Wednesday, September 12, 2018

Makalah Teologi Kontekstual tentang “PandanganModel Sintesis mengenai Tau-tau serta pada aplikasinya dalam kehidupan di Toraja"




Makalah Teologi Kontekstual
tentang
 PandanganModel Sintesis mengenai Tau-tau serta pada aplikasinya dalam kehidupan di Toraja"



 





OLEH :


Nama     :           Krisnataniel










KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu proses penulisan makalah ini dari awal hingga akhir. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Penulis menyadari banyak kelemahan dan kekurangan dalam makalah ini, oleh sebab itu kritik dan saran kepada penulis sangat  harapkan dari para pembaca. Judul dari makalah ini adalah  Tentang PandanganModel Sintesis mengenai Tau-tau serta pada aplikasinya terhadap Patung Yesus di Burake dengan topik dari mata kuliah Teologi Kontekstual.




Mengkendek,  April  2017
                                                                                                                                   


DAFTAR ISI
JUDUL I
KATA PENGANTAR II
DAFTAR ISIII
BAB I PENDAHULUAN 1
A.   Latar Belakang Masalah 1
            B.   Rumusan Masalah2
C.   Tujuan Penulisan 2
BAB II  ISI 3
A.    Pengertian Tau-Tau3
B.     Pandangan Model Budaya Tandingan 4
C.     Pandangan Model Terjemahan
D.    Pandangan Model Antropologis
E.     Pandangan Model Praksis
F.      Pandangan Model Transendental
G.    Pandangan Model Model Sintesis Melihat Tau-Tau Serta Kaitannya Dengan Patung Yesus Di Burake
BAB III KESIMPULAN11
1.      Kesimpulan9
2.      Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Inti utama dari model sintesis ialah dialaog, dan tidak memihak kepada satu model yang disintesiskan. Model sinstesis mengambil jalan tengah setelah ada dialog yang terbuka dari tradisi dan budaya atau dengan kata lain dialog antara beberapa macam model teologi kontekstual. Model Terjemahan adalah model yang pada umumnya sering digunakan oleh banyak orang. Model ini juga merupakan cara paling tua yang mengindahkan konteks berteologi secara sungguh-sungguh dan model ini ditemukan di dalam Kitab Suci itu sendiri. Model ini bersifat idiomatik, artinya bahwa terjemahan itu mesti dilakukan dengan padanan fungsional atau dinamis. Model ini lebih menekankan pada pewartaan injil sebagai sebuah pewartaan yang tidak pernah berubah. Berbeda dengan hal demikian model antropologis bersifat ‘’antropologis’’ dalam dua arti. Pada tempat pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan antropos, pribadi manusia dan yang kedua, model ini bersifat antropologis dalam arti bahwa ia menggunakan wawasan-wawasan ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi. Arti kedua dari model antropologis ini mengacu pada kenyataan bahwa penekanan utama dari pendekatan ini menyangkut teologi kontekstual adalah kebudayaan.[1] Jadi, perhatian utama model antropologis adalah pengukuhan atau pelestarian jati diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen.[2]
Di sisi lain model praksis dimana ia adalah model yang berfokus pada perubahan sosial yang menekankan atau menentang dosa structural dalam kehidupan. Dalam artian bahwa model ini menekankan refleksi dan aksi yang secara terus menerus terjadi atau berproses secara spiral. Penekananan model praksis ialah orto praxi bukan hanya pada ortodoksi. Kemudian Teologi kontekstual dengan model transendental adalah  teologi yang berdiri atas pengalaman subjek yang menjadi inspirasi bagi seseorang. Model transendental berkarya melalui sebuah metode yang serentak berciri simpati dan antipati. simpati,dalam arti bahwa seseorang pribadi yang memiliki integritas bisa belajar banyak dari pribadi lain yang juga memiliki integritas yang bersal dari konteks. Antipati dalam arti bahwa apabila sesorang menganalisis mengapa ia menolak atau merasa tidak tertarik terhadap suatu cara berteologi tertentu, maka ia sudah mengambil langka pertama untuk berteolgi secara kontekstual. Model transendental memiliki suatu cara berteolgi yang baru dengan penekanan pada teologi sebagai aktivitas dan proses teologi sebagai suatu isi atau kandungan tertentu, ia secara tepat menandaskan bahwa teologi bukan ihwal menemukan jawaban-jawaban yang tepat yang ada dalam bidang transkultural tertentu, melainkan perkara pencarian secara saksama dan penuh gairah terhadap autensitas dari ungkapan jati diri agama dan budaya seseorang. Dan model yang paling terakhir ialah model budaya tandingan model ini mengindahkan kitab suci tetapi menantang budaya setempat. Bahkan dengan pengungkapan lahan harus  disiangi sebelum benih ditanam, artinya disini kalau tidak sejalan dengan kitab suci maka ia budaya-budaya setempat akan dihilangkan. Dialog secara terbuka dari beberapa model inilah yang akan dilihat dalam penulisan makalah ini. Pandangan model sintesis melihat tau-tau di toraja ini yang akan menjadi fokus dalam makalah ini, hal itu terjadi tidak lepas dari dialog antara lima model teologi kontekstual disini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian tau-tau
       Berbagai macam adat yang ada dalam suku toraja ini bersumber dari aluk,  adat merupakan sesuatu keharusan menaati nilai-nilai yang ada dalam aluk. Tau-tau adalah bagian dari kebudayaan suku toraja. Tau-tau adalah boneka sebagai personifikasi dari yang meninggal[3].
Ma'tau-tau adalah menghadirkan orang yang meninggal pada ritual-ritual kematiannya dan pada kuburannya.  Ma'nene' termasuk ritual bagi orang mati, yaitu ritual bagi para leluhur yang sudah lama meninggal dan dikubur. Pada ritual ini (Ma'nene') boneka-boneka (patung-patung) mereka diberikan baju baru dan dipelihara baik-baik sebagai tanda dari hubungan dan penghormatan terus-menerus.
       Tau-tau ini merupakan suatu hal yang hanya ada pada kalangan atas dalam suku toraja. Dalam struktur stratifikasi tau-tau tidak dibuatkan untuk kalangan bawah atau tana’ dibawah tana’ bulaan. Tau-tau ini pada hakikatnya untuk mengenang orang yang telah meninggal. Tau-tau ini sampai pada zaman sekarang nyata dalam kehidupan toraja, misalnya di sangalla’ Utara  jika ada puang yang meninggal maka dibuatkan patung. Artinya bahwa lewat patung itu maka sebuah penghargaan atau untuk mengenang almarhum itu nampak lewat pembuatan patung atau tau-tau. Dilihat dari persfektif seni patung ini merupakan suatu karya seni yang hasil dari tau-tau ini ialah suatu nilai keindahan atau estetika.


