I
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kebudayaan merupakan hasil ciptaan
manusia.[1]
Oleh karena itu manusia dalam berbudaya harus melestarikan serta memelihara alam
ini demi untuk kemulian Tuhan. Senada dengan itu, oleh Dr. Th. Kobong mengatakan
bahwa:
Manusia itu mempunyai
posisi yang istimewa, posisi yang bertanggung
jawab, Ia bertanggung jawab kepada
Allah, sang pencipta yang memberi tugas (mandat) kepercayaan kepadanya dan
bertanggung jawab atas ciptaan yang dipercayakan kepadanya. [2]
Hal ini berarti bahwa dalam
menjalankan tugas tersebut tidak lepas dari tujuan Allah. Kebudayaan yang
dihasilkan manusia melalui interaksi-interaksi, serta kegiatan sehari-hari
semuanya harus tertuju kepada Allah, karena semuanya berasal dari Allah seperti
yang ada dalam kitab Roma 11:36 yang berbunyi ”Sebab segala sesuatu adalah dari
Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: bagi Dialah kemuliaan selama-lamanya!”.
Sebagai makhluk berbudaya, maka
manusia tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Karena budaya memang sudah melekat
dalam diri manusia sejak manusia diciptakan. Budaya adalah karya manusia dan
karena itu budaya itu bersifat ambivalen[3]. Disatu
sisi budaya dapat menolong manusia untuk mengembangkan dirinya secara wajar, namun
disisi lain budaya dapat membuat manusia jauh dari tujuan hidupnya. Karena dari
sudut pandang hakikatnya sebagai Gambar Allah ia mulia, tetapi dari sudut
pandang kehidupannya ia hina.[4] Itu
berarti bisa saja membuaat manusia dalam berbudaya tidak lagi untuk kemuliaan
Tuhan melainkan untuk kepuasan dirinya sendiri. Dalam kehinaan manusia inilah
maka Allah menyatakan kasih dan Anungrah-Nya melalui Anak Tunggal-Nya, sehingga
manusia tetap sebagai gambar Allah. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ada
jalan kembali kepada Allah Bapa melalui perantaraan Yesus Kristus.
Dengan demikian melalui pengorbanan
Yesus manusia dituntut untuk melakukan tugas kebudayaan itu dengan baik.
Demikian halnya masyarakat Toraja yang memiliki perbedaan budaya dengan suku
lain. Dan perbedaan budaya itu merupakan
kekayaan yang cukup besar. Masyarakat
Toraja hidup dalam nilai-nilai budaya yang berbeda dengan suku lain dan itulah
yang membuat masyarakat Toraja dikenal oleh orang luar.
Dalam
hal ini, kebudayaan masyarakat Toraja nampak terutama dalam apa yang disebut “aluk”. Menurut kamus Toraja-Indonesia
yang disusun oleh J.Tammu dan Dr H. Van der Veen, aluk mengandung arti agama yaitu hal berbakti kepada Allah dan
dewa, upacara adat atau agama, adat istiadat, perilaku atau tingkah laku[5]. Aluk
mencakup kepercayaan, upacara-upacara peribadahan menurut cara-cara yang telah
ditetapkan berdasarkan ajaran agama yang bersangkutan, adat istiadat dan
tingkah laku sebagai ungkapan kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari, aluk
bukan hanya keyakinan semata-mata tetapi mencakup pula ajaran, upacara (ritus)
dan larangan (pemali)[6].
Jadi kata aluk dalam masyarakat
Toraja mengandung makna yang sangat luas. Aluk-aluk
itu diwariskan pula kepada nenek moyang orang Tana’. Itulah sebabnya aluk-aluk itu disebut pula “aluk-aluk nenek”[7]. Ada pula yang memahami
bahwa aluk merupakan peraturan yang
mengatur tata cara, hubungan antara manusia dengan Tuhan atau Dewa-dewa serta
antara manusia dengan sesamanya. Peraturan itu biasa disebut “Aluk Sanda Pitunna” (7777777) yang konon aturan tersebut pitu lise’na, pitu
pulona, pitu ratu’na, pitu sa’bunna, pitu kotekna, pitu tampangna, pitu
sariunna.[8]
Dalam masyarakat Toraja aluk dapat dibedakan atas dua bagian
yaitu :
1.
Aluk Rambu Solo’ yaitu suatu upacara keagamaan yang
berhubungan dengan kematian atau pemakaman jenasah yang berkiblat ke Barat dan
biasanya dimulai sesudah matahari condong ke Barat dan berlansung hingga
matahari terbenam.
2.
Aluk Rambu Tuka’ yang berhubungan dengan ritus
kehidupan, penyembahan kepada dewa-dewa juga dikenal sebagai ritus keselamatan
atau syukuran. Ritus ini dilaksanakan pada saat matahari baru terbit sampai
dengan tengah hari, sebelum matahari condong ke barat.
Dari kedua upacara keagamaan ini
penulis tertarik mengkaji Upacara Rambu Tuka’,
dari salah satu ritus dalam mangrara banua yaitu Ma’Pallin. Ma’Pallin adalah
suatu upacara penyucian diri, pembebasan atau penghapusan segala kesalahan,
yang mungkin telah diperbuat selama mengerjakan pembangunan atau perbaikan Tongkonan baik dalam keluarga secara
khusus pun kepada masyarakat secara umum
.[9]
Walaupun masyarakat Toraja sebagaian
besar telah menjadi Kristen akan tetapi peralihan kepada agama Kristen yang
dianggap baru bukannya tanpa masalah atau persoalan. Karena pada zaman Zending
upacara Mangrara Banua ditolak oleh
zending. Dan bagi masyarakat Toraja, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
ketika menjadi Kristen berarti harus meninggalkan aluk dan kebudayaan Toraja yang merupakan warisan turun temurun.
Pertanyaan seperti ini yang perlu mendapat respons, karena fakta di lapangan
masih menunjukkan pemahaman yang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang beranggapan bahwa
mangrara banua secara khusus Ma,pallin adalah upacara Aluk To Dolo sehingga tidak bisa
dilakukan oleh orang Kristen.
[1] Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah:
terobosan-terobosan dalam bidang antropologi, (Jakarta: Gunung Mulia,2002), hlm. 165
[2] Th.Kobong, Iman Dan Kebudayaan
,BPK Gunung Mulia 1997, hlm 2
[5] J. Tammu dan Van der Veen, Kamus
Toradja-Indonesia ,Rantepao:Yayasan Perguruan Kristen Toraja,1972, Hal 39
[6]Th. Kobong dkk, Aluk,Adat, Dan Kebudayaan Toraja
dalam perjumpaannya dengan Injil, (Pusbang- Badan Pekerja Sinode Gereja
Toraja),hlm.5
[7]
Ibid,hlm.20
[8]Panitia Mangrara-, Upacara Rambu Tuka’, Mangrara
Tongkonan Layuk Ke’te
Kesu’,1999, hlm.45
[9] Ibid.,
hlm. 8
II
MA’PALLIN DAN KESAKSIAN ALKITAB
TENTANG PENEBUSAN
A.
Ma’Pallin
Dikalangan masyarakat Toraja, begitu
banyak nilai-nilai yang harus dikejar yang bertumbuh pada kebudayaan.
Nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat Toraja saling berkaitan satu
sama lain, sehingga sulit untuk dipisahkan. Salah satu nilai yang sangat kuat
dalam masyarakat adalah hidup rukun satu sama lain tanpa ada permasalahan yang
ditimbulkan dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Dengan adanya hidup rukun
akan memberikan kedamaian. Oleh karena itu dalam kehidupan masyarakat
Toraja di kenal dengan istilah “sattu’-sattu’ unnalli melo (sebentar-sebentar
membeli kebaikan)”[1] dalam
arti kerukunan, kedamaian. Demi kebaikan orang rela berkorban. Demikian halnya “membangun”,
terlebih ketika melakukan kesalahan maka mereka harus melakukan korban penghapus
dosa dan permintaan maaf yang dikenal dengan sebutan Ma’Pallin. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai yang dijaga oleh masyarakat
Toraja sudah mulai mengalami pergeseran atau membawa perubahan pemahaman dan
makna, yang membawa nilai positif dalam budaya Toraja. Hal ini disebabkan oleh karena adanya
pengaruh dari luar.
