Thursday, January 17, 2019

Makalah Sejarah Gereja Toraja





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Berdirinya suatu Gereja yang kita tempati untuk bersekutu saat ini tidak lepas dari perjalanan hidup dimasa lalu. Perjalanan dimasa lalu baik itu buruk maupun baik tidak bias dilepaskan dari apa yang dinikmati pada saat ini sebagai hasil pekerjaan dan jasa para pendahulu yang mengorbankan waktu tenaga dan bahkan nyawanya dalam misi pekabaran injil itu sendiri. Sejarah Gereja-Gereja di Indonesia merupakan salah satu bagian dari hal tersebut.
Para Zendeling yang datang ke Indonesia datang dalam utusan berbagai lembaga Zending ke Indonesia merupakan suatu alas an dasar terbentuknya berbagai Gereja-Gereja di Indonesia. Demikian pula halnya berbagai denominasi yang ada di Indonesia merupakan hasil dari bermacam-macamnya lembaga zending yang datang di Indonesia. Misalnya CAMA dari Amerika serikat yang kemudian menyebar di Indonesia yang sekarang kita kenal dengan Kemah Injil atau bahkan KIBAID, adapula RMG yang menghasilkan HKBP dan GKE, NGZV menghasilkan GKJ(1867) dan GKS (1889), NZV menghasilkan GKP (1862) dan Gepsultra (1915), GZB menghasilkan GT  pada tahun 1913. Lembaga misi yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini ialah Gereformeerde Zendings Boond (GZB) yang menghasilkan Gereja Toraja (GT) pada tahun 1913.
Perjalanan GZB di sekitar Indonesia lebih banyak di sekitar Sulawesi khususnya di sekitar Toraja (daerah yang masuk Toraja pada saman dahulu ialah dari Saalubarani sampai Gorontalo). Adapun tokoh yang mempelopori perjalanan sejarah Gerja Toraja di Indonesua ini adalah A.A van de Loosdrecht. Entunya ia tidak sendirian saja namun  hal ini diakibatkan karena dia yang cukup terkenal dalam perjalanan misinya dalam sejarah Gereja di Indonesia khususnya dalam lembaga GZB yang menghasilkan sebuiah Gereja yaitu Gereja Toraja. Hal inilah yang akan dibahas lebih lanjut dlaam makah ini menegnai apa, bagaimana dan siapa saja yang bereperan dalam sejarah Gereja Toraja dari zaman para sending dan bahkan sampai pada masa sekarang ini.

           
B.     Rumusan

Bertolak dari latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini ialah  apa dan bagaimana perjalanan Gereja Toraja dalam Sejarah Gereja Indonesia.
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian masalah diatas maka tujuan makalah ni ialah untuk melihat bahkan analisis dan evaluasi terhadap perjalanan Gereja Toraja dalam kaitannya dengan Sejarah Gereja Indonesia.








