"Rampanan Kapa"
Pendahuluan
Model Terjemahan adalah model yang
pada umumnya sering digunakan oleh banyak orang. Model ini juga merupakan cara
paling tua yang mengindahkan konteks berteologi secara sungguh-sungguh dan
model ini ditemukan di dalam Kitab Suci itu sendiri. Dalam model ini tidak
dimaksudkan menerjemahkan secara harafiah, kata demi kata, melainkan makna yang
harus diterjemahkan. Model ini bersifat idiomatik, artinya bahwa terjemahan itu
mesti dilakukan dengan padanan fungsional atau dinamis. Model ini lebih
menenkankan pada pewartaan injil sebagai sebuah pewartaan yang tidak pernah
berubah.
Pada umumnya masyarakat Toraja tidak
lepas dari kebudayaan yang didalamnya terdapat aluk dan ada’. Menurut
mitodologi Toraja yang di jelaskan oleh Kobong berasal dari alam atas, dari
langit, dari alam dewa-dewa (karena ia memang sudah tersusun di langit). Aluk
berfungsi sebagai tata cara. Dijelaskan pula kata ada’ adalah pelaksanaan suatu
aluk (menurut kami ada’ adalah petunjuk untuk melaksanakan aluk). Dalam aluk
dan ada’ itu masyarakat Toraja melakukan berbagai macam kegiatan salah satunya
ialah rampanan kapa’(pernikahan).
Perkawinan dikalangan orang Toraja
dinamakan rampanan kapa’. Dari segi nilai budaya rampanan kapa’ begitu penting
dikalangan orang Toraja. Menurut pehaman
orang Toraja yang bersumber dari aluk todolo, aturan perkawinan itu telah
ditentukan di langit. Persyaratan nikah oleh orang Toraja ialah kapa’. Kapa’
ialah suatu perjanjian yang diadakan pada saat peresmian perkawinan bahwa bila
terjadi perceraian, maka pihak yang bersangkutan harus membayar denda kepada
pihak yang tidak bersalah.
Perkawinan
dikalangan aluk todolo dinamakan rampanan kapa’. Dari segi nilai budaya
rampanan kapa’ begitu penting. Perkawinan dikalangan aluk todolo begitu
sederhana jika dibandingkan dengan upacar-upacara lainnya. Hewan yang dipotong
untuk lauk-pauk ialah babi, ayam, dan malahan hanya ikan dari sawah saja. Hewan
sembelihan itu hanyalah untuk kebutuhan lauk-pauk. Tidak ada persembahan kepada
dewa. Menurut kepercayaan aluk todolo tidak adanya persembahan kepada dewa pada
upacara perkawinan karena perkawinan hanyalah hal adat semata=mata.
Adat 3 cara atau tingkatan pelaksnaan
upacara perkawinan aluk todolo sebagai berikut:
·
Upacara Bo’bo’ Bannang
(Bo’bo’ = nasi, Bannang = benang), yaitu upacara perkawinan yang sederhana.
Perkawinan itu dilakukan di malam hari (rampo bongi). Pada waktu malam
pengantin laki-laki ditemani beberapa orang (tidak boleh ada diantara mereka
yang namanya negatif, jumlahnya harus genap) datang ke rumah pihak wanita.
Disana diadakan makan malam yang lauknya ikan-ikan saja. Setelah makan bersama,
upacara perkawinan selesai.
·
Upacara Rampo Karoen (Rampo
= datang, Karoen = petang), yaitu perkawinan yang dilaksanakan pada waktu sore
hari. Pada kesempatan itu diadakan tanya jawab dalam bentuk pantun antara pihak
laki-laki dan pihak wanita. Juga perjanjian perkawinan yang dinamakan kapa’
ditentukan oleh tokoh adat. Seekor babi dan beberapa ayam dipotong untuk
menjamu para tamu. Setelah makan malam upacara selesai.
·
Upacara Rampo Allo
(Rampo = datang, Allo = siang), yaitu perkawinan yang diselenggarakan di waktu
siang. Perkawinan ini umumnya berlaku dikalangan orang bangsawan. Dua ekor babi dan ayam secukupnya dipotong untuk
lauk-pauk. Dalam rangka upacara ini, didahului dengan pemenangan pihak
laki-laki kepada pihak perempuan. setelah acara siang itu masih ada acara makan
bersama dirumah laki-laki yang dinamakan ma’pasule barasang (ma’pasule =
mengembalikan , barasang = bakul). Bakul yang telah dikirim oleh pihak
perempuan kepada pihak laki-laki sekarang dikembalikan dengan diisi makanan
oleh pihak laki-laki. Setelah ini berlangsung, acara perkawinan selesai.