Masyarakat Toraja dikenal dengan ada’ dan aluk serta sistem
kepercayaan yang sangat kuat. “Aluk
berfungsi sebagai tata cara yang memimpin kepada terang dan itu jelas dalam
ungkapan “anna bendan tutungan bia’
tunannang tendanan ma’ lalan-lalan yang artinya berdirilah nyala sulu
tegaklah tongkat berkobar-kobar”.[2] Aluk ini merupakan warisan budaya dari
nenek moyang masyarakat Toraja yang dibawah langsung oleh dewa-dewa ketika
turun dari langit. Aluk ini biasa
disebut Aluk Sanda Pitunna (7777777).
Dalam Aluk Sanda Pitunna inilah terdapat
semua tata cara atau aturan yang dapat memimpin masyarakat kepada terang.[3] Ma’Pallin ini, diadakan sebagai tanda permohonan maaf
atas segala kesalahan yang dilakukan yang mengakibatkan malapetaka. Dan untuk
menghindarkan malapetaka ini maka diadakanlah Ma’Pallin.
1.
Defenisi
Ma’Pallin secara etimologis
Secara etimologis, Ma’Pallin berasal dari kata dasar Pallin. Menurut kamus Toradja-Indonesia
yang disusun oleh J.Sitammu dan DR.H.Van der Veen, Ma’Pallin berasal dari kata “Pallin”
ditambah awalan ma’
-
Pallin artinya menyucikan dengan pemujaan
(menggunakan sesuatu hal), hari yang
disucikan. Pada saat itu terlarang orang bekerja[4].
Dalam melakukan pemujaan dikorbankan
seekor ayam.
-
Ma’
Awalan ma’ dalam kamus
bahasa Toraja-Indonesia adalah kata awalan pada kata kerja ber- atau ma-
(awalan ini biasa berubah-ubah menjadi mem-, men-, meng- atau dalam bahasa
Toraja menjadi mang-, ma-) menurut pengaruh huruf awal dari kata yang
didatanginya[5]
Jadi
secara harafiah kata Ma’Pallin
berarti melakukan pemujaan atau sesuatu pekerjaan untuk menyucikan diri dari
dosa dan kesalahan yang telah dilakukan.
2. Pengertian
dan makna Ma’Pallin menurut Aluk To Dolo
Menurut pemahaman Aluk To Dolo Ma’Pallin itu memiliki kata
dasar yaitu “Pallin” yang artinya
penyelesaian atau perampungan[6]. Ma’Pallin dapat pula diartikan sebagai “penggabungan
sesuatu serta meluruskan sesuatu sampai pada puncak acara”[7]. Ma’Pallin boleh dilakukan pada saat
semuanya sudah dirampungkan dengan baik. Dalam Ma’Pallin terdapat makna yang sangat dalam yaitu untuk menebus
segala kesalahan yang telah dilakukan dengan mengadakan korban persembahan agar
tidak terjadi malapetaka. Ma’Pallin adalah suatu persembahan
korban bakaran, seekor ayam dibakar sampai hangus bersama dengan lemang nasi, darah
ayam dimasukkan ke dalam tanah untuk menjauhkan malapetaka.[8] Ritus
ini pula mangandung nilai etis yaitu saling memaafkan baik antar keluarga mau pun
antar masyarakat. Dan yang paling penting dalam upacara ini adalah memohon
pengampunan kepada Allah atas segala dosa yang dilakukan selama pembangunan
rumah, baik itu disengaja mau pun tidak disengaja (mengkamala’ lako rapu, sia unnaku dosa lako ToTumampata yamotu Puang Matua).
Dalam Ma’Pallin berbagai kegiatan
dilakukan sebelum melakukan ucapan syukur. Ma’Pallin
bukan hanya dilakukan karena merupakan syarat dalam mangrara tongkonan akan
tetapi Ma’ Pallin mempunyai makna
tersendiri:
a.
Ma’ Pallin diadakan sebagai tanda penyucian,
penebusan atas segala kesalahan yang dilakukan selama pembangunan rumah dan
dengan melakukan korban itu maka keluarga akan mendapatkan pengampunan dari
Puang Matua
b.
Sebagai permohonan maaf oleh karena melakukan
kesalahan pada saat rumah dikerjakan misalnya mengambil kayu tanpa etika yang
benar.
c.
Memohon
ampun kepada yang dianggap berkuasa atau dewa dengan melakukan puasa terlebih
dahulu sebelum memotong seekor manuk rame.
Dengan maksud supaya keluarga mendapatkan pengampunan dan layak untuk mengucap
syukur oleh karena pembangunan rumah boleh selesai.
d.
Dalam
Ma’ Pallin juga memliki makna etika
yaitu adanya kebersamaan antar keluarga dan masyarakat untuk saling memaafkan
supaya tidak ada lagi beban pada saat mengucap syukur[9].
Dengan demikian Ma’Pallin dipahami sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan
mempersembahkan kurban dalam upaya membersihkan diri dari kesalahan, agar tidak
terjadi malapetaka akibat dari kesalahan yang dilakukan selama pembangunan
rumah, baik itu disengaja maupun tidak[10]. Ma’Pallin dapat pula dimaksudkan sebagai
permohonan maaf atas kekeliruan selama pembangunan rumah tersebut oleh para
pekerja.
Dalam masyarakat
Toraja bukan hanya Ma’Pallin yang
dikenal sebagai korban penebusan, penyucian dosa tetapi ada juga istilah yang
disebut” Manggrambu Langgi’ “[11]. Manggrambu Langi’ adalah suatu kegiatan
menebus dosa atau pengakuan dosa atas kesalahan yang dilakukan oleh karena
telah melakukan zinah dengan keluarga sendiri dengan mengorbankan seekor ayam
atau babi. Hal ini pun dilakukan untuk menghindari malapetaka yang terjadi.
3. Tujuan Dan Sejarah Ma’Pallin
Menurut pemahaman masyarakat di Ke’te’ Kesu’ Ma’pallin
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebelum masuk dalam kegiatan
inti yaitu mengucap syukur oleh karena pembangunan tongkonan sudah selesai
dengan baik. Ma’Pallin dilakukan
untuk menebus dosa yang dilakukan selama pembuatan rumah tongkonan serta
permintaan maaf kepada keluarga atau masyarakat yang membantu dalam pembangunan
tongkonan.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat, Ma’Pallin merupakan bagian dari Aluk
Sanda Pitunna (7777777), yang di bawa langsung oleh dewa atau manusia ilahi
ketika turun dari langit.[12]
Jadi Ma’Pallin merupakan bagian dari Aluk Sanda Pitunna yang diterima oleh nenek
moyang orang Toraja dari manusia ilahi. Tetapi Ma’Pallin ini tidak langsung diadakan bersamaan dengan diturunkannya
Auk Sanda Pitunna. Oleh karena pada
saat itu dalam membangun rumah belum membutuhkan bantuan orang lain, karena
rumah yang dibangun masih kecil dan lebih dikenal rumah lantang dena’. Itu berarti belum membutuhkan bantuan orang lain.[13] Dalam perkembangan selanjutnya setelah orang Toraja
mulai membangun rumah yang cukup besar maka Ma’Pallin
pun diadakan. Dan ritual Ma’Pallin
ini tetap dilaksanakan sampai sekarang ini akan tetapi prosesnya sudah berubah
dan itu dilakukan dengan melaksanakan ibadah jika pelaksananya agama Kristen.
4. Proses Ma’Pallin
Menurut pemahaman Aluk To Dolo yang diungkapkan oleh salah
seorang tokoh masyarakat, bahwa sdalam ritual Ma’Pallin ada proses yang dilalui berdasarkan tata cara yang telah
ditentukan dengan simbol-simbol tertentu. Dalam ritus Ma’Pallin yang memimpin acara tersebut adalah To Minaa. Dimana pada saat akan memulai ritual Ma’Pallin maka terlebih dahulu memberikan sesajen terhadap
arwah nenek moyang yang sudah meninggal yang lebih dikenal dalam masyarakat
Toraja dengan sebutan Ma’pesung ba’tu
ma’pakande deata, yang dipimpin oleh seorang To Minaa. Dengan maksud para arwah leluhur akan senantiasa
memberkati keluarga tersebut. Setelah kegiatan “Ma’pesung”[14]
selesai maka To Minaa memotong manuk rame itu sambil mengungkapkan
litani Ma’Pallin sebagai berikut :
Nalandi’mo te allo maelo nadete’mo te kulla’ mapia dadi. Angki
siindo’mo tananan pallin to sangbua’ inde rampe matampu’ angki siambe’mo
randukan passaleangan to sangpenanian inde kabotoan kulla’. Apa makambanmo
panganna nene’ natengkai kalo’ to sangbala bua’ maimpa’mo pa’palumpun tomatua
nalenda pasala uma to sangpenanian. Iamo nasang indoran te tananan pallin allo
totemo. Pallinna bangunan banua te pallinna alang te. Artinya :
Telah tiba hari baik, telah sampai
terang yang indah. Sehingga kami sewilayah bua’ mengadakan korban penyucian di sebelah
barat. Hingga kami sewilayah adat mengadakan korban penutup aib di matahari
terbenam sebab orang sewilayah bua’ telah banyak melangkahi warisan leluhur
sebab orang sewilayah adat telah berat sebelah melanggar himpunan adat orang
tua. Itulah alasan pelaksanaan korban penyucian hari ini. Inilah penyucian
rumah inilah penyucian lumbung[15].