BAB II

PEMBAHASAN


A. Lembaga Pekabaran Injil yang Masuk ke Toraja

Sebelum Gerefomeerd Zendings Bond ( GZB ) yaitu badan Zending yang memberitakan Injil di Toraja, Pemerintah kolonial Belanda sudah menguasai Tana Toraja. Tana Toraja yang dimaksudkan di sini adalah daerah yang didiami oleh suku Toraja. Daerah ini biasa juga dikenal dengan nama Toraja tae’ untuk membedakan Toraja Baree’ yaitu daerah Tentena dan sekitarnya. Biasa juga Toraja Tae’ dikenal dengan nama Toraja Sa’dan. Kedatangan kolonial Belanda di daerah Tana Toraja awalnya mengalami perlawanan dari masyarakat. Tampil beberapa tokoh masyarakat seperti Pongtiku misalnya dan masih banyak lagi.. Perlawanan Pongtiku ini tidak mudah dipadamkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda Setelah daerah Luwu dan Toraja ditaklukkan melalui operasi militer kolonial, pemerintah kolonial mendorong badan zending untuk bekerja di kalangan penduduk asli yang masih menganut agama sukunya. Ds. R.W.F. Kijftenbelt dari GPI di Makassar berinisiatif untuk bekerja di Toraja. Pada tahun 1912 GPI mulai pekerjaan penginjilan di wilayah Makale. Segera juga didirikannya sekolah –sekolah. Sampai tahun 1915 ada 9 sekolah didirikan, masing-maing di Rembon, Batualu, Buakayu, Simbuang, Leatung, Randanan, Mebali, Gandangbatu, dan Rano. Seorang banggota GPI juga yang datang ke Tana Toraja yaitu Zendeling J. Kelling.
Gereformeerde Zendingsbond adalah lembaga zending Belanda. Lembaga ini didirikan pada tahun 1901 di Utrecht oleh penganut aliran Gereformeerd yang masih tetap tinggal di dalam Hervormde Kerk, yang pada waktu itu merupakan Gereja negara. Mereka tidak ikut keluar mengikuti gerakan yang dinamakan Doleansi di bawah pimpinan Abraham Kuyper. Mereka mendirikan lembaga zending sendiri karena tidak cukup mempercayai lembaga-lembaga pekabaran Injil yang datang ke Indonesia dan lembaga Pekabaran Injil yang  terdapat dalam lingkungan Hervormde Kerk, seperti UZV, NZV, dan lain-lain walau juga tidak hendak menyaingi mereka. GZB ini merumuskan suatu Anggran Dasar yang membedakannya dari lembaga-lembaga lainnya dalam NHK (Nederlandse Hervormde Kerk). Asasnya yang paling mendasar dirumuskan dalam pasal 4, yang berbunyi: “Perhimpunan bertolak dari asas, yaitu bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang tidak dapat sesat, yang di dalamnya tercantum segenap putusan Allah.
B.  Periodesasi Sejarah Gereja Toraja
1.      Zaman Zending Atau  Zaman Revolusi ( 1913 – 1945 )

