Makalah
Teologi Kontekstual
tentang
“PandanganModel Sintesis mengenai Tau-tau serta pada aplikasinya dalam kehidupan di Toraja"
OLEH :
Nama : Krisnataniel
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang baik secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu proses penulisan makalah ini dari
awal hingga akhir. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Penulis menyadari banyak kelemahan dan kekurangan dalam makalah
ini, oleh sebab itu kritik dan saran kepada penulis sangat harapkan dari para
pembaca. Judul dari makalah ini adalah Tentang “PandanganModel Sintesis mengenai
Tau-tau serta pada aplikasinya terhadap Patung Yesus di Burake” dengan topik dari mata kuliah
Teologi Kontekstual.
Mengkendek,
April 2017
DAFTAR ISI
JUDUL
I
KATA
PENGANTAR
II
DAFTAR ISIII
BAB I
PENDAHULUAN
1
A.
Latar Belakang Masalah 1
B.
Rumusan Masalah2
C.
Tujuan Penulisan 2
BAB
II ISI 3
A. Pengertian
Tau-Tau3
B. Pandangan
Model Budaya Tandingan 4
C. Pandangan
Model Terjemahan
D. Pandangan
Model Antropologis
E. Pandangan
Model Praksis
F. Pandangan
Model Transendental
G. Pandangan
Model Model Sintesis Melihat Tau-Tau Serta
Kaitannya Dengan Patung Yesus Di Burake
BAB
III KESIMPULAN11
1. Kesimpulan9
2. Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
10
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Inti utama dari model sintesis ialah
dialaog, dan tidak memihak kepada satu model yang disintesiskan. Model
sinstesis mengambil jalan tengah setelah ada dialog yang terbuka dari tradisi
dan budaya atau dengan kata lain dialog antara beberapa macam model teologi
kontekstual. Model Terjemahan adalah model yang pada umumnya sering digunakan
oleh banyak orang. Model ini juga merupakan cara paling tua yang mengindahkan
konteks berteologi secara sungguh-sungguh dan model ini ditemukan di dalam
Kitab Suci itu sendiri. Model ini bersifat idiomatik, artinya bahwa terjemahan
itu mesti dilakukan dengan padanan fungsional atau dinamis. Model ini lebih
menekankan pada pewartaan injil sebagai sebuah pewartaan yang tidak pernah
berubah. Berbeda dengan hal demikian model antropologis bersifat ‘’antropologis’’
dalam dua arti. Pada tempat pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan
antropos, pribadi manusia dan yang
kedua, model ini bersifat antropologis dalam arti bahwa ia menggunakan
wawasan-wawasan ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi. Arti kedua dari model
antropologis ini mengacu pada kenyataan bahwa penekanan utama dari pendekatan
ini menyangkut teologi kontekstual adalah kebudayaan.[1]
Jadi, perhatian utama model antropologis adalah pengukuhan atau pelestarian
jati diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen.[2]
Di
sisi lain model praksis dimana ia adalah model yang berfokus pada perubahan
sosial yang menekankan atau menentang dosa structural dalam kehidupan. Dalam
artian bahwa model ini menekankan refleksi dan aksi yang secara terus menerus
terjadi atau berproses secara spiral. Penekananan model praksis ialah orto
praxi bukan hanya pada ortodoksi. Kemudian Teologi kontekstual dengan model
transendental adalah teologi yang
berdiri atas pengalaman subjek yang menjadi inspirasi bagi seseorang. Model
transendental berkarya melalui sebuah metode yang serentak berciri simpati dan
antipati. simpati,dalam arti bahwa seseorang pribadi yang memiliki integritas
bisa belajar banyak dari pribadi lain yang juga memiliki integritas yang bersal
dari konteks. Antipati dalam arti bahwa apabila sesorang menganalisis mengapa
ia menolak atau merasa tidak tertarik terhadap suatu cara berteologi tertentu,
maka ia sudah mengambil langka pertama untuk berteolgi secara kontekstual.
Model transendental memiliki suatu cara berteolgi yang baru dengan penekanan
pada teologi sebagai aktivitas dan proses teologi sebagai suatu isi atau
kandungan tertentu, ia secara tepat menandaskan bahwa teologi bukan ihwal
menemukan jawaban-jawaban yang tepat yang ada dalam bidang transkultural
tertentu, melainkan perkara pencarian secara saksama dan penuh gairah terhadap
autensitas dari ungkapan jati diri agama dan budaya seseorang. Dan model yang
paling terakhir ialah model budaya tandingan model ini mengindahkan kitab suci
tetapi menantang budaya setempat. Bahkan dengan pengungkapan lahan harus disiangi sebelum benih ditanam, artinya
disini kalau tidak sejalan dengan kitab suci maka ia budaya-budaya setempat
akan dihilangkan. Dialog secara terbuka dari beberapa model inilah yang akan
dilihat dalam penulisan makalah ini. Pandangan model sintesis melihat tau-tau
di toraja ini yang akan menjadi fokus dalam makalah ini, hal itu terjadi tidak
lepas dari dialog antara lima model teologi kontekstual disini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian tau-tau
Berbagai macam adat yang ada dalam suku
toraja ini bersumber dari aluk, adat
merupakan sesuatu keharusan menaati nilai-nilai yang ada dalam aluk. Tau-tau
adalah bagian dari kebudayaan suku toraja. Tau-tau
adalah boneka sebagai personifikasi dari yang meninggal[3].