Penjelasan
Dari
kegiatan bo’bo’ Bannang dalam rampanan kappa’yang di tekankan oleh aluk todolo sudah dianggap sebagai
pernikahan yang dianggap sah dengan artian bahwa kedua
mempelai telah diizinkan untuk tinggal serumah dan sekamar layaknya sebagai
suami-istri. Dari pemahaman ini pandangan model terjemahan mengenai hal itu
berbeda, model terjemahan tetap menganggap hal itu sebagai salah satu proses
yang harus ditempuh dalam pernikahan tetapi
dalam proses ini model terjemahan melihat bahwa ini adalah acara
pelamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap perempuan. Model
terjemahan mengubah artikan kegiatan ini sebagai pernikahan yang belum sah karena melihat apa yang diperintahkna
oleh Injil dan menjadi sesuatu yang
harus dan tidak boleh dilanggar untuk dilakukan sehingga keduanya dikatakan sah
apabila sudah melakukan yang di sebut pemberkatan nikah dan harus dilaksanakan
di gedung Gereja.
Kegiatan
selanjutnya dalam rampanan kapa’ yaitu rampo karoen, yang didalamnya terdapat
kegiatan Tanya jawab yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan bahkan saling
berpantun. Ketika injil melihat dari sisi model terjemahan, hal ini kadang
kurang diperhatika dan bahkan telah dihilangkan di berbagai daerah di Tana
Toraja. Model terjemahan memahami pada bagian ini menjadi penentuan untuk
melakukan pemberkatan nikah tetapi telah “memudarkan” bentuk-bentuk yang
aslinya seperti saling berpantun. Hal ini dilakukan karena melihat injil
sebagai tolak ukur yang harus menang terhadap kegiatan budaya karena tetap melihat
Pemberkatan nikah sebagai pusat dalam rampanan kapa’. Dalam rampanan kapa’
ditentukan pula bentuk perjanjian yang dinamakan kapa’. Kapa’ merupakan
suatu perjanjian yang diadakan pada saat peresmian perkawinan bahwa bila
terjadi perceraian maka pihak yang bersangkutan harus membayar denda kepada
pihak yang tidak bersalah. “kami menyimpulkan bahwa dari hal ini orang saat itu
mempunyai peluang untuk bisa melakukan perceraian bila mampu memenuhi
persayaratan itu”. Melihat pemahaman ini dalam kalangan orang Toraja Injil
menentang dan bahkan melarang untuk bercerai. Bila melakukan perceraian tidak
menekankan lagi tentang masalah denda yang dimaksudkan dalam kapa’ (ps).
Kegiatan
terakhir dalam rampanan kapa’ ialah rampo allo, yang diselenggarakan di rumah pihak
perempuan (yang kami pahami dari kegiatan ini adalah resepsi dan pemberkatan
nikah). Perkawinan ini umumnya dilakukan di kalangan bangsawan karena memiliki
banyak harta sehingga dapat memenuhi kebutuhan setiap tamu yang datang. Model
terjemahan memahami bagian paling terpenting dalam pernikahan adalah diadakannya pemberkatan nikah. Dalam hal ini
pemberkatan nikah selalunyan di lakukan di
gedung Gereja sehingga semua umat memasuki gereja untuk menerima
pemberkatan tanpa memandang dan melihat dalam strata sosial, hal ini karena
Injil memandang semua sama.
Kesimpulan
Rampanan
kapa’ adalah suatu ungkapan dalam membangun rumah tangga, yang didalamnya
terdapat berbagai macam kegiatan, yang paling utama seperti bo’bo’ bannang,
rampo karoen, rampo allo. Mempelai pria dan wanita dikatakan sah ketika telah
melakukan persetujuan untuk masuk dalam rampanan kapa’. Setelah ditinjau dari
model terjemahan seperti yang di katakan oleh Bevans yang melihat injil sebagai
“injil yang telanjang” . Yang dimaksudkan ialah injil yang tidak di kotori oleh
apapun sehingga menjadi dasar utama. Model terjemahan melihat rampanan kapa’ sebagai
jalan untuk menerapkan keautentikan injil. Yang dmana ada beberapa kegiatan
yang dilakukan rampanan kapa’ itu di pudarkan oleh injil itu sendiri.
Terima Kasih telah Membaca!!
0 komentar:
Post a Comment