Kedatangan Kolonialisme Belanda  ke Indonesia mendapat perlawanan dari masyarakat Toraja. Sekalipun perlawanan masyarakat Toraja dapat dipadamkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, tapi semangat patriotisme masyarakat Toraja tidak  padam. Ketika GZB mengirim Zendeling pertama yaitu Antonie Aris van de Loosdrecht sekalipun beliau diutus untuk memberitakan Injil, masyarakat Toraja melihat  dia sebagai orang Belanda maka dia bagian dari Pemerintah Kolonial Belanda. Kondisi ini, satu sisi dapat menguntungkan pekerjaan pekabaran Injil, di sisi lain dapat menjadi penghambat dalam interaksi di    dalam masyarakat karena dilihat sebagai penjajh. Pekerjaan pemberitaan Injil dapat dikatakan berjalan baik, karena kebijaksanaan yang diambil AA Van de Loosdrecht dengan membuka sekolah bekerjasama dengan para pemimpin masyrakat yaitu Toparenge’. Sekalipun ada relasi yang baik terjadi antara AA van de Loosdrecht dengan pemerintah, namun posisinya sebagai orang Belanda kadang menjadi kendala, karena dilihat sebagai bagian dari penjajah. Terbukti beliau menjadi Korban pembunuhan dari sekelompok anggota masyarakat di Bori’, bukan karena sebagi pendeta atau pekhabar Injil, tetapi dilihat sebagai orang Belanda bagian dari penjaja. Pongmasangka sebagai pimimpin masyarakat membunuh AA Van de Loosdrecht didorong sikap patriotisme cinta Tanah air tidak senang diperintah oleh orang asing dan bukan karena beliau penginjil. Pasca kematian AA Van de Loosdrecht tidak membuat surut semangat penginjilan dari GZB, melainkan semakin ditingkatkan dengan mengirim lebih banyak Zendeling antara lain H. Pol ke Resoort Sangalla, Makale. D J Van Dijk ke Resoort Rantepao, Heusden Resoort Palopo dan Van Weerden ke Resort Rongkong/ Seko. Dengan bertambahnya tenaga Zendeling, maka penginjilan semakin berkembang. Di mana-mana berdiri jemaat di keempat Resoort. Dengan berdirinya jemaat-jemaat sikap politik Gereja secara instusi tidak jelas, namun selalu dekat dengan penguasa yaitu pemerintah Kolonial Belanda.
     Ketika terjadi perubahan politik Jepang mengalahkan tentara sekutu, maka pemerintah Kolonial Belanda di Nusantara diganti Jepang. Pada masa pemerintahan Jepang Jemaat-jemaat yang sudah berdiri sebagai hasil pekerjaan Tuhan melalui GZB mengalami kesulitan, karena Jepang memihak kepada Islam untuk mengambil hati masyarakat Nusantara. Masyarakat Islam meresa dianak tirikan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Salah satu masalah bagi Gereja Toraja adalah larangan mempergunakan sekolah sebagai tempat beribadah. Dengan kata lain bahwa ada berbagai masalah yang menjadi tantnagan Gereja Toraja pada saat iu dalam berbgai bidang dalam kehidupan berGereja masyrakata Toraja yaitu masalah di bidang politik, agama, adat istiadat dan berbagai masalah lainnya lagi. Tgl 13 Maret 1942 diadakanlah pertemuan 4 orang pendeta dan seorang Kepala RS Elim yang diwakili F.Ba'siang. Perkumpulan membicarakan masalah keuangan terutama karena para zendeling ditawan Jepang pada waktu itu. Disinilah titik awal pertumbuhan Gereja Toraja diakibatkan karena adanya perubahan kekuasaan di Toraja yaitu Jepang menggantikan Belanda.
                        Adapun tokoh-tokoh yang datang dalam periode ini ialah H. Van der Veen, A.A van de Losdrecht, J. Belksma, Pieter Zijlstra, Dirk Jan van Dijk, Hendrik Cornelis Heusdens, Herman Pol, Harm Jan van Weerden, Jacoba Maria Eggink, Jouke Johannes Joachim Goslinga, Hendrik van der Veen.  Beberapa tokoh tersebut merupakan utusan GZB yang datang ke Toraja dan adapula yang bekerja di luar Toraja dalam perjalannan misi GZB di Toraja. Beberapa tokoh ini tidak semua merupakan orang yang hanya beregerak dibidang penginjilan atau khususnya ppada agama namun mereka ada yang menggerakkan misi Kristen di bidang pendidikan dan kesehatan. Strategi yang mereka gunakan sangatlah berbeda-beda namun ada tujuan yang agaknya sama yakni mengabarkan kabar sukacita atau injil di Tana Toraja[1].  

