesus.
Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia. (Rm. 8:17)
Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga, jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang. Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu. (Ef. 1:18-23)
Bagaimana seharusnya kita memahami janji Allah di atas bagi kita? Mari kita bandingkan janji untuk Abraham di Perjanjian Lama dengan janji untuk anak-anak Allah di Perjanjian Baru. Abraham yang istrinya mandul dan ialah orang asing di tanah Kanaan dijanjikan akan menjadi bangsa yang besar dan menguasai tanah Kanaan. Sebagai perbandingan, anak-anak Allah, pengikut Kristus di Perjanjian Baru dijanjikan segala sesuatu, seluruh dunia, seluruh makhluk. Di dalam surat Efesus dikatakan bahwa Allah Bapa akan meletakkan segala sesuatu di bawah kaki Kristus dan Kristus yang empunya segala sesuatu itu akan diberikan kepada kita sebagai Kepala. Artinya, kita akan bersatu dengan Kristus sebagai tubuh-Nya yang dikuasai-Nya, dan bersama-sama dengan Kristus kita akan memerintah seluruh ciptaan.
Oh, bukankah skeptisisme mulai mengintip di dalam hati kita. Bukankah seperti Sarah, kita tertawa sinis dan pertanyaan-pertanyaan mulai muncul. Bukankah pengikut Kristus lemah, tidak berdaya di tengah-tengah penganiayaan kekuasaan dunia yang membenci Kristus? Masa sih kita akan jadi penguasa? Realitasnya, kita mau beribadah saja bisa dihalangi dan mau membangun gedung gereja pun sulit mendapatkan izin. Itukah ciri-ciri orang yang akan mewarisi seluruh jagat raya?

Terima Kasih Telah Membaca Tuhan Memberkati

0 komentar:

Post a Comment