Saturday, October 6, 2018

Ma' Pallin (Penebusan Konteks Budaya Toraja)



LATAR BELAKANG MASALAH

Kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia.[1] Oleh karena itu manusia dalam berbudaya harus melestarikan serta memelihara alam ini demi untuk kemulian Tuhan. Senada dengan itu, oleh Dr. Th. Kobong mengatakan bahwa:
Manusia itu mempunyai posisi yang istimewa, posisi yang  bertanggung  jawab, Ia bertanggung jawab kepada Allah, sang pencipta yang memberi tugas (mandat) kepercayaan kepadanya dan bertanggung jawab atas ciptaan yang dipercayakan kepadanya. [2]

Hal ini berarti bahwa dalam menjalankan tugas tersebut tidak lepas dari tujuan Allah. Kebudayaan yang dihasilkan manusia melalui interaksi-interaksi, serta kegiatan sehari-hari semuanya harus tertuju kepada Allah, karena semuanya berasal dari Allah seperti yang ada dalam kitab Roma 11:36 yang berbunyi ”Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: bagi Dialah kemuliaan selama-lamanya!”.
Sebagai makhluk berbudaya, maka manusia tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Karena budaya memang sudah melekat dalam diri manusia sejak manusia diciptakan. Budaya adalah karya manusia dan karena itu budaya itu bersifat ambivalen[3]. Disatu sisi budaya dapat menolong manusia untuk mengembangkan dirinya secara wajar, namun disisi lain budaya dapat membuat manusia jauh dari tujuan hidupnya. Karena dari sudut pandang hakikatnya sebagai Gambar Allah ia mulia, tetapi dari sudut pandang kehidupannya ia hina.[4] Itu berarti bisa saja membuaat manusia dalam berbudaya tidak lagi untuk kemuliaan Tuhan melainkan untuk kepuasan dirinya sendiri. Dalam kehinaan manusia inilah maka Allah menyatakan kasih dan Anungrah-Nya melalui Anak Tunggal-Nya, sehingga manusia tetap sebagai gambar Allah. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ada jalan kembali kepada Allah Bapa melalui perantaraan Yesus Kristus.
Dengan demikian melalui pengorbanan Yesus manusia dituntut untuk melakukan tugas kebudayaan itu dengan baik. Demikian halnya masyarakat Toraja yang memiliki perbedaan budaya dengan suku lain. Dan perbedaan budaya  itu merupakan kekayaan yang cukup besar.  Masyarakat Toraja hidup dalam nilai-nilai budaya yang berbeda dengan suku lain dan itulah yang membuat masyarakat Toraja dikenal oleh orang luar.
            Dalam hal ini, kebudayaan masyarakat Toraja nampak terutama dalam apa yang disebut “aluk”. Menurut kamus Toraja-Indonesia yang disusun oleh J.Tammu dan Dr H. Van der Veen, aluk mengandung arti agama yaitu hal berbakti kepada Allah dan dewa, upacara adat atau agama, adat istiadat, perilaku atau tingkah laku[5]. Aluk mencakup kepercayaan, upacara-upacara peribadahan menurut cara-cara yang telah ditetapkan berdasarkan ajaran agama yang bersangkutan, adat istiadat dan tingkah laku sebagai ungkapan kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari, aluk bukan hanya keyakinan semata-mata tetapi mencakup pula ajaran, upacara (ritus) dan larangan (pemali)[6]. Jadi kata aluk dalam masyarakat Toraja mengandung makna yang sangat luas. Aluk-aluk itu diwariskan pula kepada nenek moyang orang Tana’. Itulah sebabnya aluk-aluk itu disebut pula “aluk-aluk nenek[7]. Ada pula yang memahami bahwa aluk merupakan peraturan yang mengatur tata cara, hubungan antara manusia dengan Tuhan atau Dewa-dewa serta antara manusia dengan sesamanya. Peraturan itu biasa disebut “Aluk Sanda Pitunna” (7777777)  yang konon aturan tersebut pitu lise’na, pitu pulona, pitu ratu’na, pitu sa’bunna, pitu kotekna, pitu tampangna, pitu sariunna.[8]
Dalam masyarakat Toraja aluk dapat dibedakan atas dua bagian yaitu :
1.    Aluk Rambu Solo’ yaitu suatu upacara keagamaan yang berhubungan dengan kematian atau pemakaman jenasah yang berkiblat ke Barat dan biasanya dimulai sesudah matahari condong ke Barat dan berlansung hingga matahari terbenam.
2.    Aluk Rambu Tuka’ yang berhubungan dengan ritus kehidupan, penyembahan kepada dewa-dewa juga dikenal sebagai ritus keselamatan atau syukuran. Ritus ini dilaksanakan pada saat matahari baru terbit sampai dengan tengah hari, sebelum matahari condong ke barat.
Dari kedua upacara keagamaan ini penulis tertarik mengkaji Upacara Rambu Tuka’, dari salah satu ritus dalam mangrara banua yaitu Ma’Pallin. Ma’Pallin adalah suatu upacara penyucian diri, pembebasan atau penghapusan segala kesalahan, yang mungkin telah diperbuat selama mengerjakan pembangunan atau perbaikan Tongkonan baik dalam keluarga secara khusus pun kepada masyarakat secara umum  .[9]
Walaupun masyarakat Toraja sebagaian besar telah menjadi Kristen akan tetapi peralihan kepada agama Kristen yang dianggap baru bukannya tanpa masalah atau persoalan. Karena pada zaman Zending upacara Mangrara Banua ditolak oleh zending. Dan bagi masyarakat Toraja, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketika menjadi Kristen berarti harus meninggalkan aluk dan kebudayaan Toraja yang merupakan warisan turun temurun. Pertanyaan seperti ini yang perlu mendapat respons, karena fakta di lapangan masih menunjukkan pemahaman yang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang beranggapan bahwa mangrara banua secara khusus Ma,pallin adalah upacara Aluk To Dolo sehingga tidak bisa dilakukan oleh orang Kristen.


[1] Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah: terobosan-terobosan dalam bidang antropologi, (Jakarta: Gunung Mulia,2002), hlm. 165
[2] Th.Kobong, Iman Dan Kebudayaan ,BPK Gunung Mulia 1997, hlm 2
[3] Arie Jan Plaisier,Op.Cit., hlm. 174
[4] Ibid., hlm.79
[5] J. Tammu dan Van der Veen, Kamus Toradja-Indonesia ,Rantepao:Yayasan Perguruan Kristen Toraja,1972,  Hal 39
[6]Th. Kobong dkk, Aluk,Adat, Dan Kebudayaan Toraja dalam perjumpaannya dengan Injil, (Pusbang- Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja),hlm.5
[7]   Ibid,hlm.20
[8]Panitia Mangrara-, Upacara Rambu Tuka’, Mangrara Tongkonan Layuk Ke’te 
Kesu’,1999, hlm.45
[9] Ibid., hlm. 8



II

MA’PALLIN DAN KESAKSIAN ALKITAB TENTANG PENEBUSAN

A.   Ma’Pallin
            Dikalangan masyarakat Toraja, begitu banyak nilai-nilai yang harus dikejar yang bertumbuh pada kebudayaan. Nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat Toraja saling berkaitan satu sama lain, sehingga sulit untuk dipisahkan. Salah satu nilai yang sangat kuat dalam masyarakat adalah hidup rukun satu sama lain tanpa ada permasalahan yang ditimbulkan dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Dengan adanya hidup rukun akan memberikan kedamaian. Oleh karena itu dalam kehidupan masyarakat Toraja  di kenal dengan istilah “sattu’-sattu’ unnalli melo (sebentar-sebentar membeli kebaikan)”[1] dalam arti kerukunan, kedamaian. Demi kebaikan orang rela berkorban. Demikian halnya “membangun”, terlebih ketika melakukan kesalahan maka mereka harus melakukan korban penghapus dosa dan permintaan maaf yang dikenal dengan sebutan Ma’Pallin. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai yang dijaga oleh masyarakat Toraja sudah mulai mengalami pergeseran atau membawa perubahan pemahaman dan makna, yang membawa nilai positif dalam budaya Toraja.  Hal ini disebabkan oleh karena adanya pengaruh dari luar.
            Masyarakat Toraja dikenal dengan ada’ dan aluk serta sistem  kepercayaan yang sangat kuat. “Aluk berfungsi sebagai tata cara yang memimpin kepada terang dan itu jelas dalam ungkapan “anna bendan tutungan bia’ tunannang tendanan ma’ lalan-lalan yang artinya berdirilah nyala sulu tegaklah tongkat berkobar-kobar”.[2] Aluk ini merupakan warisan budaya dari nenek moyang masyarakat Toraja yang dibawah langsung oleh dewa-dewa ketika turun dari langit. Aluk ini biasa disebut Aluk Sanda Pitunna (7777777). Dalam Aluk Sanda Pitunna inilah terdapat semua tata cara atau aturan yang dapat memimpin masyarakat kepada terang.[3] Ma’Pallin  ini, diadakan sebagai tanda permohonan maaf atas segala kesalahan yang dilakukan yang mengakibatkan malapetaka. Dan untuk menghindarkan malapetaka ini maka diadakanlah Ma’Pallin.
           
