Wednesday, September 12, 2018

ALANG

“Alang Atau Lumbung
Di Toraja”



ALANG
(Lumbung Padi Toraja )

Alang ( lumbung padi ) sebagai tempat mengimpan padi diTana Toraja mempunyai arti dan fungsi yang tertentu selai dari pada tempat menyimpan padi ditanah toraj menpunyai arit dan fungsi tertentu selai dari pad tempat menyimpan padi tersebut sesudah panen yang bagi mastarakat toraja menurut kenyakinan aluk todolo menempatkan padi itu sebagai tanaman makanan yang utama serta diyakini pulah mempunyai roh sebagai benda –benda lain yang perlu menempatkan pemeliharaan sebagai mana mestinya. Itulah sebabnysa dahulu kalah sesuai dengan kenyakinana aluk todolo padi itu tak dapat dicampur kurban baurkan dengan makanan-makananlain atau dengan manusia karena berpangkal pada keyakinan aluk dan kepercayaan aluk todolo wa khusus mengenai padi adalah tanaman makanan yang lasngsung dibina dan jaga oleh deata-deata pare (dewa sang pemelihara padi) karena disamping makanan manusia juga merupakan makanan sajian pada oknum-oknum yang dipuja dan disembah

Jikalau padi tidak dipelihara dan dijsaga tersendiri sangat susah mencari tahu setiap pelanggaran pelanggaran dalam hal pembinaan dan pemeliharaan padi dan jikalau padi tidak berhasil atau rusak maka hal tu dianggap sebagai perbuatan manusia yang bertentangan dengan cara pemeliharaan padi yang dinamakan aluk pare (aturan dan agama pemeliharaan padi) maka oleh pembinaan dan pengawasan jalannya aluk pare nama to’indo’atai indo’padang harus mengadakan kurban persembahan pengakuan pelanggaran dan segalah pelanggarana manusia yang telah terjadi dalam hal pemeliharaan padi dengan kurban babi atau ayam.

Dengan demikian maka menurut mithos dari padi menurut kepercayaan aluk todolo katanya berkata demikian

“ Kami pare tallu bulinna kande pesuru’puang titana’ tallu tang mangdinkanni umpebau bosi sia umpedarang mako’do’solaunrangngikada bullung sia ulelean kada panglambe d.st

Artinya ;
Kami padi bulir tiga pengasuh makanan persembahan kepada tiga oknum tidak mau dan tidak sudih mencium bau busuk dan amis serta tidak mau dan tidak sudih mendengar kata kutuk dan kata najis ,sebagai kata-kata mala petaka.dst

Dengan dasar itulah maka padi dibuatkan tempat tersendiri terpisah dari tempat manusuia karena rupah yang didiami oleh menusia itu tempatanya oreng mati dan tempatnya oreng mengatakan segalah kata-kata kutuk dan laknat dan tempat padi itu dinamakan alang yaitu suatu ruangan tersendiri namun tidak  jauh  dari tempat manusia yang memiliki padi itu yang umumnya dibuat disekitar pinggir rumah .

Karena alang ini tidak dijaga maka harus ditutup rapat –rapat agar tikus dan burung tidak mudah masuk kedalamnya dan dibuatkan penutup agar supaya terlindung dari pada hujan dan mata hari .

Pada mulanhnya tempat menyimpan padi itu dibuat dari pada bambu yang dianyam danmelingkar/bulat bentuknya kemudian ditutup pada bagian atas nya jadi berbentuk suatu keranjang yang besar dan buatkan rumah tersendiri tempat meletakkannya sendiri dan tempat menyimpan padi yang pertama itu namanya alang palipu dan sampai sekarang masih ada satu dua daerah yang jau dipegunungan yang mempergunakanya.

Lama kelamaan setelah mulai meningkat kehidupan  manusia maka alang palipu’itu di beri tiang atau di buatkan ruangan dibawahnya untuk menghindari gangguan dari binatang-binatang yang dapat merusak keranjang yang namanya palipu’ tersebut berarti sudah terangkat tinggi jauh dari tanah namun tempatnya masih tetap tersendiri yang di namakan lemba, yang kemudian ruangan yang dibawah duduk waktu beristirahat. Karena alang ini sudah mempunyai ruangan tempat duduk maka mulailah alang lembang itu ditempatkan di muka rumah /tongkonan karena sangat baik sebagai tempat menyampaikan perintah dan peranan kepada masyarakat yanglama kelamaan setiap tongkonan terutama tongkonan layuk dan tongkonan pekaindoran atau pekamberan di buat alang lemba di depannya untuk tempat menerima tamu-tamu serta sebagai balai pertemuan.

