Wednesday, September 12, 2018

Rampanan Kapa' Sebuah Pendekatan Teologi Kontekstua Model Terjemahan


                                                                     "Rampanan Kapa"







Pendahuluan
            Model Terjemahan adalah model yang pada umumnya sering digunakan oleh banyak orang. Model ini juga merupakan cara paling tua yang mengindahkan konteks berteologi secara sungguh-sungguh dan model ini ditemukan di dalam Kitab Suci itu sendiri. Dalam model ini tidak dimaksudkan menerjemahkan secara harafiah, kata demi kata, melainkan makna yang harus diterjemahkan. Model ini bersifat idiomatik, artinya bahwa terjemahan itu mesti dilakukan dengan padanan fungsional atau dinamis. Model ini lebih menenkankan pada pewartaan injil sebagai sebuah pewartaan yang tidak pernah berubah.
Pada umumnya masyarakat Toraja tidak lepas dari kebudayaan yang didalamnya terdapat aluk dan ada’. Menurut mitodologi Toraja yang di jelaskan oleh Kobong berasal dari alam atas, dari langit, dari alam dewa-dewa (karena ia memang sudah tersusun di langit). Aluk berfungsi sebagai tata cara. Dijelaskan pula kata ada’ adalah pelaksanaan suatu aluk (menurut kami ada’ adalah petunjuk untuk melaksanakan aluk). Dalam aluk dan ada’ itu masyarakat Toraja melakukan berbagai macam kegiatan salah satunya ialah  rampanan kapa’(pernikahan).
            Perkawinan dikalangan orang Toraja dinamakan rampanan kapa’. Dari segi nilai budaya rampanan kapa’ begitu penting dikalangan orang Toraja. Menurut  pehaman orang Toraja yang bersumber dari aluk todolo, aturan perkawinan itu telah ditentukan di langit. Persyaratan nikah oleh orang Toraja ialah kapa’. Kapa’ ialah suatu perjanjian yang diadakan pada saat peresmian perkawinan bahwa bila terjadi perceraian, maka pihak yang bersangkutan harus membayar denda kepada pihak yang tidak bersalah.
            Perkawinan dikalangan aluk todolo dinamakan rampanan kapa’. Dari segi nilai budaya rampanan kapa’ begitu penting. Perkawinan dikalangan aluk todolo begitu sederhana jika dibandingkan dengan upacar-upacara lainnya. Hewan yang dipotong untuk lauk-pauk ialah babi, ayam, dan malahan hanya ikan dari sawah saja. Hewan sembelihan itu hanyalah untuk kebutuhan lauk-pauk. Tidak ada persembahan kepada dewa. Menurut kepercayaan aluk todolo tidak adanya persembahan kepada dewa pada upacara perkawinan karena perkawinan hanyalah hal adat semata=mata.
            Adat 3 cara atau tingkatan pelaksnaan upacara perkawinan aluk todolo sebagai berikut:
·         Upacara Bo’bo’ Bannang (Bo’bo’ = nasi, Bannang = benang), yaitu upacara perkawinan yang sederhana. Perkawinan itu dilakukan di malam hari (rampo bongi). Pada waktu malam pengantin laki-laki ditemani beberapa orang (tidak boleh ada diantara mereka yang namanya negatif, jumlahnya harus genap) datang ke rumah pihak wanita. Disana diadakan makan malam yang lauknya ikan-ikan saja. Setelah makan bersama, upacara perkawinan selesai.
·         Upacara Rampo Karoen (Rampo = datang, Karoen = petang), yaitu perkawinan yang dilaksanakan pada waktu sore hari. Pada kesempatan itu diadakan tanya jawab dalam bentuk pantun antara pihak laki-laki dan pihak wanita. Juga perjanjian perkawinan yang dinamakan kapa’ ditentukan oleh tokoh adat. Seekor babi dan beberapa ayam dipotong untuk menjamu para tamu. Setelah makan malam upacara selesai.
·         Upacara Rampo Allo (Rampo = datang, Allo = siang), yaitu perkawinan yang diselenggarakan di waktu siang. Perkawinan ini umumnya berlaku dikalangan orang bangsawan. Dua  ekor babi dan ayam secukupnya dipotong untuk lauk-pauk. Dalam rangka upacara ini, didahului dengan pemenangan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. setelah acara siang itu masih ada acara makan bersama dirumah laki-laki yang dinamakan ma’pasule barasang (ma’pasule = mengembalikan , barasang = bakul). Bakul yang telah dikirim oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sekarang dikembalikan dengan diisi makanan oleh pihak laki-laki. Setelah ini berlangsung, acara perkawinan selesai.