1.    Defenisi Ma’Pallin secara etimologis
            Secara etimologis, Ma’Pallin berasal dari kata dasar Pallin. Menurut kamus Toradja-Indonesia yang disusun oleh J.Sitammu dan DR.H.Van der Veen, Ma’Pallin berasal dari kata “Pallin” ditambah awalan ma’
-       Pallin artinya menyucikan dengan pemujaan (menggunakan sesuatu hal),  hari yang disucikan. Pada saat itu terlarang orang bekerja[4]. Dalam melakukan pemujaan  dikorbankan seekor ayam.
-       Ma’
Awalan ma’ dalam kamus bahasa Toraja-Indonesia adalah kata awalan pada kata kerja ber- atau ma- (awalan ini biasa berubah-ubah menjadi mem-, men-, meng- atau dalam bahasa Toraja menjadi mang-, ma-) menurut pengaruh huruf awal dari kata yang didatanginya[5]
Jadi secara harafiah kata Ma’Pallin berarti melakukan pemujaan atau sesuatu pekerjaan untuk menyucikan diri dari dosa dan kesalahan yang telah dilakukan.

2.  Pengertian dan makna Ma’Pallin menurut Aluk To Dolo
            Menurut pemahaman Aluk To Dolo Ma’Pallin itu memiliki kata dasar yaitu “Pallin” yang artinya penyelesaian atau perampungan[6]. Ma’Pallin dapat pula diartikan sebagai “penggabungan sesuatu serta meluruskan sesuatu sampai pada puncak acara”[7]. Ma’Pallin boleh dilakukan pada saat semuanya sudah dirampungkan dengan baik. Dalam Ma’Pallin terdapat makna yang sangat dalam yaitu untuk menebus segala kesalahan yang telah dilakukan dengan mengadakan korban persembahan agar tidak terjadi malapetaka.  Ma’Pallin adalah suatu persembahan korban bakaran, seekor ayam dibakar sampai hangus bersama dengan lemang nasi, darah ayam dimasukkan ke dalam tanah untuk menjauhkan malapetaka.[8] Ritus ini pula mangandung nilai etis yaitu saling memaafkan baik antar keluarga mau pun antar masyarakat. Dan yang paling penting dalam upacara ini adalah memohon pengampunan kepada Allah atas segala dosa yang dilakukan selama pembangunan rumah, baik itu disengaja mau pun tidak disengaja (mengkamala’ lako rapu, sia unnaku  dosa lako ToTumampata yamotu Puang Matua). Dalam Ma’Pallin berbagai kegiatan dilakukan sebelum melakukan ucapan syukur. Ma’Pallin bukan hanya dilakukan karena merupakan syarat dalam mangrara tongkonan akan tetapi Ma’ Pallin mempunyai makna tersendiri:
a.    Ma’ Pallin diadakan sebagai tanda penyucian, penebusan atas segala kesalahan yang dilakukan selama pembangunan rumah dan dengan melakukan korban itu maka keluarga akan mendapatkan pengampunan dari Puang Matua
b.    Sebagai permohonan maaf oleh karena melakukan kesalahan pada saat rumah dikerjakan misalnya mengambil kayu tanpa etika yang benar.
c.    Memohon ampun kepada yang dianggap berkuasa atau dewa dengan melakukan puasa terlebih dahulu sebelum memotong seekor manuk rame. Dengan maksud supaya keluarga mendapatkan pengampunan dan layak untuk mengucap syukur oleh karena pembangunan rumah boleh selesai.
d.    Dalam Ma’ Pallin juga memliki makna etika yaitu adanya kebersamaan antar keluarga dan masyarakat untuk saling memaafkan supaya tidak ada lagi beban pada saat mengucap syukur[9].
 Dengan demikian Ma’Pallin dipahami sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan mempersembahkan kurban dalam upaya membersihkan diri dari kesalahan, agar tidak terjadi malapetaka akibat dari kesalahan yang dilakukan selama pembangunan rumah, baik itu disengaja maupun tidak[10]. Ma’Pallin dapat pula dimaksudkan sebagai permohonan maaf atas kekeliruan selama pembangunan rumah tersebut oleh para pekerja.
Dalam masyarakat Toraja bukan hanya Ma’Pallin yang dikenal sebagai korban penebusan, penyucian dosa tetapi ada juga istilah yang disebut” Manggrambu Langgi’[11]. Manggrambu Langi’ adalah suatu kegiatan menebus dosa atau pengakuan dosa atas kesalahan yang dilakukan oleh karena telah melakukan zinah dengan keluarga sendiri dengan mengorbankan seekor ayam atau babi. Hal ini pun dilakukan untuk menghindari malapetaka yang terjadi.

3. Tujuan Dan Sejarah Ma’Pallin
 Menurut pemahaman masyarakat di Ke’te’ Kesu’ Ma’pallin    merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebelum masuk dalam kegiatan inti yaitu mengucap syukur oleh karena pembangunan tongkonan sudah selesai dengan baik. Ma’Pallin dilakukan untuk menebus dosa yang dilakukan selama pembuatan rumah tongkonan serta permintaan maaf kepada keluarga atau masyarakat yang membantu dalam pembangunan tongkonan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat, Ma’Pallin merupakan bagian dari Aluk Sanda Pitunna (7777777), yang di bawa langsung oleh dewa atau manusia ilahi ketika turun dari langit.[12] Jadi Ma’Pallin merupakan bagian dari Aluk Sanda Pitunna yang diterima oleh nenek moyang orang Toraja dari manusia ilahi. Tetapi Ma’Pallin ini tidak langsung diadakan bersamaan dengan diturunkannya Auk Sanda Pitunna. Oleh karena pada saat itu dalam membangun rumah belum membutuhkan bantuan orang lain, karena rumah yang dibangun masih kecil dan lebih dikenal rumah lantang dena’. Itu berarti belum membutuhkan bantuan orang lain.[13]  Dalam perkembangan selanjutnya setelah orang Toraja mulai membangun rumah yang cukup besar maka Ma’Pallin pun diadakan. Dan ritual Ma’Pallin ini tetap dilaksanakan sampai sekarang ini akan tetapi prosesnya sudah berubah dan itu dilakukan dengan melaksanakan ibadah jika pelaksananya agama Kristen.

4.   Proses Ma’Pallin
            Menurut pemahaman Aluk To Dolo yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat, bahwa sdalam ritual Ma’Pallin ada proses yang dilalui berdasarkan tata cara yang telah ditentukan dengan simbol-simbol tertentu. Dalam ritus Ma’Pallin yang memimpin acara tersebut adalah To Minaa. Dimana pada saat akan memulai ritual Ma’Pallin maka terlebih dahulu memberikan sesajen terhadap arwah nenek moyang yang sudah meninggal yang lebih dikenal dalam masyarakat Toraja dengan sebutan Ma’pesung ba’tu ma’pakande deata, yang dipimpin oleh seorang To Minaa. Dengan maksud para arwah leluhur akan senantiasa memberkati keluarga tersebut. Setelah kegiatan “Ma’pesung”[14] selesai maka To Minaa memotong manuk rame itu sambil mengungkapkan litani Ma’Pallin sebagai berikut :
               Nalandi’mo te allo maelo nadete’mo te kulla’ mapia dadi. Angki siindo’mo tananan pallin to sangbua’ inde rampe matampu’ angki siambe’mo randukan passaleangan to sangpenanian inde kabotoan kulla’. Apa makambanmo panganna nene’ natengkai kalo’ to sangbala bua’ maimpa’mo pa’palumpun tomatua nalenda pasala uma to sangpenanian. Iamo nasang indoran te tananan pallin allo totemo. Pallinna bangunan banua te pallinna alang te. Artinya :
               Telah tiba hari baik, telah sampai terang yang indah. Sehingga kami sewilayah bua’ mengadakan korban penyucian di sebelah barat. Hingga kami sewilayah adat mengadakan korban penutup aib di matahari terbenam sebab orang sewilayah bua’ telah banyak melangkahi warisan leluhur sebab orang sewilayah adat telah berat sebelah melanggar himpunan adat orang tua. Itulah alasan pelaksanaan korban penyucian hari ini. Inilah penyucian rumah inilah penyucian lumbung[15].  
              