Sejak perubahan alang balipu menjadi alang lemba sejak itu fungsi dari pada alang itu sudah mempunyai fungsi yaitu sebagai tempat menyimpan padi dan sebagai tempat menerima tamu-tamu. Perkembangan pengetahuan teknis manusia toraja menyebabkan pulah bentuk alang lemba itu di bangun dengan mempergunakan alat-alat yang lebih baik dan lebih tahan maka tiang-tiang lumbung padi di robah dengan mempergunakan bahan-bahan ramuan dari batang nibung dan kayu yang kuat dan terbentuklah alang yang di namakan alang palimbung, yaitu atapnya sudah agak keluar dan begitu pula depan dan belakangnya sudah agak menjulang seperti bentuk rumah tongkonan dan sangat baik untuk tempat menginap karena terhindar dari percikan air hujan. Bagi keluarga-keluarga yang mampu terutama  bagi penguasa adat membuat alang itu dengan menyeragamkannya dengan bentuk tongkonannya untuk menambah keagungan dari tongkonan yang berkuasa dengan tiang dari  pada batang Nibung namanya banga dan membuat ruangan pada lantai bawah untuk di tempati duduk serta tempat menyelesaikan seluruh masalah di tongkonan  tersebut dan alang ini di katakan alang polle’ sebab yang mempunyai depan yang menjulang begitupun kebelakang dengan bentuk seperti perahu layar.

Bagi bangsawan-bangsawan dan orang-orang kaya Toraja mulai pula mengukir alang-alang tersebut dengan mengikuti ukiran – ukiran dari tongkonan maka akan menambah indahnya alang tersebut dilihat , dan dahulu kala lumbung  atau alang yang berukir yang di namakan alang sura’ itu hanya di buat oleh bangsawan – bangsawan Toraja serta orang – orang yang terpandang dalam masyarakat yang selalu di dirikan berhadapan dengan tongkonannya menambah keagungan dari perumahan adat Toraja karena tongkonan dan alang yang berhadapan – hadapan sangat harmonis .

Alang pollo’ seba diroba bentuk sedikit yaitu lebih menjulangnya depan dan belakangnya sebagai alang yang tercipta karena meningkatnya arsi tektur bangunan toraja maka terciptalah yang dinamakan alang sembang dan semua alang sembang itu harus diukir karena syarat bangunan tersebut tidak baik dilihat kalau tidak diukir. Ada beberapa daerah di Tana Toraja alang itu merupakan pula alang pusakah atau alang warisan yang didirikan ditiap –tiap tongkonan dari keluarga tersebut, yangmaksudnya pada setiap saat menghadapi upacarah atau sesuatu masalah ditongkonan itu maka masing-masing keluarga mempergunakan lumbungnya sebagai tempat tinggal /berkumpul selama upacara berlangsung. Juga setiap selesainya membangun satu alang terutama alang pusaka atau warisan selalu diadakan kurban –kurban persembahan tiap –tiap prosesnya seperti membangun rumah tongkonan serta acaranya pun sama hanya saja tidak sehebat dengan acara membangun tongkonan, dan setelah selesaih harus fditabiskan / diselamati oleh keluarga atau rang yang bersangkutan dengan mengadaskan kurban persembahan babi, dan bagi-bangsawan –bangsawan yang kaya ada kalanya dalam menabiskan alangnya itu menyadakan kurban babi beberapa ekor untuk memberi makan bagi masyarsakat dalam daerahnya serta mengadakan pembagian daging menurut adat untuk membuktikan bahwa orang itu adalah orang yang berada dan mampu bersosial pada masyarakat.

