Wednesday, September 12, 2018

Aplikasi Praktik Model Sintesis Terhadap Stratifikasi Social atau Tana’ Dalam Kehidupan Toraja



Aplikasi Praktik Model Sintesis Terhadap
 Stratifikasi Social atau Tana’ 
Dalam Kehidupan Toraja


Kelompok : IV
Nama anggota kelompok:
Krisnataniel
Sumantri
Silpon
Junita
Hermin Siappa’
Tugas : Teologi Kontekstual

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Tana’dalam masyarakat Toraja diartikan sebagai istilah struktur sosial atau pelapisan sosial. Menurut Th. Kobong, tana’ adalah suatu patokan atau ketentuan status dalam Toraja. Sedangkan Van der Veen dan J Tammu, tana’ adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh orang-orang dulu-dulu dan menjadi dasar (pegangan) untuk melakukan sesuatu. Dengan adanya pelapisan sosial dalam masyarakat yang disebut tana’ maka seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Toraja harus terikat dengan pelapisan sosial tersebut. Tana’ terikat dengan fungsi/jabatan adat (pemangku) adalah berasal dari golongan-golongan menurut strata sosial.
Di Kambisa yang masuk dalam daerah kecamatan Sangalla’ Utara penerapan mengenai tana’ ini memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan social masyarakat dan bahkan gereja. Misalnya, dalam kepemimpinan dalam struktur adat istiadat ini sangat nyata pada upacara Rambu Solo’ yang dimana dilihat dari struktur yakni Puang, toparengnge’, ambe’ tondok dan lain sebagainya. Mereka ini memiliki tugas dan peranan yang berbeda-beda dalam lapisan masyarakat.
            Berkaitan dengan hal demikian pandangan agama kriten mengenai tana’ialah bahwa tana’ ini haruslah di gantikan dengan injil dalam kebudayaan toraja karena ini berangkat dari ajaran dari kehadiran Yesus lewat karya dan pengorbanan-Nya adalah untuk membebaskan/memerdekakan manusia dari perbudakan dosa. Kehadiran Yesus ke dunia adalah untuk memerdekakan manusia dari perbudakan dosa dan itu adalah wujud kasih Allah. Kasih Allah tidak di batasi oleh sekat-sekat buatan manusia (budaya setempat) tetapi kasih itu menyeluruh dalam artian kasih Allah itu berlaku bagi semua manusia tanpa memandang bulu. Hal itu dikuatkan oleh pelayanan Yesus yang memperlihatkan kepedulian yang luar biasa kepada orang lemah dan kecil Galatia 5:1-15. Jadi ini merujuk kepada tidak ada alasan untuk  memilah-milah manusia dalam tingkatan-tingkatan tertentu (Tana’) semuanya adalah orang yang di kasihi Allah dengan kata lain pada segi ini dianut oleh praktisi model terjemahan.
 Menurut adat istiadat atau kebudayaan Toraja startifikasi sosial dalam hal ini tana’ ini memiliki nilai seperti; Nilai ketaatan, salah satu hal yang menonjol dalam pemberlakuan tana’ adalah adanya ketaatan kepada aturan( aluk) yang berlaku dalam masing-masing tana’. ketaatan itu nampak dalam hal menghadapi perkawinan upacara rambu solo, pengangkatan pemerintah adat, dimana semuanya harus diukur atau ditentukan berdasarkan kasta. Orang berusaha melakukannya berdasarkan tingkatan tana’ yang dia miliki. Pelanggaran terhadap aluk pemberlakuan  tana’ akan mendatangkan bencana karena itu orang Toraja berusaha untuk tidak melanggarnya. Nilai religius, lahirnya tana’ dalam kehidupan orang Toraja, salah satunya didasarkan pada mitologi Toraja bahwa puang atau hamba itu sama-sama turun dari langit sehingga keduanya memiliki unsur ilahi atau dalam artian struktur seperti ditentukan oleh Puang Matua atas dasar itu maka pemberlakuan tana’ dalam masyarakat Toraja sangat dijunjung tinggi karena mengandung nilai religius. Struktur dalam bentuk tana’ adalah bagian dari aluk. Aluk adalah sifanya ilahi bisa menjadi sumber kehidupan tetapi sekaligus sumber bencana kalau dilanggar. Jadi tana’ berusaha dijunjung tinggi karena kesalahan dalam pemberlakuan aluk bagi tana’ yang tidak sesuai akan mendatangkan bencana. Nilai Sosial, Pemberlakuan aluk yang berbeda-beda bagi masing-masing tana’ dalam menghadapi perkawinan, rambu solo’ dan sebagainya kalau dilihat lebih jauh mengandung pula suatu keinginan untuk meringankan beban bagi tana’ rendah, sebab secara ekonomi rata-rata tingkat ekonominya lemah sehingga kalau mereka harus melaksanakan aluk yang sama dengan tana’ kelas atas yang rata-rata kaya akan membuat mereka semakin miskin. Bahkan dari segi kemampuan memang tidak mampu untuk melaksanakan ritus sama dengan golongan atas. Dengan melihat penjelasan ini penganut praktisi model antropologis mengatakan bahwa nilai-nilai religious atau mewaklili injil sudah ada didalam adat toraja khususnya ini merujuk pada tana’. Seorang tuan tidak hanya memiliki hak atas budaknya, tetapi ia juga mempunyai kewajiban dan tanggungjawab terhadap budaknya. Ia harus memberi makan kepada budaknya, harus memberi pakaian. Apabila seorang budak meninggal lau keluarganya tidak dapat membayar ritus orang mati baginya sesuai dengan statusnya, maka tuannya harus membantu keluarga budak itu
Dari kedua pendekatan model tersebut yakni terjemahan dan antropologis, model praksis juga melihat bahwa penggunaan stratifikasi social ini yakni tana’ merujuk pada refleksi dan aksi yakni adanya sekat ini menjadi sebuah kehidupan yang lebih harmonis jika orang berjalan pada jalurnya (tana’) namun dalam praktiknya tana’ sekarang sudah tidak begitu lagi nampak sesuai dari ajaran atau maknanya dimana sekarang penekanan tana’ dalam aksi tidak ada lagi. Dengan kata laian ortodoxi tidak sampai pada ortopraksis yang terjadi secara menerus. Artinya bahwa jika dengan tana’ kehidupan lebih damai dan tentram kenapa mau dihilangkan namun disisi lain makna dari tana’ tidak lagi nyata dalam aksi atau tindakan. Jadi praktisi model praksis disini melihat tana’ sebagai sesuatu yang membawa kepada suatu harmonisasi hidup namun dalam aktualisasi tana’ menjadi sesautu yang kembali bisa ditentang oleh praksis, dengan kata laian dia bisa bersifat ambivalen ketika tidak sesua dengan maknanya, dilihat oleh model praksis.  
B.     Tujuan penulisan
Untuk mendeskripsikan bagaimana praktisi model sintesis dalam melihat tana’ sebagai suatu instrumen social masyarakat Toraja khusnya di daerah Kambisa, Sangalla’ Utara yang masuk dalam tataran Tallulembangna.