Ritual Ma’Pallin menggunakan tata cara yang memang sudah ditentukan oleh
pemangku adat dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Dan simbol yang
dipakai dalam ritus Ma’Pallin ialah
seekor ayam (manuk rame) dikorbankan sebagai korban penebus dosa dan
permintaan maaf baik kepada keluarga pun kepada masyarakat. Menurut hasil
wawancara (manuk rame) mempunyai bulu
yang bermacam-macam, dimana setiap bulu itu sebagai simbol permintaan maaf
kepada keluarga dan masyarakat kemudian sebagai simbol pengampunan. Dalam ritual Ma’Pallin keluarga juga harus melakukan puasa sebelum masuk kedalam
inti acara, dengan maksud, keluarga benar-benar merenungkan segala kesalahan
yang diperbuat. Setelah itu baru masuk dalam acara inti dengan mengorbankan
seekor ayam (manuk rame). Kegiatan Ma’Pallin ini, dilaksanakan disekitar tongkonan dengan disaksikan oleh masyarakat yang diundang. Adapun
dalam Ma’Pallin ini (manuk rame) dikorbankan sebagai korban penebus
dosa kepada dewata atau Puang Matua
serta sebagai tanda permintaan maaf kepada masyarakat yang diundang hadir pada waktu
itu. Dan babi (bai) yang disembelih dijadikan sebagai lauk-pauk
untuk dimakan bersama/ dinikmati bersama.
Dalam ritus Ma’Pallin tidak menutup kemungkinan bahwa akan dilakukan dalam Aluk Todolo atau berdasarkan ajaran
Kristen akan tetapi tergantung dari pelaksananya apakah masih menganut Aluk Todolo atau sudah kristen. Hasil
wawancara walaupun prosesi pelaksanaan Ma’Pallin
berbeda tetapi maknanya tetap sama
yaitu meminta permohonan maaf dan pengampunan dari dewata atau Puang Matua.
5. Perkembangan Ma’Pallin
Ma’
Pallin merupakan warisan nenek moyang orang toraja yang dibawa oleh manusia
ilahi ketika turun ke bumi, bersamaan dengan dibawanya aluk sanda pitunna. Menurut cerita yang turun temurun Ma’Pallin ini dilaksanakan untuk
menyucikan manusia dari dosa yang diperbuatnya. Oleh karena itu manusia
dituntut untuk mengorbankan seekor ayam (manuk
rame), dengan tujuan bahwa ayam ini dapat menjadi tebusan atas dosa yang
diperbuatnya, baik terhadap sesama maupun terhadap Puang Matua, dan menggunakan tata cara dengan simbol-simbol
tertentu. Dalam Ma’Pallin ini yang
memimpin tata acara adalah To minaa.
Dan To Minaa bertugas untuk
mengarahkan keluarga dalam melakukan puasa untuk perenungan diri, dalam puasa
ini setiap keluarga benar-benar mengakui dosanya sehingga layak untuk diampuni.
Dalam Ma’Pallin dipahami bahwa kegiatan itu diadakan untuk merenungkan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama pembangunan rumah. Dan pada saat
itulah keluarga bersama dengan masyarakat benar-benar khusuk dan mengaku atas
kesalahan yang dilakukan selama pembangunan. Disinilah keluarga melakukan doa
syafaat atas pemeliharaan Tuhan sekaligus memohon agar keluarga dilayakkan
untuk datang mengucap syukur kepada Tuhan atas pemeliharaan-Nya. Karena bagaimana
mungkin keluarga layak datang mengucap syukur kalau tidak mengaku dosa dan
diampuni. Dengan adanya pengampunn dari Tuhan maka keluarga dengan lega tanpa
beban datang mengucap syukur kepada Tuhan. Pada saat itu juga keluarga
mengundang masyarakat untuk dapat hadir bersama-sama serta membuka diri agar
anggota keluarga dapat dimaafkan, jika ada kesalahan yang dilakukan oleh
keluarga (keluarga berjabat tangan kepada masyarakat).
B. Korban
di Suku Lain
Pada suku-suku lain terdapat juga
ritual korban yang hampir sama dengan ritual Ma’Pallin
1. Di Batak (upacara Manguras)
Daerah Batak dikenal oleh karena
sistem religius yang sangat kuat. Salah satu upacara keagamaan yang dikenal
dikalangan masyarakat Batak sebelum Injil masuk ialah upacara Korban
persembahan sebagai tanda penyucian. Nenek moyang suku Batak sering mengadakan
persembahan mengucap syukur dan ucapan terima kasih atas pemeliharaan “Boraspati Ni Tano”.[16]
Dan upacara yang dilakukan oleh masyarakat Batak merupakan “upacara penyucian
diri yang juga dikenal dengan istilah Manguras”.[17] Latar
belakang diadakannya persembahan korban ini oleh karena adanya “bala” yang
terjadi dalam masyarakat. Upacara mempersembahkan korban kepada Boraspati Ni Tano atau dewa kesuburan
pertanian itu dilaksanakan pada saat hendak menanam padi dan pada saat padi
sudah ditanam sesbagai tanda ucapan syukur atas berkat “Boraspati Ni Tano” serta sebagai tanda penyucian dari berbagai
kesalahan yang dilakukan.
Namun dalam perkembangan
selanjutnya upacara korban persembahan kepada Boraspati Ni Tano sudah mulai bergeser sedikit demi sedikit. Posisi
dewa-dewa digeser dan diganti oleh Tuhan Allah. Dan setelah sinar Injil
menerangi masyarakat Batak, ritus-ritus kepada dewa-dewa lambat-laun
menghilang. Oleh karena masyarakat Batak memahami bahwa Tuhan sebagai khalik
tidak hanya memberkati saja seperti “Boraspati
Ni Tano” dan menyucikan saja tetapi juga melindungi, membimbing bahkan
menyucikan manusia dari dosa dan menjaga seluruh sejarah dan eksistensi manusia[18]
2 . Di Tapanuli atau Batak Toba (Upacara Bius)
Dalam masyarakat Toraja terdapat
berbagai ritus yang berhubungan dengan korban penebusan demikian halnya dengan masyarakat Batak yang secara
Khusus masyarakat Tapanuli mereka juga dikenal memiliki adat dan kepercayaan yang
berkembang dalam masyarakat. Masyarakat Tapanuli dikenal dengan berbagai pesta
dan salah satunya adalah pesta Bius. Pesta ini berpusat pada korban kerbau,
yang bertujuan untuk menyucikan tahun sesudah musim menuai.[19] Hanya
bedanya dengan masyarakat Toraja pesta bius ini dilakukan juga bersamaan dengan
“perang semu yang penuh semangat sehingga merenggut nyawa”. [20] Dalam
pesta bius bukan hanya kerbau yang dikorbankan tetapi bisa juga mengorbankan
babi yang cukup banyak. Maksud dari pesta bius ini ialah menghindarkan
malapeteka seperti bala penyakit atau bencana lainnya. Pesta Bius hanya dapat
dilakukan oleh kalangan orang berada.
3. Di Dayak Ngaju (pesta Tiwah)
Begitu halnya dengan pesta yang
dilakukan oleh masyarakat Batak atau Tapanuli, pesta Tiwah ini juga dilakukan sebagai upacara penyucian dan membaharui
dengan pengulangan dan penghadiran kejadian pada waktu penjadian.[21]
Yang membedakan pesta lain dengan pesta Tiwah
ialah pesta ini dilakukan pada saat
kematian, bukan sebagai tanda ungkapa syukur. Tiwah artinya bebas, lepas dari kewajiban.[22]
Dalam pesta Tiwah yang merupakan pesta kematian memiliki tahap-tahap dan “tahap
yang ketujuh yang merupakan hari ketujuh adalah hari penyucian segala orang
yang ikut serta dalam perayaan Tiwah”.[23]
C. Kesaksian
Alkitab
1.