Dengan adanya perkembangan alang(lumbung )padi tersebut diatas sejak dari permulaan sampai sekarang ini maka sejak itu dikenal mulai dari permulaan masing-masing :

a.       alang palipu’sebagai alang yang permulaan .
b.      alang lemba sebagai alang yang mengantikan alang  palipu’ yaitu sudah mempunyai lantai dengan kolong untuk ditempati duduk-duduk .
c.       alang palimbung yaitu alang yang sudah agak baik lantainya dan sudah mempunyai bentuk menjulang kemuka dan kebrlakang dan sudah baik tempat menginap jikalau kehujanan .
d.      alang pollo’seba,yaiu bentuk yang terahir yang ada kalahnya tidak diukir ada pula yang diukir kemudian alang sembang yang tidak baik kalau tidak diukir dan kedua bentuk ini hampir sajah sama juma untuk alang sembang pada depandan belakangnya lebih menjulang dari pada pollok sebah .

Kesemua alang-alang tersebut diatas fungsi utamanya sebagai tempat menyimpan padi berdasarkan kepercayaan aluk todolh tersebut diatas, disamping peranan –peranannya sesuai dengan perkembanyan masyaraskat toraja yang mengambarkan suatu bentuk kebudidayaan toraja yang lain dari daerah lain karena alang berfungsi sebagai:

  1. sebagai tempat mengiman padi  bagi orang-orang kaya toraja.
  2. tempat menerima tamu-tamu bagi pejabat –pejabat desah (Penguasa adat ) karana rumah tongkonan tidak harmonis dan kurang praktis tempat menerima tamu yang ruangnganya tertutup
  3. tempat bermusyawarah /membicarakan kepentingan masyarakat bagi penguasa –penguasa adat berarti sebagai balai prtemuan bagi pejabat-pejabat pemerintah desah .
  4. pada waktu adanya upacara adat yang diadakan oleh setiap keluargah dari tongkonan ditempat alang itu merupakan tempat menerima tamu –tamu agung sekali gusmenjadi penginapan bagitamu-tamu selama upacara berlangsung .
  5. salang yang berhadapan dengan tonkonan mengambar kan suatu keagungan dan martabat dari keluarga yang bersangkutan dan yang menempati tongkonan itu.


Teologi Religionum



Kutipan Piagam Zaman Kita (Deklarasi Vatikan II)

Alinea 1 berbicara tentang keharusan yang dibawa serta oleh zaman (waktu) untuk menyadari kemajemukan dengan segala tuntutannya:

1.1.     “Zaman kita” adalah zaman umat manusia tambah hari tambah bersatu. Hubungan-hubungan antarbangsa berbeda semakin dilipatgandakan. Maka gereja dengan lebih saksama mempertimbangkan bagaimana sikapnya terhadap agama-agama nonkristen. Tugasnya memajukan kesatuan dan cinta kasih di antara manusia, bahkan di antara para bangsa, maka gereja dalam naskah ini terutama menyatakan perhatiannya akan faktor-faktor yang mempersatukan manusia satu dengan yang lain serta faktor-faktor yang memperkokoh kesatuan itu.
1.2.     Segala bangsa bersama-sama membentuk satu umat-Nya, berasal dari satu rumpun yang diciptakan Tuhan supaya mendiami permukaan bumi (Kis 17:26), dan mempunyai satu tujuan, yaitu Allah. Inayat Ilahi, kesaksian kebaikan-Nya serta rencana keselamatan-Nya diperuntukkan bagi semua orang (Kebij 8:1 Kis 14:17; Rm 2:6-7; 1 Tim 2:4), sampai tiba saatnya para terpilih dipersatukan dalam kota suci, yang dicemerlangkan oleh kemuliaan Allah dan di mana para bangsa menceminkan cahaya ilahi (Why 21:23).
1.3.     Manusia mengharapkan dari aneka agama jawaban atas rahasia-rahasia eksistensi insani yang telah dahulu kala maupun sekarang mendesak hati manusia: Apakah manusia itu? Apakah asal mula serta arti sengsara? Manakah jalan yang menuju kebahagiaan sejati? Apakah arti maut dan menghadapi hukuman dan pembalasan sesudah maut? Apakah sebenarnya rahasia asasi yang mengatasi daya tangkap manusia, meskipun meliputi keadaan kita seluruhnya: Dari mana asal kita dan ke mana kita bergerak?