            Ritual Ma’Pallin menggunakan tata cara yang memang sudah ditentukan oleh pemangku adat dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Dan simbol yang dipakai dalam ritus Ma’Pallin ialah seekor ayam (manuk rame)   dikorbankan sebagai korban penebus dosa dan permintaan maaf baik kepada keluarga pun kepada masyarakat. Menurut hasil wawancara (manuk rame) mempunyai bulu yang bermacam-macam, dimana setiap bulu itu sebagai simbol permintaan maaf kepada keluarga dan masyarakat kemudian sebagai simbol pengampunan.  Dalam ritual Ma’Pallin keluarga juga harus melakukan puasa sebelum masuk kedalam inti acara, dengan maksud, keluarga benar-benar merenungkan segala kesalahan yang diperbuat. Setelah itu baru masuk dalam acara inti dengan mengorbankan seekor ayam (manuk rame). Kegiatan Ma’Pallin ini, dilaksanakan disekitar tongkonan dengan disaksikan oleh masyarakat yang diundang. Adapun dalam Ma’Pallin ini (manuk rame) dikorbankan sebagai korban penebus dosa kepada dewata atau Puang Matua serta sebagai tanda permintaan maaf kepada masyarakat yang diundang hadir pada waktu itu. Dan babi (bai)  yang disembelih dijadikan sebagai lauk-pauk untuk dimakan bersama/ dinikmati bersama.
            Dalam ritus Ma’Pallin tidak menutup kemungkinan bahwa akan dilakukan dalam Aluk Todolo atau berdasarkan ajaran Kristen akan tetapi tergantung dari pelaksananya apakah masih menganut Aluk Todolo atau sudah kristen. Hasil wawancara walaupun prosesi pelaksanaan Ma’Pallin  berbeda tetapi maknanya tetap sama yaitu meminta permohonan maaf dan pengampunan dari dewata atau Puang Matua.

5.   Perkembangan Ma’Pallin
            Ma’ Pallin merupakan warisan nenek moyang orang toraja yang dibawa oleh manusia ilahi ketika turun ke bumi, bersamaan dengan dibawanya aluk sanda pitunna. Menurut cerita yang turun temurun Ma’Pallin ini dilaksanakan untuk menyucikan manusia dari dosa yang diperbuatnya. Oleh karena itu manusia dituntut untuk mengorbankan seekor ayam (manuk rame), dengan tujuan bahwa ayam ini dapat menjadi tebusan atas dosa yang diperbuatnya, baik terhadap sesama maupun terhadap Puang Matua, dan menggunakan tata cara dengan simbol-simbol tertentu. Dalam Ma’Pallin ini yang memimpin tata acara adalah To minaa. Dan To Minaa bertugas untuk mengarahkan keluarga dalam melakukan puasa untuk perenungan diri, dalam puasa ini setiap keluarga benar-benar mengakui dosanya sehingga layak untuk diampuni.
            Dalam Ma’Pallin dipahami bahwa kegiatan itu diadakan untuk merenungkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama pembangunan rumah. Dan pada saat itulah keluarga bersama dengan masyarakat benar-benar khusuk dan mengaku atas kesalahan yang dilakukan selama pembangunan. Disinilah keluarga melakukan doa syafaat atas pemeliharaan Tuhan sekaligus memohon agar keluarga dilayakkan untuk datang mengucap syukur kepada Tuhan atas pemeliharaan-Nya. Karena bagaimana mungkin keluarga layak datang mengucap syukur kalau tidak mengaku dosa dan diampuni. Dengan adanya pengampunn dari Tuhan maka keluarga dengan lega tanpa beban datang mengucap syukur kepada Tuhan. Pada saat itu juga keluarga mengundang masyarakat untuk dapat hadir bersama-sama serta membuka diri agar anggota keluarga dapat dimaafkan, jika ada kesalahan yang dilakukan oleh keluarga (keluarga berjabat tangan kepada masyarakat).

B.   Korban di Suku Lain
                     Pada suku-suku lain terdapat juga ritual korban yang hampir sama dengan ritual Ma’Pallin
1.  Di Batak (upacara Manguras)
               Daerah Batak dikenal oleh karena sistem religius yang sangat kuat. Salah satu upacara keagamaan yang dikenal dikalangan masyarakat Batak sebelum Injil masuk ialah upacara Korban persembahan sebagai tanda penyucian. Nenek moyang suku Batak sering mengadakan persembahan mengucap syukur dan ucapan terima kasih atas pemeliharaan “Boraspati Ni Tano”.[16] Dan upacara yang dilakukan oleh masyarakat Batak merupakan “upacara penyucian diri yang juga dikenal dengan istilah Manguras”.[17] Latar belakang diadakannya persembahan korban ini oleh karena adanya “bala” yang terjadi dalam masyarakat. Upacara mempersembahkan korban kepada Boraspati Ni Tano atau dewa kesuburan pertanian itu dilaksanakan pada saat hendak menanam padi dan pada saat padi sudah ditanam sesbagai tanda ucapan syukur atas berkat “Boraspati Ni Tano” serta sebagai tanda penyucian dari berbagai kesalahan yang dilakukan.
               Namun dalam perkembangan selanjutnya upacara korban persembahan kepada Boraspati Ni Tano sudah mulai bergeser sedikit demi sedikit. Posisi dewa-dewa digeser dan diganti oleh Tuhan Allah. Dan setelah sinar Injil menerangi masyarakat Batak, ritus-ritus kepada dewa-dewa lambat-laun menghilang. Oleh karena masyarakat Batak memahami bahwa Tuhan sebagai khalik tidak hanya memberkati saja seperti “Boraspati Ni Tano” dan menyucikan saja tetapi juga melindungi, membimbing bahkan menyucikan manusia dari dosa dan menjaga seluruh sejarah dan eksistensi manusia[18]

      2 .  Di Tapanuli atau Batak Toba (Upacara Bius)
         Dalam masyarakat Toraja terdapat berbagai ritus yang berhubungan dengan korban penebusan demikian  halnya dengan masyarakat Batak yang secara Khusus masyarakat Tapanuli mereka juga dikenal memiliki adat dan kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat Tapanuli dikenal dengan berbagai pesta dan salah satunya adalah pesta Bius. Pesta ini berpusat pada korban kerbau, yang bertujuan untuk menyucikan tahun sesudah musim menuai.[19] Hanya bedanya dengan masyarakat Toraja pesta bius ini dilakukan juga bersamaan dengan “perang semu yang penuh semangat sehingga merenggut nyawa”. [20] Dalam pesta bius bukan hanya kerbau yang dikorbankan tetapi bisa juga mengorbankan babi yang cukup banyak. Maksud dari pesta bius ini ialah menghindarkan malapeteka seperti bala penyakit atau bencana lainnya. Pesta Bius hanya dapat dilakukan oleh kalangan orang berada.
      3.   Di Dayak Ngaju (pesta Tiwah)
         Begitu halnya dengan pesta yang dilakukan oleh masyarakat Batak atau Tapanuli, pesta Tiwah ini juga dilakukan sebagai upacara penyucian dan membaharui dengan pengulangan dan penghadiran kejadian pada waktu penjadian.[21] Yang membedakan pesta lain dengan pesta Tiwah  ialah pesta ini dilakukan pada saat kematian, bukan sebagai tanda ungkapa syukur. Tiwah artinya bebas, lepas dari kewajiban.[22] Dalam pesta Tiwah yang merupakan pesta kematian memiliki tahap-tahap dan “tahap yang ketujuh yang merupakan hari ketujuh adalah hari penyucian segala orang yang ikut serta dalam perayaan Tiwah”.[23]