B.     Pandangan Model Budaya tandingan
       Budaya tandingan adalah model teologi kontekstual yang sangat  mengindahkan injil dan bahkan jika ada bagian dari budaya setempat yang tidak sesuai dengan nilai injil maka hal itu akan dihilangkan. Senada dengan makna dari tau-tau ini maka kehadiran gereja melihat tau-tau ini tidak sejalan dengan injil dan pada akhirnya gereja tidak setuju dengan hal demikian, tau-tau(tau-tau dalam pengertian adat) kemudian dihilangkan, Hal ini menunjukkan suatu teologi kontekstual model budaya tandingan dimana model ini mengindahkan injil serta menantang budaya setempat. Budaya tandingan berpendapat bahwa seharusnya patung atau tau-tau tidak boleh berangkat dari hukum ke 2 dalam Hukum Taurat. Namun suatu hal yang menjadi kritik habis-habisan untuk model budaya tnadingan disini ialah hadirnya pembuatan patung Yesus di Burake.  
C.     Pandangan Model Terjemahan
        Disisi lain model terjemahan disini dalam kenyataannya setuju dengan hal demikian  mengapa karena disisi lain agama kristen kemudian membuat juga patung (merujuk pada Patung Yesus di Burake) dan suatu usaha kontekstual yang sangat merujuk pada terjemahan disini ialah dengan hadirnya patung Yesus di Burake. Dimana patung ini bukan lagi dari orang yang telah meninggal tetapi merujuk kepada Yesus. Seperti halnya makna dari patung ialah mengenang dan mengormati jasa pengorbanan dari orang yang dibuatkan patung demikian halnya patung  Yesus ini.
D.    Pandangan model Antropologis
       Disisi yang sama pula antropologis yang mengindahkan budaya setempat hadir mendukung mengenai tau-tau bahwa tau-tau ini merupakan suatu hasil budaya yang berfungsi sebagai monumen untuk mengenang orang yang telah berjasa dalam seluk beluk kehidupan kita. Karena makna utama dari patung ialah pengenangan maka antropologis ini akan melihat patung sebagai penghargaan kepada yang telah tiada. Demikian pula halnya pandangan patung Yesus di Burake antropologis akan melihatnya sebagai sebuah pengenangan akan Yesus.
E.     Pandangan Model Praksis      
       Tau-tau menurut adat dari segi pandangan praksis adalah sesuatu hal yang tidak perlu dipersoalkan karena patung atau tau-tau pada hakikat untuk mengenang orang yang telah meninggal tersebut dengan melihat patungnya. Namun praksis melihat tau-tau ini atau patung ini sebagai suatu hal yang tidak baik dimana dapat memicu  adanya salah tafsir dari orang beragama lain terhadap agama kristen yang ada di toraja melihat patung Tuhan Yesus di Burake ditambah lagi penamaan objek wisat ini sebagai objek wisata religius. Dalam hal ini bisa dilihat sebagai kristenisasi terselubung dari orang diluar kristen sendiri. Memang benar bahwa Toraja merupakan daerah dimana kita melihat dinamika kehidupan yang mayoritas kristen tetapi hal ini bukan alasan untuk membuat patung Yesus tersebut. Secara struktural pemerintah di Toraja kurang merperhitungkan keberadaan agama lain yang ada di Indonesia dalam hal ini dalam lingkup Toraja. Kemudian yang menjadi sebuah kritik juga ialah bagaimana mungkin pemerintah menggunakan suatu instrumen keagaamaan dalam hal ini kristen sebagai cara untuk menarik pengunjung untuk datang dan membawa uang kemudian masuk ke APBD. Singkat kata bahwa patung Yesus ini digunakan sebagai suatu aset untuk menambah pendapatan daerah di Toraja.
F.      Pandangan model Transendental