Ma'tau-tau adalah menghadirkan orang yang meninggal pada ritual-ritual
kematiannya dan pada kuburannya. Ma'nene'
termasuk ritual bagi orang mati, yaitu ritual bagi para leluhur yang sudah lama
meninggal dan dikubur. Pada ritual ini (Ma'nene') boneka-boneka (patung-patung)
mereka diberikan baju baru dan dipelihara baik-baik sebagai tanda dari hubungan
dan penghormatan terus-menerus.
Tau-tau ini
merupakan suatu hal yang hanya ada pada kalangan atas dalam suku toraja. Dalam
struktur stratifikasi tau-tau tidak dibuatkan untuk kalangan bawah atau tana’
dibawah tana’ bulaan. Tau-tau ini pada hakikatnya untuk mengenang orang yang
telah meninggal. Tau-tau ini sampai pada zaman sekarang nyata dalam kehidupan
toraja, misalnya di sangalla’ Utara jika
ada puang yang meninggal maka dibuatkan patung. Artinya bahwa lewat patung itu
maka sebuah penghargaan atau untuk mengenang almarhum itu nampak lewat
pembuatan patung atau tau-tau. Dilihat dari persfektif seni patung ini
merupakan suatu karya seni yang hasil dari tau-tau ini ialah suatu nilai
keindahan atau estetika.
B.
Pandangan
Model Budaya tandingan
Budaya tandingan adalah model teologi
kontekstual yang sangat mengindahkan
injil dan bahkan jika ada bagian dari budaya setempat yang tidak sesuai dengan
nilai injil maka hal itu akan dihilangkan. Senada dengan makna dari tau-tau ini
maka kehadiran gereja melihat tau-tau ini tidak sejalan dengan injil dan pada
akhirnya gereja tidak setuju dengan hal demikian, tau-tau(tau-tau dalam pengertian
adat) kemudian dihilangkan, Hal ini menunjukkan suatu teologi kontekstual model
budaya tandingan dimana model ini mengindahkan injil serta menantang budaya
setempat. Budaya tandingan berpendapat bahwa seharusnya patung atau tau-tau
tidak boleh berangkat dari hukum ke 2 dalam Hukum Taurat. Namun suatu hal yang
menjadi kritik habis-habisan untuk model budaya tnadingan disini ialah hadirnya
pembuatan patung Yesus di Burake.
C.
Pandangan
Model Terjemahan
Disisi lain model terjemahan disini dalam
kenyataannya setuju dengan hal demikian mengapa
karena disisi lain agama kristen kemudian membuat juga patung (merujuk pada
Patung Yesus di Burake) dan suatu usaha kontekstual yang sangat merujuk pada
terjemahan disini ialah dengan hadirnya patung Yesus di Burake. Dimana patung
ini bukan lagi dari orang yang telah meninggal tetapi merujuk kepada Yesus.
Seperti halnya makna dari patung ialah mengenang dan mengormati jasa
pengorbanan dari orang yang dibuatkan patung demikian halnya patung Yesus ini.
D.
Pandangan
model Antropologis
Disisi
yang sama pula antropologis yang mengindahkan budaya setempat hadir mendukung
mengenai tau-tau bahwa tau-tau ini merupakan suatu hasil budaya yang berfungsi
sebagai monumen untuk mengenang orang yang telah berjasa dalam seluk beluk
kehidupan kita. Karena makna utama dari patung ialah pengenangan maka
antropologis ini akan melihat patung sebagai penghargaan kepada yang telah
tiada. Demikian pula halnya pandangan patung Yesus di Burake antropologis akan
melihatnya sebagai sebuah pengenangan akan Yesus.
Tau-tau menurut
adat dari segi pandangan praksis adalah sesuatu hal yang tidak perlu
dipersoalkan karena patung atau tau-tau pada hakikat untuk mengenang orang yang
telah meninggal tersebut dengan melihat patungnya. Namun praksis melihat
tau-tau ini atau patung ini sebagai suatu hal yang tidak baik dimana dapat
memicu adanya salah tafsir dari orang
beragama lain terhadap agama kristen yang ada di toraja melihat patung Tuhan
Yesus di Burake ditambah lagi penamaan objek wisat ini sebagai objek wisata religius. Dalam hal ini
bisa dilihat sebagai kristenisasi terselubung dari orang diluar kristen
sendiri. Memang benar bahwa Toraja merupakan daerah dimana kita melihat
dinamika kehidupan yang mayoritas kristen tetapi hal ini bukan alasan untuk
membuat patung Yesus tersebut. Secara struktural pemerintah di Toraja kurang
merperhitungkan keberadaan agama lain yang ada di Indonesia dalam hal ini dalam
lingkup Toraja. Kemudian yang menjadi sebuah kritik juga ialah bagaimana
mungkin pemerintah menggunakan suatu instrumen keagaamaan dalam hal ini kristen
sebagai cara untuk menarik pengunjung untuk datang dan membawa uang kemudian
masuk ke APBD. Singkat kata bahwa patung Yesus ini digunakan sebagai suatu aset
untuk menambah pendapatan daerah di Toraja.