C.   Kesaksian Alkitab
1.    Kurban penebusan dalam Perjanjan Lama
            Menurut kesaksian kitab PL kurban penebusan dosa lebih banyak termuat dalam kitab Imamat yang juga dikenal sebagai kitab kekudusan. Sebelum penulis lebih jauh membahas kesaksian Alkitab tentang penebusan atau penghapusan dosa maka terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan penebusan. Penebusan berarti pembebasan dari sesuatu yang jahat dengan pembayaran suatu harga[24]. Dan itu berarti bahwa penebusan tidak lain dari kata pembebasan seperti yang disaksikan oleh Alkitab secara khusus kitab Perjanjian Lama. Yang menyatakan bahwa Tuhan mengampuni umatNya dari perbuatannya yang jahat melalui kurban penghapus dosa sehingga umatNya dibebaskan dari dosa (bnd Kel 6:6, Mzm 77:16).
            Dalam kitab Perjanjian Lama umat Allah dikenal sebagai umat pendosa yang memberontak kepada Allah, gagal dalam melaksanakan perintah Allah, dan mengakibatkan manusia tidak layak lagi datang kepada Allah. Akan tetapi meskipun manusia seringkali memberontak kepada Allah, Allah tetap menyatakan kasihnya dan melayakkan manusia datang kepadaNya. Dengan terlebih dahulu mengadakan kurban penebus dosa kepada Allah. Kurban penebusan yang dilakukan oleh umat Allah untuk mendapakan pengampunan merupakan perjanjian dengan Allah . Adapun kurban penebus dosa itu lebih banyak termuat dalam kitab Imamat yaitu :
a.    Kurban bakaran (Ola)
Kurban bakaran ini bertujuan untuk menebus dosa umum yang tidak disengaja. Jenis persembahan ternak jantan tanpa cacat atau dua ekor burung merpati dibakar sampai habis (bnd Im 1:3-17 dan 6:13).
b.    Kurban penghapus dosa (Khattat)
Kurban penghapus dosa ini bertujuan untuk menebus dosa khusus yang tidak disengaja. Jenis persembahan imam dan jemaat : lembu jantan muda, pemuka: kambing jantan, rakyat jelata: kambing betina, orang miskin: dua ekor burung dan amat miskin: tepung. Yang bagian lemak dibakar dan yang sisa dimakan (bnd Im 4:1-5:13, 6:24-30).
c.    Kurban penebus salah
Kurban penebus salah bertujuan untuk menebus dosa tidak disengaja dengan ganti rugi. Jenis persembahan sama dengan kurban penghapus dosa ditambah ganti rugi (bnd Im 5:14-6:7; 7:1-10)[25]
Dengan demikian sangat jelas bahwa dalam Perjanjian Lama umat Allah yang melakukan kesalahan terhadap Allah harus membawa kurban persembahan untuk menebus segala dosa yang diperbuatnya. Dengan kurban persembahan itu maka umat yang berdosa akan mendapatkan pengampunan dan penyucian. Menurut Imamat 17:11 “darah kurban bangsa Israel dipahami sebagi alat penebus” itu berarti jelas bahwa darah kurban bangsa Israel sebagai alat untuk penyucian dan penebus salah. Hal inilah yang mendasari sehingga orang Yahudi dalam berhubungan dengan Allah tidak asing lagi oleh karena senantiasa memberikan kurban. Dalam hal ini orang Yahudi mengetahui persis dasar ajaran bahwa tanpa penumpaham darah maka tidak akan pernah ada pengampunan (bnd Ibrani 9:22).
Disamping pembebasan dari dosa melalui kurban bangsa Israel pun memahami penyucian, pentahiran atau pembebasan secara badani, artinya bahwa tubuh kita pun kotor oleh karena dosa sehingga perlu untuk disucikan dan ditahirkan. Oleh karena dosalah yang menajiskan jiwa dan membuatnya tidak disenangi atau disukai Allah, dosa mempunyai sifat mendatangkan hukuman dan sifat merusak dan kedua sifat ini telah dijauhkan oleh darah Kristus.[26] Hal menjauhkan dosa dari umat Allah yang percaya kepada-Nya dengan tepat digambarkan dengan mentahirkan dan menyucikan (bnd Ibrani 1:3).
Seperti yang telah penulis kemukakan di atas bahwa ritus penyucian bukan hanya dipahami oleh bangsa Israel secara rohani tetapi bangsa Israel pun memahami ritus penyucian secara badani dan itu lebih banyak ditemukan dalam kitab Imamat atau kitab kekudusan. Ritus penyucian dan pentahiran dilaksanankan oleh karena adanya pencemaran atau penyakit yang menular seperti penyakit kusta( bnd. Im.11-15; Bil. 19:11-22). Bangsa Israel pun memahami bahwa kejadian alami yang terjadi misalnya keluarnya air mani atau menstruasi itu perlu disucikan (bnd. Im 15:16-30), dengan menggunakan air atau membakar persembahan kurban sampai habis sebagai kurban penghapus dosa.
Menurut kesaksian Perjanjian Lama umat Allah yang melakukan kesalahan hanya dapat diampuni, disucikan atau dibebaskan dari segala dosanya apabila mempersembahkan kurban penghapus dosa. Karena tanpa penumpahan darah maka tidak akan pernah ada pengampunan (bnd. Ibr. 9:22). Sebagai umat berdosa maka sepatutnyalah manusia membutuhkan pentahiran dan penyucian sehingga layak datang kepada Allah (bnd. Mzm.51:4) 

  1. Kurban penebusan dalam Perjanjian Baru
                  Kitab Injil tidak membicarakan penebusan dan penyucian   secara langsung, tetapi itu tidak berarti bahwa Injil memberitakan hal lain dari kitab-kitab lain dalam Perjanjian Baru. Karena Injil menyaksikan bahwa Yesus sebagai Kristus memberitakan keselamatan,memikul salib, serta pembawa kerajaan Allah yang mengorbankan diri-Nya di kayu salib mati dikuburkan dan bangkit dari antara orang mati pada hari ketiga. Menurut Rasul Paulus kematian Juruslamat merupakan cara Allah menghapuskan kuasa dosa manusia. “Kristus telah mati karena dosa kita” (1kor.15:3). Bahkan “ telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita” (Gal. 1:4) serta “ kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa satu kali untuk selama-lamanya”(Rom.16:10).
                  Surat Ibrani melukiskan Yesus sebagai Imam Besar yang menyucikan dosa seluruh bangsa (bnd.Ibr.2:17,18). Dimana imam dalam Perjanjian Lama sebagai pengantara bagi umat Allah untuk memberikan persembahan kurban, mendoakan umat Allah serta memberkati umat Allah, demikian halnya Kristus sebagai Imam  Besar menjadi pengantara antara manusia yang berdosa dengan Allah, sekaligus menjadi korban penebusan bagi dosa manusia. Didalam jabatan-Nya sebagai Imam Besar Tuhan Yesus bukan mempersemahkan korban dari darah binatang, melainkan Ia mengorankan diri-Nya sendiri, satu kali  untuk selamanya (Ibr. 10:10;7:27)[27]. Korban yang dilakukan oleh Yesus itu adalah korban satu kali untuk selama-lamanya. Dan itu berarti bahwa manusia mendapatkan pengampunan dan penyucian melalui darah Kristus
                  Dalam kitab Perjanjian Baru kata penyucian merupakan   salah satu kata yang paling penting. Seperti yang terdapat dalam kitab 1 Yoh 1:7-9 :
Tetapi jika kita hidup dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa. Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam diri kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.

                  Menurut John R. Rice dalam 1 Yoh1:7 mengandung makna yang sangat kuat mengenai daya penyucian seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
Dalam bahasa aslinya memakai penunjuk waktu sekarang. Sekarang pada saat saya hidup dalam terang dengan mengakui dan meninggalkan dosa yang saya sadari. Darah itu dicurahkan bagi saya pada waktu lampau dan Allah memberikannya untuk kebaikan saya. Sehingga saya mengalami penyucian oleh darah penuh berkat dan darah Yesus menjadi dasar pengampunan dan penyucian setiap hari[28].

