Wednesday, September 12, 2018

Teologi Kontekstual Model Antropologis





MODEL ANTROPOLOGIS
Model antropologis bersifat ‘’antropologis’’ dalam dua arti. Pada tempat pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan antropos, pribadi manusia.dan yang kedua, model ini bersifat antropologis dalam arti bahwa ia menggunakan wawasan-wawasan ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi. Arti kedua dari model antropologis ini mengacu pada kenyataan bahwa penekanan utama dari pendekatan ini menyangkut teologi kontekstual adalah kebudayaan.[1] Jadi, perhatian utama model antropologis adalah pengukuhan atau pelestarian jati diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen.[2] Maka dalan hal ini penulis hendak memaparkan contoh berteologi dengan menggunakan model antropologis dalam budaya Toraja yakni acara mantaa (matawa).
Acara mantaa merupakan salah satu acara terpenting dalam rangkaiaan upacara rambu solo’. Acara mantaa adalah pembagian daging yang dilaksanakan oleh pemangku adat kepada semua pihak dalam kampung di mana upacara rambu solo’ dilaksanakan. Perlu diketahui bahwa nilai yang terkandung di dalamnya adalah berupa penghargaan kepada pejabat tertentu misalnya pemerintah, tokoh agama, dan pendidik. Terkadang pembagian daging (mantaa) harus dikonsep sebelum pelaksanaannya.[3] Dalam acara mantaa versi Kesu’ bentuk mantaa terdiri dari tiga macam[4]:
1.      Mantaa palonto’ ialah pembagian daging yang ditujukan kepada rumpun keluarga. Otomatis pembagian palonto’ itu harus berurutan secara sistematis yakni mendahulukan tana’ bulaan selanjutnya tana’ bassi, kemudian tana’ karurung, dan yang terakhir tana’ kua-kua kalau masih ada daging.
2.      Mantaa penghargaan kerja
Pembagian daging kepada pekerja. Daging ini dikhususkan kepada yang sudah berupaya mengerjakan pemondokan, dekorasi, bahkan kepada yang mengiris daging pun harus mendapat bagian dan pembagian daging macam ini disebut mantaa tombi.
3.      Mantaa ma’pelindo (memilah yang lebih layak) dilaksanakan setelah pembagian kepada pemangku adat dan masih ada yang bisa dibagi. Hal ini hanya dapat dilaksanakan jikalau daging sangat terbatas sedangkan yang hadir sungguh banyak.
Disamping ketiga cara mantaa di atas terkadang masih ada juga yang dilaksankan pada tondo’ (daerah) tertentu yang biasa disebut mantaa ma’kala’ (pa’lembang-lembang) dan terkadang disebut juga mantaa padang. Yang dimaksud dengan ma’kala’, ma’lembang-lembang, atau mantaa padang  ialah daging yang diberikan kepada kampung tetangga karena sudah tertanam sejak dahulu kala. Dengan kata lain mantaa (pemberian daging) semacam ini terlaksana karena adanya perjanjian antar kampung.[5]
Di dalam Ossoran Badong To Dirapai’ berisi riwayat hidup almarhum sejak dilahirkan, bertumbuh menjadi dewasa, berkarya dalam masyarakat, menjadi tua, meninggal lalu dilangsungkan upacara kematiannya; kemudian berangkat menuju ke Puya dan dari sana beralih ke Barat, di mana ia naik ke dunia ke atas, menjadi dewa (mendeata membali puang).[6] Pada babak upacara kematiannya, salah satu kumplet berbunyi sebagai berikut (dikutip dlm. Liku-Ada’, 20010:162):
Ungaraga lempo’-lempo’,      Ia mendirikan sebuah panggung kecil,
Sola to lempo bumarran,        Sebuah aram-aran berbau amis,
Nanai mantaa langsa’ ,           Tempat ia membagi-bagikan langsat,
Ussearan buakayu.                 Menebarkan buah-buahan.
Sandamibka’panan balang,    Maka semua beroleh daging bagian paru-paru,
Sola usuk panamile.                Dan juga rusuk kerbau jantan besar.
Bala’kaan atau lempo bumarran adalah panggung yang didirikan pada upacara kematian. Tempat membagi-bagi daging (mantaa). Kuplet di atas menandaskan bahwa orang mati itu sendirilah (secara figuratif) yang mendirikan bala’kaan itu, tempat ia membagi-bagikan daging kerbau yang dikorbankan pada upacara kematiannya itu. Semua pihak dalam kampung memperoleh bagian. Dulu kerbau yang dikorbankan dalam upacara kematian seseorang dipandang sebagai miliknya asendiri. Karena kalau anak-anaknya mengorbankan kerbau atau babi, maka itulah yang akan menjadi dasar pembagian warisan dikalangan anak-anak almarhum itu. Jadi memang daging kerbau yang dibagi-bagikan dari bala’kaan itu adalah milik orang mati itu sendiri. orang Toraja dulu bekerja keras selama hidup, berupaya mengumpulkan harta. Untuk dibagi-bagikan pada ritus mantaa di upacara kematiannya! Dengan demikian tujuan orang Toraja tempo dulu mengumpulkan harta bukanlah untuk dimiliki dan dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagi-bagikan pada upacara kematiaannya kelak kepada mereka yang hidup, sebelum ia sendiri berangkat ke dunia akhirat.[7]

KESIMPULAN
Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam kebudayaan Toraja di dalamnya terkandung nilai-nilai Injil salah satunya adalah upacara mantaa yang dilakukan dalam upacara rambu solo’. Dalam upacara mantaa nilai yang terkandung seperti berbagi (bnd. Mat. 14:13-21; Mrk. 6:32-44; Luk. 9:10-17; Yoh. 6: 1-13). Selain itu nilai yang terkandung di dalamnya adalah penghargaan kepada orang-orang yang telah bekerja dalam upacara kematian. Jadi nilai luhur yang mendasari ritus mantaa ialah kerelaan berbagi milik, berbagi kehidupan, semangat kebersamaan, solidaritas komuniter dan persatuan keluarga.

Terima Kasih Telah membaca


[1] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere-Flores: Ledalero, 2002), hlm. 97-98.
[2] Ibid, hlm. 96.
[3] Berdasarkan Wawancara Penulis dengan Bapak Samuel Karre, Sabtu, 12 Desember 2015.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Jhon Liku Ada’, Reinterpretasi dan Reaktualisasi Budaya Toraja (Yogyakarta: Gunung Sopai, 2012), hlm. 39.
[7] Ibid, hlm. 39-40.

Buku bacaan:
   

0 komentar:

Post a Comment