2.      Zaman Orde Lama  ( 1945- 1967 )
Pada saman ini  Gereja Toraja kembali lagi memiliki permasalahan dalam berbagai bidang-bidang dalam perjalanan sejarahnya, misalnya di bidang politik adanya sikap dilematis menghadapi kolonialisme yang masih ada di Tana Toraja. Hal ini dikarenakan penginjil yang semuanya adalah orang Belanda disisi lain warga Gereja Toraja adalah anti penjajah/kolonialisme pada saat itu. Adanya ungkapan anti kolonialisme disini dikarenakan karena pada saat itu Indonesia telah berdaulat atau merdeka. Situasi kemudian kembali lagi menjadi tegang lagi ketika adanya pergolakan yang terjadi diakibatkan oleh adanya revolusi yang terjadi dan lebih lagi adanya pemberontakan oleh DI/TII[2] pada saat itu warga Gereja kembali bersikap dilemma, namun para penginjil tidak membatasi waraga Gereja dalam menghadapi hal ini para pemimpin Gereja bekerja sama pula dengan berebagai organisasi di Toraja baiak dengan kalangan pemuda mauapun juga hubungan dengan para partai Politik yang ada pada saat itu misalnya dibentuknya PARKINDO. Pada zaman ini banyak orang Kristen yang semena-mena dituduh sebagai mata-mata Belanda lalu ditangkap dan dibunuh atas nama perjuangan. Sejumlah tokoh Kristen terbunuh, di antaranya Ds. J. Tappi’, Ds. S.Z. Tawaluyan, guru Injil Baso’, guru Nanlohy. Pemuda-pemuda Kristen, yang al. berasal dari Rongkong-Seko, di kalangan laskar Pemuda Pejuang itu, tidak berdaya mencegah pembunuhan-pembunuhan keji atas nama perjuangan itu
Dibidang agama seendiri Gereja Toraja pada periode ini mau tidak mau sudah harus bersikapamandiri dikarenakan ditariknya kembali para zending yang bertugas diIndonesia khussnya di Toraja karena Indonesia telah merdeka pada saat itu. Hal ini suatu masalah juga bagi Gereja Toraja karena sebelum-sebelumnya para zendeling dan pelayan/pendeta-pendeta digaji oleh Lembaga GZB sendiri, namun kini harus bukan GZB lagi tetapi Gereja Toraja sendiri. Disini dapat dikatakan bahwa awal pertumbuhan Gereja Toraja secara mandiri dimulai ditahap ini. Persiapan dimulai dari masalah ditahannya beberapa Zendeling oleh Tentara Jepang masuk di Indonesia. Banyak bagian Pelayanan yang terpaksa atau diberikan kepada para Pendeta Gereja Toraja. Dan setelah mereka dikembalikan ke Rantepao sebab telah terjadi perubahan lagi di Indonesia, mereka bergegas untuk memandirikan Gereja Toraja. Hal itu didahului dengan persiapan Aturan Gereja Toraja oleh para zendeling. Sidang Majelis Am Gereja Toraja diadakan pada tanggal 25 - 28 Maret 1947 di Rantepao. Nama Gereja Toraja dan Aturan Gereja Toraja disahkan pada Tanggal 20 Juni 1947 oleh GZB. Mengenai nama Gereja Toraja memiliki beberapa calon nama untuk Gereja Toraja pada saat itu antara lain: Gereja Kristen Toraja, dan berbagai nama lain lagi nanti di Sidang Sinode Am (SSA) I baru ditentukan dan secara resmi dirtetapkan pada SSA IV tahun 1953[3].
3.      Zaman Orde Baru ( 1967- 1998 )
Pada zaman pergulatan politik, social dan agama  di Toraja dipengaruhi oleh persitiwa-peristiwa yang tragis misalnya G 30S PKI dan bahkan dalam masa ini ada perubahan kekuasaan terjadi dikalangan Indonesia yakni Soeharto menggantikan Ir. Soekarno sebagai presiden. Pada saat itu pula warga Gereja Toraja sendiri ada yang bergabung dalam aliran komunis sendiri dan adapula yang netral, mereka bergabung melalui melalui BarisanTani Indonesia, Pemuda Rakyat, Lembaga Kebudayaan Rakyat.  Pada saat ini pula Gereja Toraja menganut  sistem pemerintahan Gerejawi yang sudah disepakati, yakni sistem pemerintahan Gerejawi presbiterial-sinodal.[4] Terpilihlah tiga pejabat utama, yaitu Ds. D.J.van Dijk sebagai Ketua, Ds. P.S. Palisungan sebagai Sekretaris, yang berfungsi sebagai moderamen. Berikut bukti sebuah perkembangan Gereja Toraja pada periode ini:
Pada tahun 1970 Gereja Toraja telah memiliki 32 klasis, 359 jemaat, dan 218 tempat kebaktian. Wilayah pelayanannya ada 4, yaitu Wilayah I Luwu’, wilayah II Rantepao, wilayah III Makale, dan wilayah IV (wilayah di luar Luwu’ dan Tana Toraja) yang meliputi klasis-klasis Makassar, Pare-Pare, Bone, dan Klasis Seko-Omu di Sulawesi Tengah yang memiliki 15 jemaat. Jumlah anggota Gereja Toraja pada tahun 1970 mencapai 172.392 orang. Itu berarti bahwa pertambahan jumlah anggota Gereja Toraja sejak tahun 1947 sampai tahun 1970 mencapai hampir empat kali lipat, yaitu dari jumlah 45.000 pada tahun 1945 menjadi 172.392 orang pada tahun 1970.[5]