Dalam ayat di atas jelas bahwa Yohanes berbicara mengenai daya penyucian yang dimiliki darah Kristus, yang dicurahkan pada kayu salib untuk menebus manusia dari dosa[29]. Itu berarti bahwa Kristus merupakan kebenaran yang menjadi dasar pengampunan dan penyucian atas segala dosa umat manusia. Dasar itu ialah Yesus Kristus sebagai Imam Besar yang menjadi pengantara bagi kita.[30]

                  Darah Kristus merupakan ungkapan yang sering dipakai Perjanjian Baru untuk menyatakan realitas kematian Kristus sebagai korban karena dosa[31]. Darah-Nya menyucikan hati nurani manusia dari kesalahan dan menyediakan pengampunan yang memberikan damai sejahtera dalam hati orang berdosa. Secara khusus ungkapan darah Kristus ini sangat tepat menjelaskan mengenai kematian-Nya,Jika dikaitkan dengan kurban-kurban yang dilakukan oleh bangsa Israel pada zaman Perjanjian Lama yang merupakan kurban penebus salah atau kurban penghapus dosa.  Oleh karena itu manusia tidak perlu lagi mempersembahkan kurban sebagai penyucian dan pengampunan manusia dari dosa. Seperti yang dikutip oleh Linwood Urban yang diungkapkan oleh Basilius: “Ia memberikan Dirinya sendiri sebagai suatu korban dan persembahan kepada Allah oleh karena dosa-dosa kita”[32] Itu berarti bahwa kematian Kristus lebih manjur dari pada berbagai persembahan kurban dalam Perjanjian Lama[33]. Dan itu sangat jelas dalam surat Ibrani yang berbicara tentang “Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang” (Ibr.9:28).
                  Dengan demikian maka kurban apapun yang dilakukan sekarang ini dengan maksud menebus dosa atau kesalahan itu tidaklah berarti sama sekali. Oleh karena Kristus sendiri yang telah berkorban untuk dosa manusia dan itu berlaku selama-lamanya seperti yang disaksikan Alkitab melalui Ibrani 9:13-14
      Sebab, jika darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda menguduskan mereka yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah, betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup

     Kitab Perjanjian Baru telah memberikan kesaksian bahwa oleh darah Kristus manusia telah mendapatkan pengampunan dosa, karena Itu maka tidak diperlukan lagi korban apapun untuk menebus dosa manusia. Jadi apabila untuk semuanya ada pengampunan tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa, karena korban apapun yang dipersembahkan dengan maksud, menghapus dosa itu tidak ada artinya, karena semuanya itu tidak diinginkan oleh Tuhan  (Bnd. Ibr. 10:18)


[1] Th. Kobong, Manusia Toraja darimana –bagaimana- kemana. , Pusbang- Gereja Toraja,hlm.10
[2]Th. Kobong dkk, Op. Cit., hlm 19-20
[3] Ibid., hlm 20
[4]   J.Tammu, Van der Veen, Op.Cit, hlm 402
[5]  Ibid., hlm 339
[6] Wawancara dengan Layuk sarunggallo, salah satu tokoh adat, tanggal  3 maret 2007
[7] Wawancara dengan Tinting Sarungallo, salah satu majelis gereja, tanggal 5 Maret 2007
[8] Th. Kobong Op.Cit., hlm 40

[9] Wawancara dengan Nek Dena’ kepala adat Aluk Todolo, tanggal 2 Maret 2007
[10] Wawancara dengan PL.Batau’ salah seorang tokoh Masyarakat tanggal 26 Februari 2007
[11] Manggrambu Langgi’ adalah suatu kegiatan menebus dosa sekaligus mengaku kesalahan atas perbuatan yang dilakukan dengan melakukan Zinah sehingga orang tersebut dapat disucikan.
[12] Wawancara dengan Nek Dena’ kepala adat Aluk Todolo, 3 Maret 2007
[13] Wawancara dengan Layuk Sarungallo, salah seorang tokoh adat, tanggal 1 Maret 2007
[14] Ma’pesung adalah suatu kegiatan penyembahaan kepada arwah nenek moyang dengan mebuat pesung untuk dipersembahkan kepada arwah dengan maksud arwah nenek moyang akn memberkati keluarga, berdasarkan hasil wawancara dengan Ne’ Dena
[15]Y.A. Srira,Litani aluk bua’. Pusbang Gereja Toraja,2000,hlm.
[16] A.A.Sitompul, Manusia dan Budaya, (Theologi Antropologi), Jakarta ; Gunung Mulia 1991, hlm 50
[17] Ibid, hlm 49
[18] Ibid, hlm 50
[19] Harun Hadiwijono, Religius Suku Murba, hlm 78
[20] Ibid., hlm.79
[21] Ibid, hlm 79
[22] Ibid., hlm.66
[23] Ibid., hlm.,69
[24] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF),hlm.456
[25] WS.LaSor, Pengantar PL 1: Taurat dan Sejarah, Jakarta: Gunung Mulya 2001 (hal 220-221)
[26] Derek  Prime, Tanya Jawab Tentang Iman Kristen, (Yayasan komunikasih bina kasih/OMF), hlm 219
[27] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : Gunung Mulia,1991),hlm.326
[28] John R. Rice,Bila Orang Kristen berdosa ,(Yayasan Kalam Hidup,1997 ),hlm.67
[29] Derek Prince Op.Cit., hlm. 101
[30] John R. Rice Op.Cit, hlm.68
[31] Derek Prime Op.Cit.,hlm 198
[32] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen ,( Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2003) hlm.135
[33] Ibid hlm 134
 