            Nostra Aetate menyatakan penghargaan terhadap nilai-nilai keselamatan agama-agama non-Kristen:

Sejak zaman kuno sampai masa sekarang terdapatlah di antara pelbagai bangsa suatu kesadaran akan adanya zat penggerak gaib yang mendukung gerak alam dan hal ihwal hidup insani bahkan ada kalanya pengakuan akan adanya kuasa tertinggi atau malahan ... Bapa. Kesadaran memenuhi hidup manusia dengan rasa rohani. Agama-agama yang berkembang dalam rangka kebudayaan yang lebih maju, memakai jalan pikiran yang lebih halus dan istilah-istilah yang lebih tepat, tetapi sebenarnya berusaha untuk meyediakan jawaban-jawaban atas soal-soal yang sama dengan yang disebut di atas.

Tentang Hinduisme dikatakan,

Dalam Hinduisme manusia mengalami misteri ilahi dan mengungkapkannya dalam jumlah mythe aneka warna, dan dalam sistem filsafat yang cerdas. Di dalamnya seorang Hindu mencari kebebasan dari kerisauan hidup melalui tiga jalan: dengan macam-macam karya, dengan mengheningkan cipta secara mendalam atau dengan mempercayakan diri kepada hadirat Tuhan, bersikap asyik hati dan berbakti.

Tentang Buddhisme dikatakan,

Buddhisme dalam macam-macam alirannya mengakui bahwa dunia yang fana ini tak mungkin dapat memuaskan manusia; lantas mengajarkan jalan, melalui mana manusia, sepenuh hati lagi yakin, sanggup untuk memperoleh taraf kebebasan sempurna atau penerangan tertinggi, entah dengan daya upaya sendiri entah bantuan dari atas.

            Pada tempat pertama, dialog Kristen-Islam adalah dialog antarpribadi yang beriman:

Terhadap umat Islam Gereja Katolik memandang dengan penghargaan yang besar. Mereka ini menyembah Allah yang Mahaesa, yang hidup dan berdiri pada dhatnya sendiri, Mahamurah serta Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang berfirman kepada manusia.
Umat Islam berdaya upaya untuk menyerahkan diri dengan ikhlas hati kepada hukum-hukum Allah yang tersembunyi, seperti Ibrahim, dengan siapa iman Islam suka menggabungkan dirinya, menyerahkan diri kepada Tuhan.
Sesungguhnya mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, namun menghormati-Nya sebagai nabi; mereka menghormati Ibunda perawan Maria dan terkadang menyeru kepadanya dengan khidmat.
      Tambahan pula umat Islam menantikan hari Tuhan atau membangkitkan semua orang serta memberi balasan kepada tiap orang sesuai dengan amal perbuatan masing-masing
Akibatnya umat Islam menghargai kehidupan yang berlandaskan moral, dan mengabdi Tuhan terutama dengan mendirikan shalat, memberikan sedekah serta berpuasa.
Sebenarnya dalam ayat-ayat lampau tidak sedikitlah perbedaan paham dan permusuhan timbul antara pihak Kristen dan pihak Muslim. Biarlah begitu, namun Muktamar Kudus ini mendesak semua supaya melupakan apa-apa yang lampau itu, dan berdaya upaya dengan seikhlas-ikhlasnya untuk terciptanya saling pengertian. Marilah kita bersama-sama berusaha untuk membina dan memajukan keadilan sosial, nilai-nilai akhlak serta damai dan kesejahteraan manusia.

Semua agama menjawab kerinduan hati manusia:

Sedemikian itu semua agama di semesta dunia berusaha menjawab kerinduan hati manusia dengan cara aneka warna, yaitu dalam mengemukakan jalan yang terdiri dari ajaran, kaidah-kaidah, kelakuan dan upacara suci.
Gereja Katolik tidak menolak apa saja pun yang benar dan suci dalam agama-agama lain. Dengan hormat yang tulus Gereja menghargai tingkah laku dan tata cara hidup, peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran agama tersebut. Meskipun mereka itu dalam banyak hal khusus berbeda dari iman dan pengajaran Gereja, namun kerapkali memantulkan cahaya kebenaran yang menerangi sekalian orang.
Sungguhpun sedemikan halnya, Gereja memaklumkan Kristus serta berwajib mempermaklumkan-Nya tak terputus-putus, karena Dialah merupakan “jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh 14:6). Manusia mencapai keseluruhan hidup keagamaan dalam Kristus, dalam siapa Tuhan telah menyelamatkan segala-galanya (Bnd. 1 Kor 5:18-19).