       Pada saat yang sama pula model transendental mendukung patung ini sebagai suatu karya seni yang merupakan sarana kontekstualisasi teologi. Dalam hal ini merujuk pada inspirasi yang berasal dari pribadi outentik dalam hal ini merujuk kepada Yesus. Inspirasi akan muncul dari patung Yesus ketika kita melihatnya. Namun hal ini perlu digaris bawahi bahwa itu lebih kepada subjek atau orang yang membuat patung ini atau seniman ini. Dengan melihat patung ini maka ada dua respon dimana respon ini yang menjadi inti utama dari yakni antipati dan simpati ketika orang melihat patung itu. 
G.    Pandangan model sintesis melihat tau-tau serta kaitannya dengan patung Yesus di Burake
            Dialog dari berbagai model diatas merupakan acuan dari model sintesis melihat tau-tau dan bahkan kaitannya dengan patung Yesus di Burake. Pandangan praktisis model sintesis pada tempat pertama ialah melihat apa sebenarnya makna dan tujuan dari tau-tau atau patung ini baik tau-tau dalam tataran adat maupun patung Yesus di Burake. Makna atau tujuan inti dari tau-tau atau patung ialah mengenang, menghormati dan menghargai jasa orang yang telah tiada. Sebenarnya semua model diatas ada pada tataran yang sama cuman saja model budaya tandingan yang agak keras untuk menolak hal demikian tetapi pada intinya model budaya tandingan bersifat kontroversial karena kehadiran patung Yesus di Burake. Baik terjemahan, antropologis, praksis, maupun transendental setuju dengan hal demikian tetapi budaya tandingan tidak melihat patung tersebut sebagai sesuatu yang baik tetapi budaya tandingan kontradiksi sekali dengan kenyataan melihat patung Yesus di Burake. Pada saat yang sama praksis setuju akan hal demikian tetapi mengkritisi bahwa hati-hati dengan pembuatan patung dalam hal ini patung Yesus di Burake karena bukan hanya menghargai tetapi mereduksi nilai dan makna dari patung. Artinya bahwa patung ini bisa saja menjadi alat untuk persoalan untung dan ruginya Toraja dalam artian patung digunakan sebagai instumen keagamaan untuk menambah hasil pendapatan daerah. Jika budaya tandingan  sangat anti atau tidak setuju dengan hal demikian maka pertanyaan yang akan membuat budaya tandingan bingung ialah bagaimana dengan patung Yesus di Burake.  
Yang menjadi tesis setelah dialog yang sangat menarik antara  beberapa model diatas ialah sebenarnya merujuk pada suatu makna yakni pembuatan patung merupakan salah satu usaha untuk mengenang, menghormati atau menghargai segala jasa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita.
BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Model sintesis merupakan model teologi kontekstual yang menekankan dialog yang menghasilkan tesis baru, dialog dari berbagai macam model teologi kontekstual diatas merujuk pada makna dan tujuan dari tau-tau yakni lebih kepada cara untuk mengenang dan menghargai jasa para  pendahulu. Inilah yang menjadi tesis dari dialog yang telah terjadi, baik terjemahan,antropologis, praksis maupun transendental sebenarnya mengarah pada makna penghargaan dan pengenangan.
B.     Saran
Suatu saran bagi gereja dan pemerintah disini ialah bagaimana seharusnya teliti melihat apa makna dan tujuan dibuatnya patung Yesus di Burake ini jangan sampai hanya pada masalah kepentingan persoalan perut seperti halnya yang dikritik oleh model praksis.


<!-- Start of adf.ly banner code --><a href="https://join-adf.ly/20384403"><img border="0" src="https://cdn.ay.gy/images/banners/adfly.300x250.1.gif" width="300" height="250" title="AdF.ly - shorten links and earn money!" /></a>
<!-- End of adf.ly banner code -->

[1] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere-Flores: Ledalero, 2002),  97-98.
[2] Ibid, hlm. 96.
[3] Th. Kobong, Injil dan Tongkonan (BPK: Gunung Mulia, 2001),

0 komentar:

Post a Comment