Kurban
penebusan dalam Perjanjan Lama
Menurut kesaksian kitab PL kurban
penebusan dosa lebih banyak termuat dalam kitab Imamat yang juga dikenal
sebagai kitab kekudusan. Sebelum penulis lebih jauh membahas kesaksian Alkitab
tentang penebusan atau penghapusan dosa maka terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud
dengan penebusan. Penebusan berarti pembebasan dari sesuatu yang jahat dengan
pembayaran suatu harga[24].
Dan itu berarti bahwa penebusan tidak lain dari kata pembebasan seperti yang
disaksikan oleh Alkitab secara khusus kitab Perjanjian Lama. Yang menyatakan
bahwa Tuhan mengampuni umatNya dari perbuatannya yang jahat melalui kurban
penghapus dosa sehingga umatNya dibebaskan dari dosa (bnd Kel 6:6, Mzm 77:16).
Dalam kitab Perjanjian Lama umat
Allah dikenal sebagai umat pendosa yang memberontak kepada Allah, gagal dalam melaksanakan
perintah Allah, dan mengakibatkan manusia tidak layak lagi datang kepada Allah.
Akan tetapi meskipun manusia seringkali memberontak kepada Allah, Allah tetap
menyatakan kasihnya dan melayakkan manusia datang kepadaNya. Dengan terlebih
dahulu mengadakan kurban penebus dosa kepada Allah. Kurban penebusan yang
dilakukan oleh umat Allah untuk mendapakan pengampunan merupakan perjanjian
dengan Allah . Adapun kurban penebus dosa itu lebih banyak termuat dalam kitab
Imamat yaitu :
a.
Kurban
bakaran (Ola)
Kurban
bakaran ini bertujuan untuk menebus dosa umum yang tidak disengaja. Jenis
persembahan ternak jantan tanpa cacat atau dua ekor burung merpati dibakar
sampai habis (bnd Im 1:3-17 dan 6:13).
b.
Kurban
penghapus dosa (Khattat)
Kurban
penghapus dosa ini bertujuan untuk menebus dosa khusus yang tidak disengaja.
Jenis persembahan imam dan jemaat : lembu jantan muda, pemuka: kambing jantan,
rakyat jelata: kambing betina, orang miskin: dua ekor burung dan amat miskin:
tepung. Yang bagian lemak dibakar dan yang sisa dimakan (bnd Im 4:1-5:13,
6:24-30).
c.
Kurban
penebus salah
Kurban
penebus salah bertujuan untuk menebus dosa tidak disengaja dengan ganti rugi.
Jenis persembahan sama dengan kurban penghapus dosa ditambah ganti rugi (bnd Im
5:14-6:7; 7:1-10)[25]
Dengan
demikian sangat jelas bahwa dalam Perjanjian Lama umat Allah yang melakukan
kesalahan terhadap Allah harus membawa kurban persembahan untuk menebus segala
dosa yang diperbuatnya. Dengan kurban persembahan itu maka umat yang berdosa
akan mendapatkan pengampunan dan penyucian. Menurut Imamat 17:11 “darah kurban
bangsa Israel dipahami
sebagi alat penebus” itu berarti jelas bahwa darah kurban bangsa Israel
sebagai alat untuk penyucian dan penebus salah. Hal inilah yang mendasari
sehingga orang Yahudi dalam berhubungan dengan Allah tidak asing lagi oleh
karena senantiasa memberikan kurban. Dalam hal ini orang Yahudi mengetahui
persis dasar ajaran bahwa tanpa penumpaham darah maka tidak akan pernah ada
pengampunan (bnd Ibrani 9:22).
Disamping
pembebasan dari dosa melalui kurban bangsa Israel pun memahami penyucian,
pentahiran atau pembebasan secara badani, artinya bahwa tubuh kita pun kotor
oleh karena dosa sehingga perlu untuk disucikan dan ditahirkan. Oleh karena
dosalah yang menajiskan jiwa dan membuatnya tidak disenangi atau disukai Allah,
dosa mempunyai sifat mendatangkan hukuman dan sifat merusak dan kedua sifat ini
telah dijauhkan oleh darah Kristus.[26]
Hal menjauhkan dosa dari umat Allah yang percaya kepada-Nya dengan tepat digambarkan
dengan mentahirkan dan menyucikan (bnd Ibrani 1:3).
Seperti
yang telah penulis kemukakan di atas bahwa ritus penyucian bukan hanya dipahami
oleh bangsa Israel secara
rohani tetapi bangsa Israel
pun memahami ritus penyucian secara badani dan itu lebih banyak ditemukan dalam
kitab Imamat atau kitab kekudusan. Ritus penyucian dan pentahiran dilaksanankan
oleh karena adanya pencemaran atau penyakit yang menular seperti penyakit
kusta( bnd. Im.11-15; Bil. 19:11-22). Bangsa Israel pun memahami bahwa kejadian
alami yang terjadi misalnya keluarnya air mani atau menstruasi itu perlu
disucikan (bnd. Im 15:16-30), dengan menggunakan air atau membakar persembahan
kurban sampai habis sebagai kurban penghapus dosa.
Menurut
kesaksian Perjanjian Lama umat Allah yang melakukan kesalahan hanya dapat
diampuni, disucikan atau dibebaskan dari segala dosanya apabila mempersembahkan
kurban penghapus dosa. Karena tanpa penumpahan darah maka tidak akan pernah ada
pengampunan (bnd. Ibr. 9:22). Sebagai umat berdosa maka sepatutnyalah manusia
membutuhkan pentahiran dan penyucian sehingga layak datang kepada Allah (bnd.
Mzm.51:4)
- Kurban penebusan dalam Perjanjian Baru
Kitab Injil tidak membicarakan
penebusan dan penyucian secara
langsung, tetapi itu tidak berarti bahwa Injil memberitakan hal lain dari
kitab-kitab lain dalam Perjanjian Baru. Karena Injil menyaksikan bahwa Yesus
sebagai Kristus memberitakan keselamatan,memikul salib, serta pembawa kerajaan
Allah yang mengorbankan diri-Nya di kayu salib mati dikuburkan dan bangkit dari
antara orang mati pada hari ketiga. Menurut Rasul Paulus kematian Juruslamat
merupakan cara Allah menghapuskan kuasa dosa manusia. “Kristus telah mati
karena dosa kita” (1kor.15:3). Bahkan “ telah menyerahkan diri-Nya karena
dosa-dosa kita” (Gal. 1:4) serta “ kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa
satu kali untuk selama-lamanya”(Rom.16:10).
Surat Ibrani melukiskan Yesus
sebagai Imam Besar yang menyucikan dosa seluruh bangsa (bnd.Ibr.2:17,18). Dimana
imam dalam Perjanjian Lama sebagai pengantara bagi umat Allah untuk memberikan
persembahan kurban, mendoakan umat Allah serta memberkati umat Allah, demikian
halnya Kristus sebagai Imam Besar
menjadi pengantara antara manusia yang berdosa dengan Allah, sekaligus menjadi
korban penebusan bagi dosa manusia. Didalam jabatan-Nya sebagai Imam Besar
Tuhan Yesus bukan mempersemahkan korban dari darah binatang, melainkan Ia
mengorankan diri-Nya sendiri, satu kali
untuk selamanya (Ibr. 10:10;7:27)[27]. Korban
yang dilakukan oleh Yesus itu adalah korban satu kali untuk selama-lamanya. Dan
itu berarti bahwa manusia mendapatkan pengampunan dan penyucian melalui darah
Kristus
Dalam kitab Perjanjian Baru
kata penyucian merupakan salah satu
kata yang paling penting. Seperti yang terdapat dalam kitab 1 Yoh 1:7-9 :
Tetapi jika kita
hidup dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh
persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus Anak-Nya itu, menyucikan
kita dari pada segala dosa. Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita
menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam diri kita. Jika kita
mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni
segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.
Menurut John R. Rice dalam 1
Yoh1:7 mengandung makna yang sangat kuat mengenai daya penyucian seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut:
Dalam bahasa aslinya
memakai penunjuk waktu sekarang. Sekarang pada saat saya hidup dalam terang
dengan mengakui dan meninggalkan dosa yang saya sadari. Darah itu dicurahkan
bagi saya pada waktu lampau dan Allah memberikannya untuk kebaikan saya.