Ajakan bersimpati Pada unsur-unsur positif, rohani, dan moral:

Berdasarkan asas-asas tersebut, maka Gereja menyerukan kepada putera-puteranya, agar mereka dalam kesaksian iman dan hidup kristiani menaruh simpati kepada unsur-unsur positif, rohani maupun moril, yang terdapat pada para penganut agama lain, lantas memelihara dan memperkembangkan unsur-unsur tadi. Sikap simpati itu juga harus mencakup nilai-nilai yang termuat dalam hidup masyarakat dan kebudayaan mereka. Dianjurkan supaya sikap tadi dinyatakan oleh dialog dan kerja sama dengan mereka dalam suasana tanggung jawab dan khidmat.



Kasih kepada Allah harus nyata melalui kasih kepada sesama manusia:

Kita tidak dapat berseru kepada Allah, Bapa sekalian orang, bila kita tidak mau bersikap saudara terhadap sebagian orang yang toh juga diciptakan menurut citra Allah. Sikap seseorang terhadap Allah Bapa dan sikap sesorang terhadap sesama saudaranya berkembang satu sama lain sebegitu erat sampai kitab suci mengatakan; “Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengasihi Allah “ (1 Yoh 4:8). Karna itu batal sia-sialah dasar segenap teori atau praktik yang mengadakan diskriminasi antara manusia dan manusia atau antara bangsa dalam hal martabat manusiawi serta hak-hak yang timbul daripadanya.

Maka Gereja mengutuk setiap rupa diskriminasi atau hukuman karena ras, warna kulit, tingkat sosial atau agama sebagai bertentangan dengan semangat Kristen. Oleh karna itu Muktamar Kudus ini, dengan mengikuti tapak para rasul Santo Petrus dan Paulus, mencamkan dengan semangat “untuk memelihara pergaulan baik di tengah-tengah para bangsa” (1 Ptr. 2:12) dan sedapat-dapatnya, “sejauh hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang “ (Rm. 12:8) sehingga benar-benar menjadi an   ak-anak Bapa yang ada di surga.

Makalah Teologi Kontekstual tentang “PandanganModel Sintesis mengenai Tau-tau serta pada aplikasinya dalam kehidupan di Toraja"




Makalah Teologi Kontekstual
tentang
 PandanganModel Sintesis mengenai Tau-tau serta pada aplikasinya dalam kehidupan di Toraja"



 





OLEH :


Nama     :           Krisnataniel










KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu proses penulisan makalah ini dari awal hingga akhir. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Penulis menyadari banyak kelemahan dan kekurangan dalam makalah ini, oleh sebab itu kritik dan saran kepada penulis sangat  harapkan dari para pembaca. Judul dari makalah ini adalah  Tentang PandanganModel Sintesis mengenai Tau-tau serta pada aplikasinya terhadap Patung Yesus di Burake dengan topik dari mata kuliah Teologi Kontekstual.