Penjelasan
Dari kegiatan bo’bo’ Bannang dalam rampanan kappa’yang di tekankan  oleh aluk todolo sudah dianggap sebagai pernikahan  yang  dianggap sah dengan artian bahwa kedua mempelai telah diizinkan untuk tinggal serumah dan sekamar layaknya sebagai suami-istri. Dari pemahaman ini pandangan model terjemahan mengenai hal itu berbeda, model terjemahan tetap menganggap hal itu sebagai salah satu proses yang harus ditempuh dalam pernikahan tetapi  dalam proses ini model terjemahan melihat bahwa ini adalah acara pelamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap perempuan. Model terjemahan mengubah artikan kegiatan ini sebagai pernikahan yang belum  sah karena melihat apa yang diperintahkna oleh Injil dan menjadi sesuatu  yang harus dan tidak boleh dilanggar untuk dilakukan sehingga keduanya dikatakan sah apabila sudah melakukan yang di sebut pemberkatan nikah dan harus dilaksanakan di gedung Gereja.
Kegiatan selanjutnya dalam rampanan kapa’ yaitu rampo karoen, yang didalamnya terdapat kegiatan Tanya jawab yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan bahkan saling berpantun. Ketika injil melihat dari sisi model terjemahan, hal ini kadang kurang diperhatika dan bahkan telah dihilangkan di berbagai daerah di Tana Toraja. Model terjemahan memahami pada bagian ini menjadi penentuan untuk melakukan pemberkatan nikah tetapi telah “memudarkan” bentuk-bentuk yang aslinya seperti saling berpantun. Hal ini dilakukan karena melihat injil sebagai tolak ukur yang harus menang terhadap kegiatan budaya karena tetap melihat Pemberkatan nikah sebagai pusat dalam rampanan kapa’. Dalam rampanan kapa’ ditentukan pula bentuk perjanjian yang dinamakan kapa’. Kapa’ merupakan suatu perjanjian yang diadakan pada saat peresmian perkawinan bahwa bila terjadi perceraian maka pihak yang bersangkutan harus membayar denda kepada pihak yang tidak bersalah. “kami menyimpulkan bahwa dari hal ini orang saat itu mempunyai peluang untuk bisa melakukan perceraian bila mampu memenuhi persayaratan itu”. Melihat pemahaman ini dalam kalangan orang Toraja Injil menentang dan bahkan melarang untuk bercerai. Bila melakukan perceraian tidak menekankan lagi tentang masalah denda yang dimaksudkan dalam kapa’ (ps).
Kegiatan terakhir dalam rampanan kapa’ ialah rampo allo, yang diselenggarakan di rumah pihak perempuan (yang kami pahami dari kegiatan ini adalah resepsi dan pemberkatan nikah). Perkawinan ini umumnya dilakukan di kalangan bangsawan karena memiliki banyak harta sehingga dapat memenuhi kebutuhan setiap tamu yang datang. Model terjemahan memahami bagian paling terpenting dalam pernikahan adalah  diadakannya pemberkatan nikah. Dalam hal ini pemberkatan nikah selalunyan di lakukan di  gedung Gereja sehingga semua umat memasuki gereja untuk menerima pemberkatan tanpa memandang dan melihat dalam strata sosial, hal ini karena Injil memandang semua sama.
 

Kesimpulan
Rampanan kapa’ adalah suatu ungkapan dalam membangun rumah tangga, yang didalamnya terdapat berbagai macam kegiatan, yang paling utama seperti bo’bo’ bannang, rampo karoen, rampo allo. Mempelai pria dan wanita dikatakan sah ketika telah melakukan persetujuan untuk masuk dalam rampanan kapa’. Setelah ditinjau dari model terjemahan seperti yang di katakan oleh Bevans yang melihat injil sebagai “injil yang telanjang” . Yang dimaksudkan ialah injil yang tidak di kotori oleh apapun sehingga menjadi dasar utama. Model terjemahan melihat rampanan kapa’ sebagai jalan untuk menerapkan keautentikan injil. Yang dmana ada beberapa kegiatan yang dilakukan rampanan kapa’ itu di pudarkan oleh injil itu sendiri. 

Terima Kasih telah Membaca!!

0 komentar:

Post a Comment