Pertambahan jumlah orang yang memilih masuk Kristen dan menjadi anggota Gereja Toraja yang demikian spektakuler itu menurut Dr. Th. Kobong lebih disebabkan oleh faktor-faktor etnis kultural dari pada faktor-faktor religius.[6] Menurutnya, faktor etnis itu ialah
a.       Di dalam Kekristenan identitas budaya terlihat lebih terjamin daripada di dalam Islam.
b.      Sikap positif Gereja Toraja terhadap kebudayaan, teristimewa upacara-upacara adat.
c.       Rasa persekutuan tercermin di dalam jemaat.
d.      Orang berpendapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari tidak terlihat perbedaan-perbedaan yang besar antara Kekristenan dan Aluk Todolo.
4.      Zaman Reformasi ( 1998- sampai sekarang)
Pada zaman ini boleh dikata Gereja sudah tidak mendapat tantangan yang setragis dalam beberapa periode sebelumnya. Pada zaman ini Gereja Toraja memikirkan lebih jauh mengenai pelayanannya, tata dan pengakuannya serta membenahi beberapa komponen dan bidang-bidangnya dalam perkembangan misi pekabaran injil ditengan masa demokrasi. Perkembangan itu sangat nyata dalam perkembangan Gereja Toraja dalam kaitannya dengan pendidikan misalnya mulai didirikan STT Rantepao yang kemudian menjadi STAKN Toraja pada tahun 2004 dan sampai sekarang, serta mendirikan PGA (Institut Teologia Tangmentoe) dan beberapa Yayasan yang merupakan milik Gerja Toraja sendiri. Dalam kaitannya dengan struktur dan berbagai aspek Gereja Toraja sendiri mulai terus berkembang misalnya terus diadakan dalam berbagai SSA yang sampai pada saat ini telah diadakan  SSA XXIV. Hal ini bukan berarti bahwa Gereja Toraja sudah sampai pada Gereja yang sudah permanen dalam hal ajaran dan pergumulannya dengan masalah adat,social dan politik tetapi Gereja Toraja terus berkembang dan mengevaluasinya dalam berbagai kegiatan dan wadah-wadah tertentu.
C.     ANALISIS
Sungguh dari benih yang telah ditaburkan oleh GZB sekarang telah berbuah dan menjadi sukacita yang sangat berdampak bagi semua masyrakat Toraja yang ada di Toraja maupun yang ada dalam perantauan. Analisis saya dalam melihat berbagai pergumulan Gereja Toraja dalam beberapa pembagaian periode dan sekaligus menjadi evaluasi tersendiri bagi pembaca yaitu:
1.      Kadang gerja hidup menjadi boneka yang diremot oleh pemerintah/ hidup dibawah ketiak penguasa
2.      Upaya Gereja dalam kontekstualisasi masih minim, nanti setelah Van der Veen dengan terjemahan Alkitab bahsa Toraja/ Soera’ Madatoe dan adanya arsitektur bangunan Gereja Toraja yang berbentuk rumah tongkonan barulah kemudian dapat dilihat upaya kontekstualisasi.
3.      Gereja Toraja sekalipin menghadapi pergumulan/pergolakn yang cukup tragis namun hal ini menurut saya membvuat Gereja Toraja dalam kedewasaan yang sangat cepat. Hal ini nyata dalam upaya pemberian upah/insentif bagi para pelayan Gereja Toraja.
4.      Gereja Toraja masih minim dalam upaya kesejahteraan umatnya dalam hal ini sampai saat ini banyak Gereja Toraja yang sangat membutuhkan Pelayan. Hal ini kita mau melihat kembali kinerja empat pendeta pertama yakni P. Sangka Palisungan, Sampe Tondok Lande, Joesoef (Yusuf) Tappi’ dan Yesaya Sumbung.
D.    REFLEKSI
Refleksi dari sejarah tersebut ialah upaya atau usaha para zending  dan para pendeta dalam meperjuangkan Injil di Toraja ini sangatlah berharga, karena itu feedback dari kita sekarang yang boleh dikata penikmat Injil yang sangat dibutuhkan. Jika Yusuf Tappi’ misalnya dibunuh oleh DI/TII pada saat itu hanya karena Injil bagaimana dengan kehidupan kita sekarang adakah upaya yang telah kita lakukan sebagai ucapan terima kasih kita dan syukur kita kepada-Nya. Sayangnya yang menjadi evaluasi kita adalah untuk bersekutu saja dalam Gereja yang sudah sanga nyaman bebas dari pemberontah/penjajah kita masih malas. Semoga saja dengan melihat karya mereka dalam imannya dalam Yesus Kristus kita terdorong untuk semakin bertumbuh pula dalam iman kita.
E.     KESIMPULAN
Sejarah selalu jujur dan tidak menyembunyikan negative dan positifnya karena itu yang baik dalam sejarah Gereja Toraja mari kembangkan dan yang negative mari kiita perbaiki, terlebih dalam kaitannya dengan berbagi bidang dalam pemerintahan baik ekonmi, sosiala, politik dan masih banyak lagi. Dalam kaitan dengan zending dan para pendeta mari tumbuhkan semangat untuk melayani bukan terdorong oleh semanagt kolonialisme tetapi post kolonialisme kita harusnya menjadi neo-zending ditengah era post millennium pada saat ini. Suatu kombinasi kalimat dan yang menjadi judul buku dalam sejarah Gereja Toraja untuk kita renungkan dan refleksikan yaitu. Mari kita Menjembatani Jurang Dan Menembus Batas untuk “Mencontohi Iman Mereka”.