III
ANALISIS DAN REFLEKSI TEOLOGIS

A.   ANALISIS
Sejak Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan menurut gambar dan rupa-Nya, itu berarti bahwa Allah menghendaki supaya manusia yang Ia ciptakan itu hidup bersama-sama. Manusia itu diciptakan sebagai manusia dwitunggal (yang hidup bersama-sama dengan sesamanya). Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa berdampingan dengan orang lain karena dalam dirinya melekat adanya keterhubungan. Dari keterhubungan inilah, manusia harus hidup bermasyarakat. Dalam masyarakatlah manusia berusaha untuk menciptakan budaya, oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk berbudaya. Itu artinya bahwa manusia tidak bisa lepas dari budaya dan nilai yang mengikatnya. Begitu halnya dengan masyarakat Toraja yang sarat dengan aturan-aturan yang mengikatnya dan lebih dikenal dengan istilah, Aluk Sola Pemali (AsP). Aluk dapat diidentikkan dengan agama dan sifatnya ilahi, karena berasal dari alam dewa, sedangkan Pemali merupakan ketetapan tentang apa yang tidak boleh diperbuat.
Pelanggaran terhadap aluk sola pemali  bagi kepercayaan Aluk To Dolo merupakan dosa, dan setiap dosa yang dilakukan akan mendatangkan hukuman yang berakibat terhadap alam. Dan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menebus dosa adalah dengan melakukan ritus Ma’Pallin, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bonoran sehubungan dengan pembangunan rumah Tongkonan.
      Ma’Pallin adalah suatu kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan Mangrara banua. Dimana kegiatan ini merupakan salah satu ritual dari Mangrara banua, dengan mempersembahkan seekor ayam (manuk rame), sebagai korban penebusan salah dan penghapus dosa atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh keluarga atau para pekerja serta masyarakat pada saat rumah sementara dikerjakan. Menurut keperayaan Aluk To Dolo, setiap orang yang melakukan pelanggaran atau kesalahan yang lebih dikenal dengan melanggar Pemali,   akan mendapatkan hukuman seperti terjadi malapetaka atau orang yang tinggal di atas Tongkonan tidak akan mendapatkan kesejahteraan atau ketenangan. Agar bebas dari hukuman tersebut maka harus diadakan kurban penebus salah atau penghapusan dosa.
Seperti yang uraikan dalam Bab-bab sebelumnya bahwa Ma’Pallin merupakan salah satu ritual dalam Mangrara banua sebagai warisan dari para leluhur. Dimana ritual Ma’Pallin diturunkan bersamaan dengan diturunkanya Aluk Sanda Pitunna dari langit oleh para dewa. Itu berarti Ma’Pallin adalah bagian dari kepercayaan Aluk To Dolo.  Ma’Pallin dipahami sebagai suatu kegiatan penyucian, penghapus dosa atas kesalahan yang dilakukan selama rumah Tongkonan dikerjakan. Penulis melihat bahwa dalam sistem kepercayaan Aluk To Dolo antara Aluk dengan Pemali merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pemali,  berarti melakukan juga pelanggaran terhadap Aluk. Dan berdasarkan Aluk Sanda Pitunna (AsP) setiap pelanggaran terhadap Pemali dan Aluk merupakan dosa yang menimbulkan hukuman seperti malapetaka.
Dari sisi Religius pelanggaran yang dilakukan oleh manusia dengan memberontak kepada Allah merupakan dosa. Dalam Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dosa merupakan pelanggaran atau pemberontakan yang ditujukan kepada Allah karena manusia tidak lagi berjalan sesuai dengan perintah Allah. Dengan adanya pelanggaran dan pemberontakan manusia akibatnya manusia mendapat hukuman, karena itu manusia dituntut untuk menebus dosanya melalui korban penghapus dosa. Demikian halnya yang dilakukan oleh bangsa Israel ketika melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah. Bangsa Israel harus mempersembahkan kurban penghapus salah dan penebus dosa agar bebas dari hukuman (Bnd. Im 1:4). Tetapi tidak lepas dari itu dalam memberikan kurban persembahan harus ada niat yang tulus dengan dibarengi pertobatan dan penyesalan yang sungguh-sungguh seperti raja Daud. “ Lalu berkatalah Daud kepada Natan: “Aku sudah berdosa kepada Tuhan”. dan Natan berkata kepada Daud: “Tuhan telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati” (2 Sam.12:12). Itu artinya bahwa walaupun tidak memberikan kurban penebus dosa, tetapi karena adanya niat yang sungguh-sungguh mengakui dosanya maka pasti akan diampuni. Berarti pertobatan yang sungguh-sungguh akan mengantar pada pengampunan, dengan demikian tidak perlu ada persembahan kurban, sikap dan niat lebih penting dari pada ritus. Dalam situasi seperti inilah gereja memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan ritual, khususnya melakukan kurban penghapus dosa. Gereja harus mampu menyatakan panggilannya sebagai garam dan terang dalam memberikan pemahaman menyangkut kurban penghapus dosa.
Gereja harus benar-benar memahami tugas panggilan tersebut. Itu berarti gereja tidak sekedar mengiyakan atau menolak ritual Ma’Pallin, tetapi gereja harus lebih peka melihat kenyataan dan menempatkan dirinya sebagaimana mestinya. Dalam hal ini bagaimana gereja hadir memainkan peranannya untuk memperkenalkan Injil khususnya dalam Ma’Pallin. Bagaimana sikap gereja membangun komunikasi dua arah dalam masyarakat, agar Injil benar-benar menerangi kehidupan masyarakat.
Agar masyarakat dapat hidup damai, aman tertib dalam suatu daerah atau wilayah maka diperlukan aturan-aturan untuk dipedomani. Setiap peraturan itu dibuat untuk ditaati. Oleh karena itu diharapkan setiap masyarakat melakukan aturan itu dengan tulus, karena pada dasarnya aturan itu mengikat demi kebaikan.
Demikian halnya dengan Ma’Pallin, dasar dari pelaksanaan Ma’Pallin adalah untuk memperbaiki hubungan yang rusak akibat pelanggaran yang dilakukan selama rumah dikerjakan. Penulis melihat bahwa Ma’Pallin dilaksanakan dalam kepercayaan Aluk Todolo untuk menebus segala kesalahan yang dilakukan selama pembangunan Tongkonan atau suatu upacara penyucian, penebusan dosa atas pelanggaran yang dilakukan dengan maksud kiranya keluarga mendapatkan pengampunan bukan hukuman seperti malapetaka. Akan tetapi disamping itu sebelum mengadakan ritual Ma’Pallin maka harus ada pengakuan dosa terlebih dahulu.
Akan tetapi setelah injil diperkenalkan maka Ma’Pallin pun mengalami perubahan paradigma, dasar pemahaman dan konsep tanpa menghilangkan essensinya. Dimana Ma’Pallin tidak lagi dipahami sebagai kurban penebusan, penyucian dosa tetapi lebih dipahami sebagai kegiatan keluarga untuk menaikkan doa syafaat atas pemeliharaan Tuhan. Dan sekaligus memohon kiranya keluarga dilayakkan untuk datang mengucap syukur kepada Tuhan atas pemeliharaan dan pimpinan-Nya selama mengerjakan rumah. Terlebih lagi keluarga mempunyai kesempatan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak (anggota masyarakat) yang telah banyak membantu dalam “membangun rumah”, sekaligus meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang mungkin, telah dilakukan keluarga selama mengerjakan rumah. Dengan kata lain Ma’Pallin menjadi sarana atau ajang intropeksi diri pribadi atau keluarga dalam banyak hal.
Oleh karena Ma’Pallin sudah mengalami perubahan paradigma, pemahaman, konsep itu berarti hewan yang dikorbankan juga mengalami perubahan makna. Hewan yang dikorbankan itu bukan lagi sebagai kurban penebus dosa atau untuk penyembahan akan tetapi hewan itu dikorbankan untuk di konsumsi oleh masyarakat yang hadir dan dinikmati secara bersama-sama. Jadi hewan yang dikorbankan bukan lagi dalam kerangka penebusan dosa seperti yang dilakukan oleh umat Allah dalam Perjanjian Lama, tetapi yang lebih penting adalah bahwa lewat kegiatan Ma’Pallin keluarga mengakui kesalahannya dan menaikkan doa syafaat atas pemeliharaan Tuhan mengingat makna pengorbanan Kristus sekali untuk selamanya.
Seperti yang telah penulis uraikan dalam Bab II, antara Allah dan umat-Nya telah ada perjanjian  bahwa setiap umat Allah yang melakukan perlanggaran atas perintah Allah harus mengaku dosanya dan memberikan kurban penghapus dosa, agar  tidak mendapatkan hukuman atau terhindar dari hukuman. Dengan kata lain bahwa umat Allah telah mengikat perjanjian dengan Penciptanya. Apa yang dilakukan oleh orang Toraja dalam kepercayaan Aluk Todolo melalui ritus Ma’Pallin dengan mempersembahkan kurban penebus dosa atau salah, demikian juga yang dilakukan oleh umat Allah dalam Perjanjian Lama. Umat Allah di tuntut untuk memberikan kurban penghapus salah atau penebus dosa kepada Allah untuk mendapatkan pengampunan (Bnd.Im 4-7). Melalui kurban itu maka umat Allah mendapatkan pendamaian dengan Allah seperti yang ada dalam kitab Imamat 17:11 yang berbunyi:
            Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa.

Itu berarti bahwa darah kurban bangsa Israel sebagai alat untuk penyucian dari dosa. Akan tetapi kurban yang dilakukan oleh keluarga dalam ritus Ma’Pallin dengan kurban dalam Perjanjian Lama yang merupakan kurban penebus salah dan penghapus dosa telah “digenapi dan dipenuhi di dalam Kristus, Kristus telah mempersembahkan diriNya sendiri sebagai korban” [1].  Karena pada kenyataannya manusia tidak sanggup menanggung beban akibat dosa, dan tidak adapun usaha dari manusia untuk bisa menyelamatkan diri dari belenggu dan kuasa dosa. Hanya Yesus yang mampu mengangkat beban manusia akibat dosa.
Dengan kata lain pengorbanan yang dilakukan oleh Yesus Kristus tidak lain adalah untuk menebus dosa umat manusia. Pengorbanan Yesus Kristus merupakan pengorbanan yang utuh, umum dan total. Oleh karena itu kitab Ibrani 9:13,14 berbunyi:
            Sebab, jika darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda menguduskan mereka yang najis sehingga mereka disucikan secara lahiriah, “betapa lebihnya” Darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-nya kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup.