Mengkendek,  April  2017
                                                                                                                                   


DAFTAR ISI
JUDUL I
KATA PENGANTAR II
DAFTAR ISIII
BAB I PENDAHULUAN 1
A.   Latar Belakang Masalah 1
            B.   Rumusan Masalah2
C.   Tujuan Penulisan 2
BAB II  ISI 3
A.    Pengertian Tau-Tau3
B.     Pandangan Model Budaya Tandingan 4
C.     Pandangan Model Terjemahan
D.    Pandangan Model Antropologis
E.     Pandangan Model Praksis
F.      Pandangan Model Transendental
G.    Pandangan Model Model Sintesis Melihat Tau-Tau Serta Kaitannya Dengan Patung Yesus Di Burake
BAB III KESIMPULAN11
1.      Kesimpulan9
2.      Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Inti utama dari model sintesis ialah dialaog, dan tidak memihak kepada satu model yang disintesiskan. Model sinstesis mengambil jalan tengah setelah ada dialog yang terbuka dari tradisi dan budaya atau dengan kata lain dialog antara beberapa macam model teologi kontekstual. Model Terjemahan adalah model yang pada umumnya sering digunakan oleh banyak orang. Model ini juga merupakan cara paling tua yang mengindahkan konteks berteologi secara sungguh-sungguh dan model ini ditemukan di dalam Kitab Suci itu sendiri. Model ini bersifat idiomatik, artinya bahwa terjemahan itu mesti dilakukan dengan padanan fungsional atau dinamis. Model ini lebih menekankan pada pewartaan injil sebagai sebuah pewartaan yang tidak pernah berubah. Berbeda dengan hal demikian model antropologis bersifat ‘’antropologis’’ dalam dua arti. Pada tempat pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan antropos, pribadi manusia dan yang kedua, model ini bersifat antropologis dalam arti bahwa ia menggunakan wawasan-wawasan ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi. Arti kedua dari model antropologis ini mengacu pada kenyataan bahwa penekanan utama dari pendekatan ini menyangkut teologi kontekstual adalah kebudayaan.[1] Jadi, perhatian utama model antropologis adalah pengukuhan atau pelestarian jati diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen.[2]
Di sisi lain model praksis dimana ia adalah model yang berfokus pada perubahan sosial yang menekankan atau menentang dosa structural dalam kehidupan. Dalam artian bahwa model ini menekankan refleksi dan aksi yang secara terus menerus terjadi atau berproses secara spiral. Penekananan model praksis ialah orto praxi bukan hanya pada ortodoksi. Kemudian Teologi kontekstual dengan model transendental adalah  teologi yang berdiri atas pengalaman subjek yang menjadi inspirasi bagi seseorang. Model transendental berkarya melalui sebuah metode yang serentak berciri simpati dan antipati. simpati,dalam arti bahwa seseorang pribadi yang memiliki integritas bisa belajar banyak dari pribadi lain yang juga memiliki integritas yang bersal dari konteks. Antipati dalam arti bahwa apabila sesorang menganalisis mengapa ia menolak atau merasa tidak tertarik terhadap suatu cara berteologi tertentu, maka ia sudah mengambil langka pertama untuk berteolgi secara kontekstual. Model transendental memiliki suatu cara berteolgi yang baru dengan penekanan pada teologi sebagai aktivitas dan proses teologi sebagai suatu isi atau kandungan tertentu, ia secara tepat menandaskan bahwa teologi bukan ihwal menemukan jawaban-jawaban yang tepat yang ada dalam bidang transkultural tertentu, melainkan perkara pencarian secara saksama dan penuh gairah terhadap autensitas dari ungkapan jati diri agama dan budaya seseorang. Dan model yang paling terakhir ialah model budaya tandingan model ini mengindahkan kitab suci tetapi menantang budaya setempat. Bahkan dengan pengungkapan lahan harus  disiangi sebelum benih ditanam, artinya disini kalau tidak sejalan dengan kitab suci maka ia budaya-budaya setempat akan dihilangkan. Dialog secara terbuka dari beberapa model inilah yang akan dilihat dalam penulisan makalah ini. Pandangan model sintesis melihat tau-tau di toraja ini yang akan menjadi fokus dalam makalah ini, hal itu terjadi tidak lepas dari dialog antara lima model teologi kontekstual disini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian tau-tau
       Berbagai macam adat yang ada dalam suku toraja ini bersumber dari aluk,  adat merupakan sesuatu keharusan menaati nilai-nilai yang ada dalam aluk. Tau-tau adalah bagian dari kebudayaan suku toraja. Tau-tau adalah boneka sebagai personifikasi dari yang meninggal[3].
Ma'tau-tau adalah menghadirkan orang yang meninggal pada ritual-ritual kematiannya dan pada kuburannya.  Ma'nene' termasuk ritual bagi orang mati, yaitu ritual bagi para leluhur yang sudah lama meninggal dan dikubur. Pada ritual ini (Ma'nene') boneka-boneka (patung-patung) mereka diberikan baju baru dan dipelihara baik-baik sebagai tanda dari hubungan dan penghormatan terus-menerus.
       Tau-tau ini merupakan suatu hal yang hanya ada pada kalangan atas dalam suku toraja. Dalam struktur stratifikasi tau-tau tidak dibuatkan untuk kalangan bawah atau tana’ dibawah tana’ bulaan. Tau-tau ini pada hakikatnya untuk mengenang orang yang telah meninggal. Tau-tau ini sampai pada zaman sekarang nyata dalam kehidupan toraja, misalnya di sangalla’ Utara  jika ada puang yang meninggal maka dibuatkan patung. Artinya bahwa lewat patung itu maka sebuah penghargaan atau untuk mengenang almarhum itu nampak lewat pembuatan patung atau tau-tau. Dilihat dari persfektif seni patung ini merupakan suatu karya seni yang hasil dari tau-tau ini ialah suatu nilai keindahan atau estetika.