BAB II
Isi
1.      Pandangan dan praktik model sintesis
Inti utama dari model sintesis ialah dialaog, dan tidak memihak kepada satu model yang disintesiskan. Model sinstesis mengambil jalan tengah setelah ada dialog yang terbuka dari tradisi dan budaya. Inilah acuan untuk melihat tana’ atau stratifikasi dalam kehidupan social Toraja dengan menjadi prakstisi model sintesis.
Model antropologis dimana model yang menekankan atau mengindahkan budaya setempat melihat bahwa tana’ ini adalah suatu instrument kehidupan social yang mebawa pada nilai ketaatan akan moral, religious dan social sejauh itu orang berjalan pada tana’nya masing-masing. Maka terciptalah sebuah kehidupan yang indah. Disaat yang sama pula praktisi model terjemahan yang mengindahakan kitab suci akan menekankan supaya tana’ ini dihilangkan karena hal demikian sudah tidak sesuai dengan tradisi injil. Terhadap pemahaman itu Injil memproklamirkan kesamaan derajat dan kemerdekaan manusia berdasarkan sejarah penciptaan dan berdasarkan karya penyelamatan di dalam Kristus kita menjadi anak-anak Allah. demikian pula model praksis yang menekankan refleksi dan aksi yang terus menerus melihat bahwa tana’ ini harusnya memperlihatkan apa maknanya dalam segala tindakan manusia khususnya di Toraja namun dalam perubahan sosial itu tidak ada lagi bahkan nilainya bergeser atas dasar ini maka praktisi praksis mengkritisi hal demikian.
Sebagai praktisi model sisntesis, maka kami kelompok melihat apa makna yang sebenarnya dari tana’ ini ialah membawa kehidupan kepada ketaatan atau keteraturan hidup dalam tatanan masyarakat toraja. Baik model terjemahan, praksis maupun antroplogis semuanya mengarah kepada satu makna yakni ialah intinya kepada keteraturan hidup yang dihasilkan dari stratifikasi sosial (tana’) ini kalau orang berjalan pada jalurnya masing-masing.
Di Kambisa yang masuk dalam daerah kecamatan Sangalla’ Utara penerapan mengenai tana’ ini memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan social masyarakat dan bahkan gereja. Misalnya, dalam kepemimpinan dalam struktur adat istiadat ini sangat nyata pada upacara Rambu Solo’ yang dimana dilihat dari struktur yakni Puang, toparengnge’, ambe’ tondok dan lain sebagainya. Mereka ini memiliki tugas dan peranan yang berbeda-beda dalam lapisan masyarakat.
2.      Analisis Kritis
Suatu analisis kritis  untuk 3 model ini ialah bahwa jika terjemahan mau menghilangkan tana’ ini atau satratifikasi ini lalu bagaimana dengan stratifikasi atau tingkatan-tingkatan jabatan dalam gereja atau persekutuan. Demikian pula dengan model antropologis bagaimana dengan zaman sekarang kalau hal mengenai tana’ dimana melihat bahwa amanat atau nilai injil ada di dalam tana’ ketika orang tidak berjalan pada jalurnya dan bahkan memakai tana’ ini untuk memperalat bahkan menindas tana’ yang lebih rendah. Dan untuk model praksis ialah bahwa bagaimana jika tana’ ini membawa pada dampak yang tidak baik seperti halnya antropologis yang menjunjung tinggi nilai budaya, makna yang sesungguhnya dari tana’ dikhawatirkan akan mulai bergeser.