 Dari ayat di atas menyebut karya penyelamatan Kristus dengan istilah “betapa lebihnya” itu berarti bahwa karya penyelamatan Kristus adalah jauh lebih mulia di banding dengan kurban dalam Perjanjian Lama”[2]. Oleh karena apapun yang dikurbankan dengan maksud menebus dosa tidaklah bermanfaat untuk mendapatkan pengampunan terlebih keselamatan. Karena pengampunan hanyalah berakar di dalam kasih Allah yang nyata melalui penderitaan dan pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib seperti yang terdapat dalam Efesus 1:7  “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karuniaNya”.
Dengan demikian manusia sudah menerima pengampunan dan itu tidak terjadi melalui ritual-ritual, melainkan hanya diterima malalui pengorbanan Yesus Kristus. Sebagai manusia-manusia baru, memang orang Toraja boleh mengikuti ritual-ritual pengakuan dosa tradisional tetapi tidak boleh memberikan persembahan hewan untuk itu[3].  Karena Allah telah memberikan AnakNYa sebagai suatu korban”satu kali untuk selamanya” dan dengan demikian Ia menggantikan semua jenis Kurban.
Melalui pengorbanan Yesus Kristus maka manusia diselamatkan. Keselamatan yang diperoleh manusia  merupakan “Anugrah” bukan usaha manusia. “ dan oleh kasih karunia telah diberikan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus” (Rm.3:24). Manusia dibenarkan oleh Allah jika  mengimani Kristus dengan sungguh-sungguh. Sebagai manusia yang telah ditebus dituntut untuk taat artinya percaya kepada Korban Yesus Kristus  yang satu kali saja dan hidup menurut hukum Allah.
Dengan adanya perubahan paradigma dari ritual Ma’Pallin maka itu otomatis mengalami perubahan makna. Dan makna utama dari ritual Ma’Pallin bukan lagi untuk menebus dosa tetapi penulis melihat bahwa makna dari Ma’Pallin itu sebagai tanda pertobatan dan permohonan maaf kepada   Tuhan dan masyarakat serta kepada sesama anggota keluarga. Dalam kegiatan Ma’Pallin keluarga juga mempunyai kesempatan untuk menaikkan syafaat atas pemeliharaan Tuhan serta memohon pengampunan agar dilayakkan untuk datang mengucap syukur kepada  Tuhan. dengan terlebih dahulu melakukan perenungan diri melalui puasa. Karena ketika keluarga mendapatkan pengampunan dari Tuhan itu berarti keluarga dapat hidup damai baik dalam Tongkonan maupun dalam lingkungan masyarakat.
Oleh karena itu dalam kegiatan Ma’Pallin yang paling penting adalah bagaimana melihat keharmonisan ciptaan Tuhan dengan dunia seanteronya, apakah itu antara sesama manusia atau  manusia dengan lingkungannya. Karena ritual Ma’Pallin dilihat sebagai sarana untuk lebih mengasihi dunia, bukan hal lain yang ditonjolkan, tetapi lebih menunjukkan sisi proses untuk semakin “mamanusiakan manusia” agar manusia bisa saling menerima satu dengan yang lain dalam masyarakat. Karena antara manusia dan sesamanya serta alam atau lingkungannya tidak dapat dipisahkan keduanya saling mengikat satu sama lain. Oleh karena itu siapapun yang melakukan kesalahan baik terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan terlebih kepada pencipta-Nya maka harus memohon pengampunan kepada Tuhan agar tidak mendapatkan hukuman atau malapetaka. Dengan kata lain manusia harus hidup berdampingan satu dengan yang lain, agar tercipta kedamaian serta kerukunan.
Penulis melihat salah satu aspek yang terpenting dalam Ma’Pallin ini adalah kasih. Bahwa kegiatan ini boleh dilakukan karena keluarga ingin membina perdamaian  dan itu hanya dapat dilakukan dengan adanya kasih. Demikian halnya dengan pengorbanan Yesus Kristus. Dasar utama pengorbanan Yesus Kristus karena Dia mengasihi umatNya “karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan manusia sudah nyata” (Tit.2:11). Itu berarti bahwa setiap pengorbanan atas dasar kasih. Itu juga trdapat dalam Yohanes 3: 16 
           Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Dalam kegiatan Ma’Pallin yang dilakukan oleh keluarga mengorbankan seekor ayam (manuk rame) dengan maksud untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh keluarga baik terhadap dewata atau manusia ilahi maupun terdahap sesama manusia. Dalam keadaan seperti inilah anggota jemaat harus berani mengambil sikap untuk menolak bagian dalam ritual Ma’Pallin ini yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Dengan berpedoman pada kebenaran Yesus Kristus sebagai kurban penebusan salah dan dosa dunia yakni “korban sekali untuk selamanya” (Bnd. Bab II)
Seperti yang telah penulis uraikan dalam hasil penelitian bahwa unsur positif dari Ma’Pallin adalah merupakan sarana bagi manusia untuk introfeksi diri  dengan mengakui segala kesalahan yang telah dilakukan baik terhadap sesama manusia terlebih kepada Tuhan sehingga keluarga akan mendapatkan pengampunan. Serta salah satu unsur positif lainnya adalah bahwa lewat kegiatan ini maka keluarga menyadari bahwa apa yang dikerjakan itu boleh selesai dengan baik oleh karena berkat pemeliharaan Tuhan jadi keluarga wajib mengucap syukur kepada Tuhan. Akan tetapi disamping unsur positifnya maka itu tidak lepas dari unsur negatif karena penulis melihat bahwa walaupun sudah dipengaruhi oleh Injil tetap masih ada unsur kepercayaan Aluk To Dolo di dalamnya apalagi masih ada masyaakat yang memahami bahwa Ma’Pallin itu merupakan urusan adat jadi harus diselesaikan secara adat.
Dalam rangka pendewasaan iman Ma’Pallin dapat dilihat sebagai suatu sarana membenahi diri dalam menerima Anungrah keselamatan dalam diri Yesus Kristus. Apalagi jika hewan yang dikorbankan dalam ritus Ma’Pallin   dianggap sebagai korban penebusan itu berarti bahwa tidak relevan lagi dengan konsep keyakinan kristiani, maka jelaslah sikap teologis yang harus dimiliki oleh warga gereja terhadap Ma’Pallin dengan berpedoman pada keberadaan Yesus Kristus. Dimana Kristus mati untuk menebus dosa manusia. Darah Kristus ditumpahkan bagi banyak orang untuk dosa manusia (Bnd. Mat.26:28). Jadi sangat jelas bahwa korban yang dilakukan Tuhan Yesus adalah “korban satu kali untuk selamanya”, korban yang dilakukan secara utuh,total yang berdasarkan kasih. Oleh karena itu siapapun yang percaya kepada Kristus tidak perlu mempersembahkan korban apapun untuk menebus dosa, karena bukankah darah hewan lebih rendah dibandingkan “Darah Kristus”.

B. REFLEKSI TEOLOGIS
Allah menciptakan bumi dan alam semesta dengan baik dalam tatanan yang sempurna. Tetapi karena pemberontakan manusia terhadap Allah maka semua yang baik dan sempurna menjadi rusak. Akibatnya hubungan antara Allah dengan ciptaan-Nya pun menjadi rusak. Namun manusia sebagai makhluk teologis sekaligus sebagai makhluk sosial juga, diciptakan tidak hanya supaya berbakti kepada Allah saja tetapi juga agar hidup berdampingan dengan sesamanya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk teologis, harus mampu hidup berdampingan satu dengan yang lain dalam keselarasan dan kebersamaan dengan menaati aturan yang telah disepakati. Dengan demikian manusia tetap berada dalam ritme kehidupan yang harmonis baik secara vertikal maupun horisontal seperti pada mulanya
Namun jika terjadi ketidakteraturan maka yang ada adalah kemalangan, bencana,serta penyakit untuk itu perlu ada korban dalam menebus kesalahan dan mempertahankan kehidupan yang harmonis. Karena dalam suatu masyarakat ada keyakinan bahwa adanya keharmonisan, ketentraman dan kelestarian alam tergantung kepada Tuhan adalah prinsip tertinggi dalam alam semesta ini yang akan membimbing dan mengayomi hidup manusia. Hal itu sangat jelas melalui hukuman yang diberikan dan adanya pengakuan kesalahan kepada Tuhan.
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk berdosa, dalam artian tidak ada suatu sisi kehidupan manusia yang luput dari dosa yang oleh falsafah Toraja “dilese didudung tukasalan”, artinya setiap melangkah melihat keatas dan kebawah,kekiri dan kekanan, kebelakang kedepan selalu berbuat kesalahan. Hal ini karena hakekat manusia sebagai makhluk ciptaan yang terbatas yang tidak dapat menebus dosanya sendiri. Dengan keadan seperti ini maka Allah dengan penuh kasih rela mengorbankan Anak tunggalNya untuk menebus manusia dari segala dosa yang diperbuat manusia. Seperti dalam Yohanes 3:16 yang berbunyi:
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Dr. Andar Ismail mengungkapkan bahwa pengorbanan adalah hidup untuk orang lain, untuk kepentingan orang lain dan untuk kebutuhan orang lain[4]. Dan pengorbanan itu hanya nyata dalam diri Yesus Kristus.
Makna hidup  Kristus adalah untuk orang lain seperti yang ada dalam 2 Kor.5:15 yang berbunyi:
            Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri,tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.