Sehingga saya mengalami penyucian oleh darah penuh berkat dan darah Yesus
menjadi dasar pengampunan dan penyucian setiap hari[28].
Dalam
ayat di atas jelas bahwa Yohanes berbicara mengenai daya penyucian yang
dimiliki darah Kristus, yang dicurahkan pada kayu salib untuk menebus manusia
dari dosa[29]. Itu
berarti bahwa Kristus merupakan kebenaran yang menjadi dasar pengampunan dan
penyucian atas segala dosa umat manusia. Dasar itu ialah Yesus Kristus sebagai
Imam Besar yang menjadi pengantara bagi kita.[30]
Darah Kristus merupakan
ungkapan yang sering dipakai Perjanjian Baru untuk menyatakan realitas kematian
Kristus sebagai korban karena dosa[31].
Darah-Nya menyucikan hati nurani manusia dari kesalahan dan menyediakan
pengampunan yang memberikan damai sejahtera dalam hati orang berdosa. Secara
khusus ungkapan darah Kristus ini sangat tepat menjelaskan mengenai
kematian-Nya,Jika dikaitkan dengan kurban-kurban yang dilakukan oleh bangsa Israel
pada zaman Perjanjian Lama yang merupakan kurban penebus salah atau kurban
penghapus dosa. Oleh karena itu manusia
tidak perlu lagi mempersembahkan kurban sebagai penyucian dan pengampunan
manusia dari dosa. Seperti yang dikutip oleh Linwood Urban yang diungkapkan
oleh Basilius: “Ia memberikan Dirinya sendiri sebagai suatu korban dan
persembahan kepada Allah oleh karena dosa-dosa kita”[32]
Itu berarti bahwa kematian Kristus lebih manjur dari pada berbagai persembahan
kurban dalam Perjanjian Lama[33].
Dan itu sangat jelas dalam surat
Ibrani yang berbicara tentang “Kristus hanya satu kali saja mengorbankan
diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang” (Ibr.9:28).
Dengan demikian maka kurban
apapun yang dilakukan sekarang ini dengan maksud menebus dosa atau kesalahan
itu tidaklah berarti sama sekali. Oleh karena Kristus sendiri yang telah
berkorban untuk dosa manusia dan itu berlaku selama-lamanya seperti yang
disaksikan Alkitab melalui Ibrani 9:13-14
Sebab,
jika darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda
menguduskan mereka yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah, betapa
lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya
sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan
hati nurani kita dari perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah
kepada Allah yang hidup
[2]Th. Kobong dkk, Op. Cit., hlm 19-20
[3] Ibid.,
hlm 20
[4]
J.Tammu, Van der Veen, Op.Cit, hlm
402
[5]
Ibid., hlm 339
[6] Wawancara dengan Layuk sarunggallo,
salah satu tokoh adat, tanggal 3 maret
2007
[7] Wawancara dengan Tinting Sarungallo,
salah satu majelis gereja, tanggal 5 Maret 2007
[8] Th. Kobong Op.Cit., hlm 40
[9] Wawancara dengan Nek Dena’ kepala
adat Aluk Todolo, tanggal 2 Maret 2007
[10] Wawancara dengan PL.Batau’ salah
seorang tokoh Masyarakat tanggal 26 Februari 2007
[11] Manggrambu
Langgi’ adalah suatu kegiatan menebus dosa sekaligus mengaku kesalahan atas
perbuatan yang dilakukan dengan melakukan Zinah sehingga orang tersebut dapat
disucikan.
[12] Wawancara dengan Nek Dena’ kepala
adat Aluk Todolo, 3 Maret 2007
[13] Wawancara dengan Layuk Sarungallo,
salah seorang tokoh adat, tanggal 1 Maret 2007
[14] Ma’pesung adalah suatu kegiatan
penyembahaan kepada arwah nenek moyang dengan mebuat pesung untuk
dipersembahkan kepada arwah dengan maksud arwah nenek moyang akn memberkati
keluarga, berdasarkan hasil wawancara dengan Ne’ Dena
[15]Y.A. Srira,Litani aluk bua’. Pusbang
Gereja Toraja,2000,hlm.
[16] A.A.Sitompul, Manusia dan Budaya, (Theologi
Antropologi), Jakarta ; Gunung Mulia 1991,
hlm 50
[17] Ibid,
hlm 49
[18] Ibid,
hlm 50
[19] Harun Hadiwijono, Religius
Suku Murba, hlm 78
[20] Ibid.,
hlm.79
[21] Ibid,
hlm 79
[22] Ibid.,
hlm.66
[23] Ibid.,
hlm.,69
[25] WS.LaSor, Pengantar PL 1: Taurat dan Sejarah, Jakarta:
Gunung Mulya 2001 (hal 220-221)
[26] Derek
Prime, Tanya Jawab Tentang Iman Kristen, (Yayasan komunikasih bina
kasih/OMF), hlm 219
[27] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta
: Gunung Mulia,1991),hlm.326
[28] John R. Rice,Bila Orang Kristen berdosa
,(Yayasan Kalam Hidup,1997 ),hlm.67
[29] Derek Prince Op.Cit., hlm. 101
[30] John R. Rice Op.Cit, hlm.68
[31] Derek Prime Op.Cit.,hlm 198
[32] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran
Kristen ,( Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2003) hlm.135
III
ANALISIS
DAN REFLEKSI TEOLOGIS
A. ANALISIS
Sejak
Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan menurut gambar dan
rupa-Nya, itu berarti bahwa Allah menghendaki supaya manusia yang Ia ciptakan
itu hidup bersama-sama. Manusia itu diciptakan sebagai manusia dwitunggal (yang
hidup bersama-sama dengan sesamanya). Sebagai makhluk sosial, manusia tidak
bisa hidup tanpa berdampingan dengan orang lain karena dalam dirinya melekat
adanya keterhubungan. Dari keterhubungan inilah, manusia harus hidup
bermasyarakat. Dalam masyarakatlah manusia berusaha untuk menciptakan budaya,
oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk berbudaya. Itu artinya bahwa
manusia tidak bisa lepas dari budaya dan nilai yang mengikatnya. Begitu halnya
dengan masyarakat Toraja yang sarat dengan aturan-aturan yang mengikatnya dan
lebih dikenal dengan istilah, Aluk Sola Pemali
(AsP). Aluk dapat diidentikkan dengan agama dan sifatnya ilahi, karena
berasal dari alam dewa, sedangkan Pemali merupakan
ketetapan tentang apa yang tidak boleh diperbuat.
Pelanggaran
terhadap aluk sola pemali bagi kepercayaan Aluk To Dolo merupakan dosa, dan setiap dosa yang dilakukan akan
mendatangkan hukuman yang berakibat terhadap alam. Dan salah satu kegiatan yang
dilakukan untuk menebus dosa adalah dengan melakukan ritus Ma’Pallin, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bonoran
sehubungan dengan pembangunan rumah Tongkonan.
Ma’Pallin
adalah suatu kegiatan
yang dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan Mangrara banua. Dimana kegiatan ini merupakan salah satu ritual dari
Mangrara banua, dengan
mempersembahkan seekor ayam (manuk rame),
sebagai korban penebusan salah dan penghapus dosa atas pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh keluarga atau para pekerja serta masyarakat pada saat rumah
sementara dikerjakan. Menurut keperayaan Aluk
To Dolo, setiap orang yang melakukan pelanggaran atau kesalahan yang lebih
dikenal dengan melanggar Pemali, akan
mendapatkan hukuman seperti terjadi malapetaka atau orang yang tinggal di atas
Tongkonan tidak akan mendapatkan kesejahteraan atau ketenangan. Agar bebas dari
hukuman tersebut maka harus diadakan kurban penebus salah atau penghapusan
dosa.
Seperti yang
uraikan dalam Bab-bab sebelumnya bahwa Ma’Pallin
merupakan salah satu ritual dalam Mangrara banua sebagai warisan dari para
leluhur. Dimana ritual Ma’Pallin diturunkan bersamaan dengan diturunkanya Aluk Sanda Pitunna dari langit oleh para
dewa. Itu berarti Ma’Pallin adalah
bagian dari kepercayaan Aluk To Dolo. Ma’Pallin dipahami sebagai suatu kegiatan
penyucian, penghapus dosa atas kesalahan yang dilakukan selama rumah Tongkonan
dikerjakan. Penulis melihat bahwa dalam sistem kepercayaan Aluk To Dolo antara Aluk
dengan Pemali merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu setiap orang yang melakukan pelanggaran
terhadap Pemali, berarti melakukan juga pelanggaran terhadap Aluk. Dan berdasarkan Aluk Sanda Pitunna (AsP) setiap
pelanggaran terhadap Pemali dan Aluk merupakan dosa yang menimbulkan
hukuman seperti malapetaka.