BAB III
Kesimpulan

Inti utama dari tana’ ialah mengacu pada keteraturan hidup dalam tatanan masyrakat toraja, baik antropologis, maupun terjemahan fungsi dan tujuan tana’ ini ialah merujuk kepada keteraturan hidup social masyarakat troraja dengan konsekuensi bahwa seharusnya orang berjalan pada jalurnya masing-masing atau posisi tana’nya masing-masing tetapi praksis hadir dengan refleksi dan aksi harusnya nyata jangan bertentangan, jadi kemudian bahwa antisipasi dari tana’ atas yang memperalat (marginalisasi) tana’ yang berada dibawah  mereka inilah yang merupakan kritik dari praksis dalam melihat status quo yang sebenarnya antropologis dan terjemahan anut. Keteraturan dalam kehidupan adalah sebuah cara untuk mencapai hidup yang lebih baik, hal demikian tentunya ditekankan injil dan tradisi untuk dihidupi demikian pula dengan konteks budaya setempat dan bahkan dalam perubahan social.  

Pertanyaan-pertanyaan dari kelompok:
1.      Dimana model terjemahan melihat sebuah kemerdekaan dalam tana’?
2.      Apa tesis baru yang muncul dari dialog atau sintesis yang telah terjadi?

0 komentar:

Post a Comment