 Artinya bahwa manusiapun dituntut untuk mau berkorban untuk sesamanya, sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk teologis.
Dasar dari pengorbanan Kristus itu adalah kasih. Dengan kasih karunia Allah maka umat manusia dilayakkan untuk datang kepada Allah. Dengan kata lain bahwa manusia diselamatkan karena Anugrah Allah. Itu berarti bahwa manusia dituntut untuk setia dan taat kepada Allah dengan mengimani dan meyakini bahwa hanya melalui pengorbanan Darah Kristus manusia diselamatkan.
Dalam hal ini  manusia harus sadar diri bahwa bukan hanya  ditebus tetapi lebih dari itu, Tuhan juga yang membimbing, memelihara serta menjaga seluruh eksistensi manusia. Maka sepatutnyalah manusia harus bersyukur atas semua itu.
           


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

  1. KESIMPULAN
      Setelah menguraikan pokok permasalahan dalam skripsi ini maka kesimpulan dari masalah yang dibahas adalah bahwa:
1.    Ma’Pallin merupakan salah satu ritual dalam mangrara banua yang di anut oleh kepercayaan Aluk Todolo dengan  mempersembakan korban penebusan dosa dan penghapus salah atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh keluarga atau para pekerja selama rumah dikerjakan dengan maksud keluarga terhindar dari malapetaka.
2.     Setelah ritus Ma’Pallin dipengaruhi oleh Injil maka ritus Ma’Pallin pun mengalami perubahan makna. Ma’Pallin bukan lagi dipahami sebagai suatu ritus untuk mempersembahkan kurban penebus salah yang dilakukan selama mengerjakan rumah. Tetapi lebih dipahami sebagai sarana untuk mengintropeksi diri atas kesalahan yang mungkin pernah dilakukan pribadi atau keluarga selama mengerjakan Tongkonan, sekaligus membina kebersamaan dan keharmonisan dalam tatanan masyarakat dengan saling memaafkan satu sama lain. Dan teristimewa sebagai ungkapan syukur atau terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu selama rumah dikerjakan dan terutama atas pemeliharaan Tuhan.
3.    Ritus Ma’Pallin yang dilakukan bukan lagi dalam kerangka mengorbankan hewan sebagai penebusan dosa atau hewan yang dikorbankan tidak lagi untuk penyembahan kepada dewa atau Puang Matua. Karena anggota jemaat memahami bahwa setelah menerima Kristus sebagai Juruselamat itu berarti bahwa tidak perlu ada lagi persembahan kurban penebus dosa karena Kristus sudah mengorbankan diri-Nya untuk menebus dosa manusia “satu kali untuk selamanya”  jadi hewan apapun yang dikorbankan itu tidak ada manfaatnya.
4.     Dapat dikatakan bahwa Ma’Pallin ini memang masih mempengaruhi kehidupan anggota jemaat Bonoran. Tetapi tidak lagi dipahami seperti yang dipahami Ma’Pallin dalam Aluk To Dolo.
5.    Dalam hal ini pula ada anggota jemaat yang menolak ritus Ma’Pallin dengan alasan bahwa merupakan bagian dari kepercayaan Aluk To Dolo akan tetapi ada juga yang ,menerimanya oleh karena sudah diterangi oleh injil.



  1. Saran-saran
1.    Saran untuk warga gereja:
    1. Agar memiliki sikap “ selektif positif” dalam menilai aluk dan adat yang berlaku dalam masyarakat.
    2. Gereja harus mampu memberikan pemahaman kepada anggota Jemaat dalam memahami dan melaksanakan ritus Ma’Pallin, agar pelaksanaan sesuai dengan Iman Kristen.

3.    Saran untuk masyarakat:
Kiranya lewat ritus Ma’Pallin masyarakat tetap bisa    meningkatkan persekutuan dengan dasar kebersamaan dalam kasih.






DAFTAR PUSTAKA
Alkitab dan kamus
Alkitab, Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 1999
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1900
Kamus, Ensiklopedi / Konkordansi
Tammu J, Van der Veen H,
       1972            Kamus Toradja-Indonesia
Ali Lukman ( Penanggung Jawab)
       1999            Kamus Besar Bahasa Indonesia, Dapertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
Douglas, J. D,
        2002           Ensiklopedi Masa Kini, jilid I, Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih /OMF
Walker, D.F,
        1989           Konkordansi Alkitab, Jakarta : Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia
Buku-buku
Urban,  Linwood,
      2003            Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen,  Jakarta : BPK Gunung  Mulia


Prime, Derek,
     2001              Tanya Jawab Tentang Iman Kristen, Yayasan Bomunikasi Bina Kasih / OMF.
Hadiwijono, Harun,
     Religi Suku Murba Di Indonesia, Jakarta : BPK Gunung               Mulia.
                         ,
1991             Iman Kristen, Jakarta : Gunung Mulia   
Kobong, Th.
     1983              Manusia Toraja Darimana-bagaimana- Kemana, Tangmentoe: Institut Teologi Rantepao.
Kobong, Th. dkk.
     1997             Iman Dan Kebudayaan, Jakarta : BPK Gunung Mulia   
                       ,    
                             Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam perjumpaannya Dengan Injil, Pusbang Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja
Prince, Derek,
      1994             Ajaran-Ajaran Dasar Iman, Yayasan Pekabar Injil Imanuel.
Sitompul, A.A,
      1991             Manusia Dan Budaya: Teologi Antropologi, Jakarta : Gunung Mulia

Veen H., Van Der,
                            The Merok Feast Of The Sa’dan Toraja, Toraja: Van het koninklijk Institut Voor Taal- Land en Volkenkynde.
Brauch, Manfred T,
       2001            Ucapan Paulus Yang Sulit, cet. 4, Malang : Dapertemen Literatur SAAT
 Groenen, C. OFM
        1989           Soteriologi lkiabiah : Keselamatan Yang Diberikan Alkitab.Yogyakarta : Kanisius
Pals, Daniel L,
        2006           Dekonstruksi Kebenaran ( Kritik Tujuan Teori Agama), Yogyakarta : IRCiSoD.
Ariarajah, Wesley,
        2003          Akitab dan Orang-orang Berkepercayaan Lain, cet.3,- Jakarta : Gunung Mulia
Plaisier, Arie Jan,
        2002           Manusia Gambar Allah : Terobosan-terobosan Dalam Bidang Antropologi,Jakarta : Gunung Mulia.
Panitia Mangrara
        1999           Upacara Adat  Rambu Tuka’ : Mangrara Tongkonan Layuk Ke’te’ Kesu’, Toraja.

Sarira, Y. A.
        2000           Litani Aluk Bua’ Pare, Pusbang Gereja Toraja
Paterson,Robert M.
        1997           Tafsiran Alkitab: Kitab Imamat, Jakarta:Gunung Mulia.
















[1]Harun Hadiwijono,Op.Cit, hlm 346
[2] Ibid, hlm.346
[3] Desertase A. Plaser,  
[4] Andar Ismail, Selamat Menabur:33 renungan tentang didik mendidik, (Jakarta : Gunung Mulia,1997) hlm.110

0 komentar:

Post a Comment