F.
Pandangan
model Transendental
Pada
saat yang sama pula model transendental mendukung patung ini sebagai suatu
karya seni yang merupakan sarana kontekstualisasi teologi. Dalam hal ini
merujuk pada inspirasi yang berasal dari pribadi outentik dalam hal ini merujuk
kepada Yesus. Inspirasi akan muncul dari patung Yesus ketika kita melihatnya.
Namun hal ini perlu digaris bawahi bahwa itu lebih kepada subjek atau orang
yang membuat patung ini atau seniman ini. Dengan melihat patung ini maka ada
dua respon dimana respon ini yang menjadi inti utama dari yakni antipati dan
simpati ketika orang melihat patung itu.
G.
Pandangan
model sintesis melihat tau-tau serta kaitannya dengan patung Yesus di Burake
Dialog dari
berbagai model diatas merupakan acuan dari model sintesis melihat tau-tau dan
bahkan kaitannya dengan patung Yesus di Burake. Pandangan praktisis model
sintesis pada tempat pertama ialah melihat apa sebenarnya makna dan tujuan dari
tau-tau atau patung ini baik tau-tau dalam tataran adat maupun patung Yesus di
Burake. Makna atau tujuan inti dari tau-tau atau patung ialah mengenang,
menghormati dan menghargai jasa orang yang telah tiada. Sebenarnya semua model
diatas ada pada tataran yang sama cuman saja model budaya tandingan yang agak
keras untuk menolak hal demikian tetapi pada intinya model budaya tandingan bersifat
kontroversial karena kehadiran patung Yesus di Burake. Baik terjemahan,
antropologis, praksis, maupun transendental setuju dengan hal demikian tetapi
budaya tandingan tidak melihat patung tersebut sebagai sesuatu yang baik tetapi
budaya tandingan kontradiksi sekali dengan kenyataan melihat patung Yesus di
Burake. Pada saat yang sama praksis setuju akan hal demikian tetapi mengkritisi
bahwa hati-hati dengan pembuatan patung dalam hal ini patung Yesus di Burake
karena bukan hanya menghargai tetapi mereduksi nilai dan makna dari patung.
Artinya bahwa patung ini bisa saja menjadi alat untuk persoalan untung dan
ruginya Toraja dalam artian patung digunakan sebagai instumen keagamaan untuk
menambah hasil pendapatan daerah. Jika budaya tandingan sangat anti atau tidak setuju dengan hal
demikian maka pertanyaan yang akan membuat budaya tandingan bingung ialah
bagaimana dengan patung Yesus di Burake.
Yang menjadi tesis setelah dialog yang
sangat menarik antara beberapa model
diatas ialah sebenarnya merujuk pada suatu makna yakni pembuatan patung
merupakan salah satu usaha untuk mengenang, menghormati atau menghargai segala
jasa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita.
BAB
III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Model sintesis merupakan model teologi
kontekstual yang menekankan dialog yang menghasilkan tesis baru, dialog dari
berbagai macam model teologi kontekstual diatas merujuk pada makna dan tujuan
dari tau-tau yakni lebih kepada cara untuk mengenang dan menghargai jasa para pendahulu. Inilah yang menjadi tesis dari
dialog yang telah terjadi, baik terjemahan,antropologis, praksis maupun transendental
sebenarnya mengarah pada makna penghargaan dan pengenangan.
B. Saran
Suatu saran bagi gereja dan pemerintah
disini ialah bagaimana seharusnya teliti melihat apa makna dan tujuan dibuatnya
patung Yesus di Burake ini jangan sampai hanya pada masalah kepentingan
persoalan perut seperti halnya yang dikritik oleh model praksis.
<!-- Start of adf.ly banner code --><a href="https://join-adf.ly/20384403"><img border="0" src="https://cdn.ay.gy/images/banners/adfly.300x250.1.gif" width="300" height="250" title="AdF.ly - shorten links and earn money!" /></a>
<!-- End of adf.ly banner code -->
[1] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere-Flores:
Ledalero, 2002), 97-98.
[2] Ibid, hlm. 96.
[3] Th. Kobong, Injil dan Tongkonan (BPK: Gunung Mulia, 2001),
0 komentar:
Post a Comment