Dari sisi
Religius pelanggaran yang dilakukan oleh manusia dengan memberontak kepada
Allah merupakan dosa. Dalam Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dosa
merupakan pelanggaran atau pemberontakan yang ditujukan kepada Allah karena
manusia tidak lagi berjalan sesuai dengan perintah Allah. Dengan adanya pelanggaran
dan pemberontakan manusia akibatnya manusia mendapat hukuman, karena itu
manusia dituntut untuk menebus dosanya melalui korban penghapus dosa. Demikian
halnya yang dilakukan oleh bangsa Israel ketika melakukan pelanggaran
terhadap perintah Allah. Bangsa Israel
harus mempersembahkan kurban penghapus salah dan penebus dosa agar bebas dari
hukuman (Bnd. Im 1:4). Tetapi tidak lepas dari itu dalam memberikan kurban
persembahan harus ada niat yang tulus dengan dibarengi pertobatan dan
penyesalan yang sungguh-sungguh seperti raja Daud. “ Lalu berkatalah Daud
kepada Natan: “Aku sudah berdosa kepada Tuhan”. dan Natan berkata kepada Daud:
“Tuhan telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati” (2 Sam.12:12). Itu
artinya bahwa walaupun tidak memberikan kurban penebus dosa, tetapi karena
adanya niat yang sungguh-sungguh mengakui dosanya maka pasti akan diampuni. Berarti
pertobatan yang sungguh-sungguh akan mengantar pada pengampunan, dengan
demikian tidak perlu ada persembahan kurban, sikap dan niat lebih penting dari
pada ritus. Dalam situasi seperti inilah gereja memiliki tanggung jawab dalam
pelaksanaan ritual, khususnya melakukan kurban penghapus dosa. Gereja harus
mampu menyatakan panggilannya sebagai garam dan terang dalam memberikan
pemahaman menyangkut kurban penghapus dosa.
Gereja
harus benar-benar memahami tugas panggilan tersebut. Itu berarti gereja tidak
sekedar mengiyakan atau menolak ritual Ma’Pallin,
tetapi gereja harus lebih peka melihat kenyataan dan menempatkan dirinya
sebagaimana mestinya. Dalam hal ini bagaimana gereja hadir memainkan peranannya
untuk memperkenalkan Injil khususnya dalam Ma’Pallin.
Bagaimana sikap gereja membangun komunikasi dua arah dalam masyarakat, agar Injil
benar-benar menerangi kehidupan masyarakat.
Agar
masyarakat dapat hidup damai, aman tertib dalam suatu daerah atau wilayah maka
diperlukan aturan-aturan untuk dipedomani. Setiap peraturan itu dibuat untuk
ditaati. Oleh karena itu diharapkan setiap masyarakat melakukan aturan itu
dengan tulus, karena pada dasarnya aturan itu mengikat demi kebaikan.
Demikian
halnya dengan Ma’Pallin, dasar dari
pelaksanaan Ma’Pallin adalah untuk
memperbaiki hubungan yang rusak akibat pelanggaran yang dilakukan selama rumah
dikerjakan. Penulis melihat bahwa Ma’Pallin
dilaksanakan dalam kepercayaan Aluk
Todolo untuk menebus segala kesalahan yang dilakukan selama pembangunan
Tongkonan atau suatu upacara penyucian, penebusan dosa atas pelanggaran yang
dilakukan dengan maksud kiranya keluarga mendapatkan pengampunan bukan hukuman
seperti malapetaka. Akan tetapi disamping itu sebelum mengadakan ritual
Ma’Pallin maka harus ada pengakuan dosa terlebih dahulu.
Akan
tetapi setelah injil diperkenalkan maka Ma’Pallin
pun mengalami perubahan paradigma, dasar pemahaman dan konsep tanpa menghilangkan
essensinya. Dimana Ma’Pallin tidak
lagi dipahami sebagai kurban penebusan, penyucian dosa tetapi lebih dipahami
sebagai kegiatan keluarga untuk menaikkan doa syafaat atas pemeliharaan Tuhan.
Dan sekaligus memohon kiranya keluarga dilayakkan untuk datang mengucap syukur
kepada Tuhan atas pemeliharaan dan pimpinan-Nya selama mengerjakan rumah.
Terlebih lagi keluarga mempunyai kesempatan mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak (anggota masyarakat) yang telah banyak membantu dalam “membangun
rumah”, sekaligus meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang mungkin, telah
dilakukan keluarga selama mengerjakan rumah. Dengan kata lain Ma’Pallin menjadi sarana atau ajang
intropeksi diri pribadi atau keluarga dalam banyak hal.
Oleh
karena Ma’Pallin sudah mengalami perubahan
paradigma, pemahaman, konsep itu berarti hewan yang dikorbankan juga mengalami
perubahan makna. Hewan yang dikorbankan itu bukan lagi sebagai kurban penebus
dosa atau untuk penyembahan akan tetapi hewan itu dikorbankan untuk di konsumsi
oleh masyarakat yang hadir dan dinikmati secara bersama-sama. Jadi hewan yang
dikorbankan bukan lagi dalam kerangka penebusan dosa seperti yang dilakukan
oleh umat Allah dalam Perjanjian Lama, tetapi yang lebih penting adalah bahwa
lewat kegiatan Ma’Pallin keluarga
mengakui kesalahannya dan menaikkan doa syafaat atas pemeliharaan Tuhan
mengingat makna pengorbanan Kristus sekali untuk selamanya.
Seperti
yang telah penulis uraikan dalam Bab II, antara Allah dan umat-Nya telah ada
perjanjian bahwa setiap umat Allah yang
melakukan perlanggaran atas perintah Allah harus mengaku dosanya dan memberikan
kurban penghapus dosa, agar tidak mendapatkan
hukuman atau terhindar dari hukuman. Dengan kata lain bahwa umat Allah telah
mengikat perjanjian dengan Penciptanya. Apa yang dilakukan oleh orang Toraja
dalam kepercayaan Aluk Todolo melalui ritus Ma’Pallin
dengan mempersembahkan kurban penebus dosa atau salah, demikian juga yang
dilakukan oleh umat Allah dalam Perjanjian Lama. Umat Allah di tuntut untuk
memberikan kurban penghapus salah atau penebus dosa kepada Allah untuk
mendapatkan pengampunan (Bnd.Im 4-7). Melalui kurban itu maka umat Allah
mendapatkan pendamaian dengan Allah seperti yang ada dalam kitab Imamat 17:11 yang
berbunyi:
Karena nyawa makhluk ada di dalam
darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk
mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan
perantaraan nyawa.
Itu berarti
bahwa darah kurban bangsa Israel
sebagai alat untuk penyucian dari dosa. Akan tetapi kurban yang dilakukan oleh
keluarga dalam ritus Ma’Pallin dengan kurban dalam Perjanjian Lama yang
merupakan kurban penebus salah dan penghapus dosa telah “digenapi dan dipenuhi
di dalam Kristus, Kristus telah mempersembahkan diriNya sendiri sebagai korban”
[1]. Karena pada kenyataannya manusia tidak sanggup
menanggung beban akibat dosa, dan tidak adapun usaha dari manusia untuk bisa
menyelamatkan diri dari belenggu dan kuasa dosa. Hanya Yesus yang mampu
mengangkat beban manusia akibat dosa.
Dengan
kata lain pengorbanan yang dilakukan oleh Yesus Kristus tidak lain adalah untuk
menebus dosa umat manusia. Pengorbanan Yesus Kristus merupakan pengorbanan yang
utuh, umum dan total. Oleh karena itu kitab Ibrani 9:13,14 berbunyi:
Sebab, jika darah domba jantan dan
darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda menguduskan mereka yang najis
sehingga mereka disucikan secara lahiriah, “betapa lebihnya” Darah Kristus,
yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-nya kepada Allah sebagai
persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari
perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang
hidup.