B.     Pandangan Model Budaya tandingan
       Budaya tandingan adalah model teologi kontekstual yang sangat  mengindahkan injil dan bahkan jika ada bagian dari budaya setempat yang tidak sesuai dengan nilai injil maka hal itu akan dihilangkan. Senada dengan makna dari tau-tau ini maka kehadiran gereja melihat tau-tau ini tidak sejalan dengan injil dan pada akhirnya gereja tidak setuju dengan hal demikian, tau-tau(tau-tau dalam pengertian adat) kemudian dihilangkan, Hal ini menunjukkan suatu teologi kontekstual model budaya tandingan dimana model ini mengindahkan injil serta menantang budaya setempat. Budaya tandingan berpendapat bahwa seharusnya patung atau tau-tau tidak boleh berangkat dari hukum ke 2 dalam Hukum Taurat. Namun suatu hal yang menjadi kritik habis-habisan untuk model budaya tnadingan disini ialah hadirnya pembuatan patung Yesus di Burake.  
C.     Pandangan Model Terjemahan
        Disisi lain model terjemahan disini dalam kenyataannya setuju dengan hal demikian  mengapa karena disisi lain agama kristen kemudian membuat juga patung (merujuk pada Patung Yesus di Burake) dan suatu usaha kontekstual yang sangat merujuk pada terjemahan disini ialah dengan hadirnya patung Yesus di Burake. Dimana patung ini bukan lagi dari orang yang telah meninggal tetapi merujuk kepada Yesus. Seperti halnya makna dari patung ialah mengenang dan mengormati jasa pengorbanan dari orang yang dibuatkan patung demikian halnya patung  Yesus ini.
D.    Pandangan model Antropologis
       Disisi yang sama pula antropologis yang mengindahkan budaya setempat hadir mendukung mengenai tau-tau bahwa tau-tau ini merupakan suatu hasil budaya yang berfungsi sebagai monumen untuk mengenang orang yang telah berjasa dalam seluk beluk kehidupan kita. Karena makna utama dari patung ialah pengenangan maka antropologis ini akan melihat patung sebagai penghargaan kepada yang telah tiada. Demikian pula halnya pandangan patung Yesus di Burake antropologis akan melihatnya sebagai sebuah pengenangan akan Yesus.
E.     Pandangan Model Praksis      
       Tau-tau menurut adat dari segi pandangan praksis adalah sesuatu hal yang tidak perlu dipersoalkan karena patung atau tau-tau pada hakikat untuk mengenang orang yang telah meninggal tersebut dengan melihat patungnya. Namun praksis melihat tau-tau ini atau patung ini sebagai suatu hal yang tidak baik dimana dapat memicu  adanya salah tafsir dari orang beragama lain terhadap agama kristen yang ada di toraja melihat patung Tuhan Yesus di Burake ditambah lagi penamaan objek wisat ini sebagai objek wisata religius. Dalam hal ini bisa dilihat sebagai kristenisasi terselubung dari orang diluar kristen sendiri. Memang benar bahwa Toraja merupakan daerah dimana kita melihat dinamika kehidupan yang mayoritas kristen tetapi hal ini bukan alasan untuk membuat patung Yesus tersebut. Secara struktural pemerintah di Toraja kurang merperhitungkan keberadaan agama lain yang ada di Indonesia dalam hal ini dalam lingkup Toraja. Kemudian yang menjadi sebuah kritik juga ialah bagaimana mungkin pemerintah menggunakan suatu instrumen keagaamaan dalam hal ini kristen sebagai cara untuk menarik pengunjung untuk datang dan membawa uang kemudian masuk ke APBD. Singkat kata bahwa patung Yesus ini digunakan sebagai suatu aset untuk menambah pendapatan daerah di Toraja.
F.      Pandangan model Transendental