[1] Seminar Teologi, Sejarah Perkembangan Gereja Toraja Dalam observasi dan kajian empiris, Tangmentoe tahun 2014

[2] Bert Tallulembang, Reinterpretasi & Reaktuliasai Budaya Toraja,(Yogyakarta, Penerbit Gunung Sopai:
2012), 21
[3]  Institut Gereja Toraja, Draft Sejarah Gereja Toraja 1913-2013, Tahun 2014

[4]Zakaria Ngelow, Sistem presbiterial-sinodal merupakan tradisi Kalvinis yang diwarisi dari Gereja Belanda: jemaat dipimpin bersama oleh para pejabat Gereja (Yun presbuter, yakni pendeta, penatua, diaken) sebagai Majelis Jemaat, dan bersama-sama seluruh jemaat yang tergabung dalam satu Gereja bersepakat berjalan bersama (Yun sunodoj) , yakni tunduk pada keputusan bersama yang diputuskan di persidangan yang lebih luas, yakni persidangan klasis atau persidangan sinode. Dalam kalangan Kalvinis presbiterian (Anglo-Sakson) Gereja-Gereja presbiterian mengembangkan kepemimpinan pada lingkup klasis (presbitery), bukan di lingkup jemaat.
[5] Benih Yang Tumbuh VI (hh. 102-111)
[6] Th. Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta BPK Gunung Mulia: 2010),  259.

2 comments:

  1. makalahnya sangat membantu kak, tapi sebelum upload, filenya diperiksa kembali yah, banyak typo d dalam .. hehehe tetap jadi berkat bagi org lain kak..

    ReplyDelete