Dari ayat di atas menyebut karya penyelamatan
Kristus dengan istilah “betapa lebihnya” itu berarti bahwa karya penyelamatan
Kristus adalah jauh lebih mulia di banding dengan kurban dalam Perjanjian Lama”[2]. Oleh
karena apapun yang dikurbankan dengan maksud menebus dosa tidaklah bermanfaat
untuk mendapatkan pengampunan terlebih keselamatan. Karena pengampunan hanyalah
berakar di dalam kasih Allah yang nyata melalui penderitaan dan pengorbanan
Yesus Kristus di kayu salib seperti yang terdapat dalam Efesus 1:7 “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita
beroleh penebusan yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karuniaNya”.
Dengan
demikian manusia sudah menerima pengampunan dan itu tidak terjadi melalui
ritual-ritual, melainkan hanya diterima malalui pengorbanan Yesus Kristus.
Sebagai manusia-manusia baru, memang orang Toraja boleh mengikuti ritual-ritual
pengakuan dosa tradisional tetapi tidak boleh memberikan persembahan hewan
untuk itu[3]. Karena Allah telah memberikan AnakNYa sebagai
suatu korban”satu kali untuk selamanya” dan dengan demikian Ia menggantikan
semua jenis Kurban.
Melalui
pengorbanan Yesus Kristus maka manusia diselamatkan. Keselamatan yang diperoleh
manusia merupakan “Anugrah” bukan usaha
manusia. “ dan oleh kasih karunia telah diberikan dengan cuma-cuma karena
penebusan dalam Kristus Yesus” (Rm.3:24). Manusia dibenarkan oleh Allah
jika mengimani Kristus dengan
sungguh-sungguh. Sebagai manusia yang telah ditebus dituntut untuk taat artinya
percaya kepada Korban Yesus Kristus yang
satu kali saja dan hidup menurut hukum Allah.
Dengan
adanya perubahan paradigma dari ritual
Ma’Pallin maka itu otomatis mengalami perubahan makna. Dan makna utama dari
ritual Ma’Pallin bukan lagi untuk
menebus dosa tetapi penulis melihat bahwa makna dari Ma’Pallin itu sebagai tanda pertobatan dan permohonan maaf
kepada Tuhan dan masyarakat serta
kepada sesama anggota keluarga. Dalam kegiatan Ma’Pallin keluarga juga mempunyai kesempatan untuk menaikkan
syafaat atas pemeliharaan Tuhan serta memohon pengampunan agar dilayakkan untuk
datang mengucap syukur kepada Tuhan.
dengan terlebih dahulu melakukan perenungan diri melalui puasa. Karena ketika
keluarga mendapatkan pengampunan dari Tuhan itu berarti keluarga dapat hidup
damai baik dalam Tongkonan maupun dalam lingkungan masyarakat.
Oleh karena
itu dalam kegiatan Ma’Pallin yang
paling penting adalah bagaimana melihat keharmonisan ciptaan Tuhan dengan dunia
seanteronya, apakah itu antara sesama manusia atau manusia dengan lingkungannya. Karena ritual Ma’Pallin dilihat sebagai sarana untuk
lebih mengasihi dunia, bukan hal lain yang ditonjolkan, tetapi lebih
menunjukkan sisi proses untuk semakin “mamanusiakan manusia” agar manusia bisa
saling menerima satu dengan yang lain dalam masyarakat. Karena antara manusia
dan sesamanya serta alam atau lingkungannya tidak dapat dipisahkan keduanya
saling mengikat satu sama lain. Oleh karena itu siapapun yang melakukan
kesalahan baik terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan terlebih
kepada pencipta-Nya maka harus memohon pengampunan kepada Tuhan agar tidak
mendapatkan hukuman atau malapetaka. Dengan kata lain manusia harus hidup
berdampingan satu dengan yang lain, agar tercipta kedamaian serta kerukunan.
Penulis
melihat salah satu aspek yang terpenting dalam Ma’Pallin ini adalah kasih. Bahwa kegiatan ini boleh dilakukan
karena keluarga ingin membina perdamaian
dan itu hanya dapat dilakukan dengan adanya kasih. Demikian halnya
dengan pengorbanan Yesus Kristus. Dasar utama pengorbanan Yesus Kristus karena
Dia mengasihi umatNya “karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan manusia
sudah nyata” (Tit.2:11). Itu berarti bahwa setiap pengorbanan atas dasar kasih.
Itu juga trdapat dalam Yohanes 3: 16 “
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Dalam kegiatan
Ma’Pallin yang dilakukan oleh keluarga
mengorbankan seekor ayam (manuk rame)
dengan maksud untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh keluarga baik
terhadap dewata atau manusia ilahi maupun terdahap sesama manusia. Dalam
keadaan seperti inilah anggota jemaat harus berani mengambil sikap untuk
menolak bagian dalam ritual Ma’Pallin ini yang tidak sesuai dengan ajaran
Kristen. Dengan berpedoman pada kebenaran Yesus Kristus sebagai kurban penebusan
salah dan dosa dunia yakni “korban sekali untuk selamanya” (Bnd. Bab II)
Seperti
yang telah penulis uraikan dalam hasil penelitian bahwa unsur positif dari Ma’Pallin adalah merupakan sarana bagi
manusia untuk introfeksi diri dengan
mengakui segala kesalahan yang telah dilakukan baik terhadap sesama manusia
terlebih kepada Tuhan sehingga keluarga akan mendapatkan pengampunan. Serta
salah satu unsur positif lainnya adalah bahwa lewat kegiatan ini maka keluarga
menyadari bahwa apa yang dikerjakan itu boleh selesai dengan baik oleh karena
berkat pemeliharaan Tuhan jadi keluarga wajib mengucap syukur kepada Tuhan. Akan
tetapi disamping unsur positifnya maka itu tidak lepas dari unsur negatif karena
penulis melihat bahwa walaupun sudah dipengaruhi oleh Injil tetap masih ada
unsur kepercayaan Aluk To Dolo di
dalamnya apalagi masih ada masyaakat yang memahami bahwa Ma’Pallin itu merupakan urusan adat jadi harus diselesaikan secara
adat.
Dalam
rangka pendewasaan iman Ma’Pallin
dapat dilihat sebagai suatu sarana membenahi diri dalam menerima Anungrah
keselamatan dalam diri Yesus Kristus. Apalagi jika hewan yang dikorbankan dalam
ritus Ma’Pallin dianggap
sebagai korban penebusan itu berarti bahwa tidak relevan lagi dengan konsep
keyakinan kristiani, maka jelaslah sikap teologis yang harus dimiliki oleh
warga gereja terhadap Ma’Pallin
dengan berpedoman pada keberadaan Yesus Kristus. Dimana Kristus mati untuk
menebus dosa manusia. Darah Kristus ditumpahkan bagi banyak orang untuk dosa
manusia (Bnd. Mat.26:28). Jadi sangat jelas bahwa korban yang dilakukan Tuhan Yesus
adalah “korban satu kali untuk selamanya”, korban yang dilakukan secara
utuh,total yang berdasarkan kasih. Oleh karena itu siapapun yang percaya kepada
Kristus tidak perlu mempersembahkan korban apapun untuk menebus dosa, karena
bukankah darah hewan lebih rendah dibandingkan “Darah Kristus”.
B.
REFLEKSI TEOLOGIS
Allah
menciptakan bumi dan alam semesta dengan baik dalam tatanan yang sempurna.
Tetapi karena pemberontakan manusia terhadap Allah maka semua yang baik dan
sempurna menjadi rusak. Akibatnya hubungan antara Allah dengan ciptaan-Nya pun
menjadi rusak. Namun manusia sebagai makhluk teologis sekaligus sebagai makhluk
sosial juga, diciptakan tidak hanya supaya berbakti kepada Allah saja tetapi
juga agar hidup berdampingan dengan sesamanya. Oleh karena itu manusia sebagai
makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk teologis, harus mampu hidup
berdampingan satu dengan yang lain dalam keselarasan dan kebersamaan dengan
menaati aturan yang telah disepakati. Dengan demikian manusia tetap berada
dalam ritme kehidupan yang harmonis baik secara vertikal maupun horisontal
seperti pada mulanya
Namun
jika terjadi ketidakteraturan maka yang ada adalah kemalangan, bencana,serta penyakit
untuk itu perlu ada korban dalam menebus kesalahan dan mempertahankan kehidupan
yang harmonis. Karena dalam suatu masyarakat ada keyakinan bahwa adanya
keharmonisan, ketentraman dan kelestarian alam tergantung kepada Tuhan adalah
prinsip tertinggi dalam alam semesta ini yang akan membimbing dan mengayomi
hidup manusia. Hal itu sangat jelas melalui hukuman yang diberikan dan adanya
pengakuan kesalahan kepada Tuhan.