       Pada saat yang sama pula model transendental mendukung patung ini sebagai suatu karya seni yang merupakan sarana kontekstualisasi teologi. Dalam hal ini merujuk pada inspirasi yang berasal dari pribadi outentik dalam hal ini merujuk kepada Yesus. Inspirasi akan muncul dari patung Yesus ketika kita melihatnya. Namun hal ini perlu digaris bawahi bahwa itu lebih kepada subjek atau orang yang membuat patung ini atau seniman ini. Dengan melihat patung ini maka ada dua respon dimana respon ini yang menjadi inti utama dari yakni antipati dan simpati ketika orang melihat patung itu. 
G.    Pandangan model sintesis melihat tau-tau serta kaitannya dengan patung Yesus di Burake
            Dialog dari berbagai model diatas merupakan acuan dari model sintesis melihat tau-tau dan bahkan kaitannya dengan patung Yesus di Burake. Pandangan praktisis model sintesis pada tempat pertama ialah melihat apa sebenarnya makna dan tujuan dari tau-tau atau patung ini baik tau-tau dalam tataran adat maupun patung Yesus di Burake. Makna atau tujuan inti dari tau-tau atau patung ialah mengenang, menghormati dan menghargai jasa orang yang telah tiada. Sebenarnya semua model diatas ada pada tataran yang sama cuman saja model budaya tandingan yang agak keras untuk menolak hal demikian tetapi pada intinya model budaya tandingan bersifat kontroversial karena kehadiran patung Yesus di Burake. Baik terjemahan, antropologis, praksis, maupun transendental setuju dengan hal demikian tetapi budaya tandingan tidak melihat patung tersebut sebagai sesuatu yang baik tetapi budaya tandingan kontradiksi sekali dengan kenyataan melihat patung Yesus di Burake. Pada saat yang sama praksis setuju akan hal demikian tetapi mengkritisi bahwa hati-hati dengan pembuatan patung dalam hal ini patung Yesus di Burake karena bukan hanya menghargai tetapi mereduksi nilai dan makna dari patung. Artinya bahwa patung ini bisa saja menjadi alat untuk persoalan untung dan ruginya Toraja dalam artian patung digunakan sebagai instumen keagamaan untuk menambah hasil pendapatan daerah. Jika budaya tandingan  sangat anti atau tidak setuju dengan hal demikian maka pertanyaan yang akan membuat budaya tandingan bingung ialah bagaimana dengan patung Yesus di Burake.  
Yang menjadi tesis setelah dialog yang sangat menarik antara  beberapa model diatas ialah sebenarnya merujuk pada suatu makna yakni pembuatan patung merupakan salah satu usaha untuk mengenang, menghormati atau menghargai segala jasa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita.
BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Model sintesis merupakan model teologi kontekstual yang menekankan dialog yang menghasilkan tesis baru, dialog dari berbagai macam model teologi kontekstual diatas merujuk pada makna dan tujuan dari tau-tau yakni lebih kepada cara untuk mengenang dan menghargai jasa para  pendahulu. Inilah yang menjadi tesis dari dialog yang telah terjadi, baik terjemahan,antropologis, praksis maupun transendental sebenarnya mengarah pada makna penghargaan dan pengenangan.
B.     Saran
Suatu saran bagi gereja dan pemerintah disini ialah bagaimana seharusnya teliti melihat apa makna dan tujuan dibuatnya patung Yesus di Burake ini jangan sampai hanya pada masalah kepentingan persoalan perut seperti halnya yang dikritik oleh model praksis.


<!-- Start of adf.ly banner code --><a href="https://join-adf.ly/20384403"><img border="0" src="https://cdn.ay.gy/images/banners/adfly.300x250.1.gif" width="300" height="250" title="AdF.ly - shorten links and earn money!" /></a>
<!-- End of adf.ly banner code -->

[1] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere-Flores: Ledalero, 2002),  97-98.
[2] Ibid, hlm. 96.
[3] Th. Kobong, Injil dan Tongkonan (BPK: Gunung Mulia, 2001),