Pada
hakekatnya manusia adalah makhluk berdosa, dalam artian tidak ada suatu sisi
kehidupan manusia yang luput dari dosa yang oleh falsafah Toraja “dilese didudung tukasalan”, artinya
setiap melangkah melihat keatas dan kebawah,kekiri dan kekanan, kebelakang
kedepan selalu berbuat kesalahan. Hal ini karena hakekat manusia sebagai
makhluk ciptaan yang terbatas yang tidak dapat menebus dosanya sendiri. Dengan
keadan seperti ini maka Allah dengan penuh kasih rela mengorbankan Anak
tunggalNya untuk menebus manusia dari segala dosa yang diperbuat manusia.
Seperti dalam Yohanes 3:16 yang berbunyi:
Karena begitu besar kasih Allah akan
dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Dr. Andar
Ismail mengungkapkan bahwa pengorbanan adalah hidup untuk orang lain, untuk
kepentingan orang lain dan untuk kebutuhan orang lain[4].
Dan pengorbanan itu hanya nyata dalam diri Yesus Kristus.
Makna hidup Kristus adalah untuk orang lain seperti yang ada
dalam 2 Kor.5:15 yang berbunyi:
Kristus telah mati untuk semua
orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri,tetapi
untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.
Artinya bahwa manusiapun dituntut untuk mau
berkorban untuk sesamanya, sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk
teologis.
Dasar
dari pengorbanan Kristus itu adalah kasih. Dengan kasih karunia Allah maka umat
manusia dilayakkan untuk datang kepada Allah. Dengan kata lain bahwa manusia
diselamatkan karena Anugrah Allah. Itu berarti bahwa manusia dituntut untuk
setia dan taat kepada Allah dengan mengimani dan meyakini bahwa hanya melalui pengorbanan
Darah Kristus manusia diselamatkan.
Dalam hal
ini manusia harus sadar diri bahwa bukan
hanya ditebus tetapi lebih dari itu,
Tuhan juga yang membimbing, memelihara serta menjaga seluruh eksistensi manusia.
Maka sepatutnyalah manusia harus bersyukur atas semua itu.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
- KESIMPULAN
Setelah menguraikan pokok permasalahan
dalam skripsi ini maka kesimpulan dari masalah yang dibahas adalah bahwa:
1.
Ma’Pallin merupakan salah satu ritual dalam mangrara
banua yang di anut oleh kepercayaan Aluk
Todolo dengan mempersembakan korban penebusan
dosa dan penghapus salah atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
keluarga atau para pekerja selama rumah dikerjakan dengan maksud keluarga
terhindar dari malapetaka.
2.
Setelah ritus Ma’Pallin dipengaruhi oleh Injil maka ritus Ma’Pallin pun mengalami perubahan makna. Ma’Pallin bukan lagi dipahami sebagai suatu ritus untuk mempersembahkan
kurban penebus salah yang dilakukan selama mengerjakan rumah. Tetapi lebih
dipahami sebagai sarana untuk mengintropeksi diri atas kesalahan yang mungkin
pernah dilakukan pribadi atau keluarga selama mengerjakan Tongkonan, sekaligus
membina kebersamaan dan keharmonisan dalam tatanan masyarakat dengan saling
memaafkan satu sama lain. Dan teristimewa sebagai ungkapan syukur atau terima
kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu selama rumah dikerjakan dan
terutama atas pemeliharaan Tuhan.
3.
Ritus Ma’Pallin yang dilakukan bukan lagi
dalam kerangka mengorbankan hewan sebagai penebusan dosa atau hewan yang
dikorbankan tidak lagi untuk penyembahan kepada dewa atau Puang Matua. Karena
anggota jemaat memahami bahwa setelah menerima Kristus sebagai Juruselamat itu
berarti bahwa tidak perlu ada lagi persembahan kurban penebus dosa karena
Kristus sudah mengorbankan diri-Nya untuk menebus dosa manusia “satu kali untuk
selamanya” jadi hewan apapun yang
dikorbankan itu tidak ada manfaatnya.
4.
Dapat dikatakan bahwa Ma’Pallin ini memang masih mempengaruhi kehidupan anggota jemaat
Bonoran. Tetapi tidak lagi dipahami seperti yang dipahami Ma’Pallin dalam Aluk To Dolo.
5.
Dalam
hal ini pula ada anggota jemaat yang menolak ritus Ma’Pallin dengan alasan bahwa merupakan bagian dari kepercayaan Aluk To Dolo akan tetapi ada juga yang
,menerimanya oleh karena sudah diterangi oleh injil.
- Saran-saran
1.
Saran
untuk warga gereja:
- Agar memiliki sikap “ selektif positif” dalam menilai aluk dan adat yang berlaku dalam masyarakat.
- Gereja harus mampu memberikan pemahaman kepada anggota Jemaat dalam memahami dan melaksanakan ritus Ma’Pallin, agar pelaksanaan sesuai dengan Iman Kristen.
3.
Saran
untuk masyarakat:
Kiranya
lewat ritus Ma’Pallin masyarakat
tetap bisa meningkatkan persekutuan
dengan dasar kebersamaan dalam kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab
dan kamus
Alkitab, Jakarta
: Lembaga Alkitab Indonesia,
1999
Alkitab, Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia,
1900
Kamus,
Ensiklopedi / Konkordansi
Tammu J, Van der Veen H,
1972 Kamus Toradja-Indonesia
Ali Lukman ( Penanggung Jawab)
1999 Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
Dapertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
Douglas, J. D,
2002 Ensiklopedi
Masa Kini, jilid I, Jakarta
: Yayasan Komunikasi Bina Kasih /OMF
Walker, D.F,
1989 Konkordansi
Alkitab, Jakarta
: Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia
Buku-buku
Urban,
Linwood,
2003 Sejarah
Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia
Prime, Derek,
2001 Tanya Jawab Tentang Iman Kristen, Yayasan Bomunikasi Bina Kasih /
OMF.
Hadiwijono,
Harun,
Religi Suku Murba Di Indonesia, Jakarta
: BPK Gunung Mulia.
,
1991 Iman Kristen, Jakarta : Gunung Mulia
Kobong,
Th.
1983 Manusia Toraja Darimana-bagaimana- Kemana, Tangmentoe: Institut
Teologi Rantepao.
Kobong,
Th. dkk.
1997 Iman Dan Kebudayaan, Jakarta : BPK Gunung Mulia
,
Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam
perjumpaannya Dengan Injil, Pusbang Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja
Prince,
Derek,
1994 Ajaran-Ajaran
Dasar Iman, Yayasan Pekabar Injil Imanuel.
Sitompul,
A.A,
1991 Manusia Dan Budaya: Teologi Antropologi, Jakarta : Gunung Mulia
Veen H.,
Van Der,
The Merok Feast Of The Sa’dan Toraja,
Toraja: Van het koninklijk Institut
Voor Taal-
Land en Volkenkynde.
Brauch,
Manfred T,
2001 Ucapan
Paulus Yang Sulit, cet. 4, Malang
: Dapertemen Literatur SAAT
Groenen, C. OFM
1989
Soteriologi lkiabiah : Keselamatan
Yang Diberikan Alkitab.Yogyakarta : Kanisius
Pals,
Daniel L,
2006 Dekonstruksi
Kebenaran ( Kritik Tujuan Teori Agama), Yogyakarta
: IRCiSoD.
Ariarajah,
Wesley,
2003 Akitab
dan Orang-orang Berkepercayaan Lain, cet.3,- Jakarta : Gunung Mulia
Plaisier,
Arie Jan,
2002 Manusia Gambar Allah : Terobosan-terobosan
Dalam Bidang Antropologi,Jakarta
: Gunung Mulia.
Panitia
Mangrara
1999 Upacara Adat
Rambu Tuka’ : Mangrara Tongkonan Layuk Ke’te’ Kesu’, Toraja.
Sarira,
Y. A.
2000 Litani Aluk Bua’ Pare, Pusbang Gereja
Toraja
Paterson,Robert
M.
1997 Tafsiran Alkitab: Kitab Imamat, Jakarta:Gunung Mulia.
[1]Harun Hadiwijono,Op.Cit, hlm 346
[2] Ibid, hlm.346
[3] Desertase A. Plaser,
[4] Andar Ismail, Selamat Menabur:33 renungan tentang didik mendidik, (Jakarta :
Gunung Mulia,1997) hlm.110
0 komentar:
Post a Comment