MODEL ANTROPOLOGIS
Model
antropologis bersifat ‘’antropologis’’ dalam dua arti. Pada tempat pertama,
model ini berpusat pada nilai dan kebaikan antropos,
pribadi manusia.dan yang kedua, model ini bersifat antropologis dalam arti
bahwa ia menggunakan wawasan-wawasan ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi.
Arti kedua dari model antropologis ini mengacu pada kenyataan bahwa penekanan
utama dari pendekatan ini menyangkut teologi kontekstual adalah kebudayaan.[1]
Jadi, perhatian utama model antropologis adalah pengukuhan atau pelestarian
jati diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen.[2]
Maka dalan hal ini penulis hendak memaparkan contoh berteologi dengan
menggunakan model antropologis dalam budaya Toraja yakni acara mantaa (matawa).
Acara
mantaa merupakan salah satu acara
terpenting dalam rangkaiaan upacara rambu
solo’. Acara mantaa adalah
pembagian daging yang dilaksanakan oleh pemangku adat kepada semua pihak dalam
kampung di mana upacara rambu solo’ dilaksanakan.
Perlu diketahui bahwa nilai yang terkandung di dalamnya adalah berupa
penghargaan kepada pejabat tertentu misalnya pemerintah, tokoh agama, dan
pendidik. Terkadang pembagian daging (mantaa) harus dikonsep sebelum
pelaksanaannya.[3]
Dalam acara mantaa versi Kesu’ bentuk mantaa
terdiri dari tiga macam[4]:
1. Mantaa palonto’
ialah pembagian daging yang ditujukan kepada rumpun keluarga. Otomatis
pembagian palonto’ itu harus
berurutan secara sistematis yakni mendahulukan tana’ bulaan selanjutnya tana’
bassi, kemudian tana’ karurung,
dan yang terakhir tana’ kua-kua kalau
masih ada daging.
2. Mantaa
penghargaan kerja
Pembagian daging kepada
pekerja. Daging ini dikhususkan kepada yang sudah berupaya mengerjakan
pemondokan, dekorasi, bahkan kepada yang mengiris daging pun harus mendapat bagian
dan pembagian daging macam ini disebut mantaa tombi.
3. Mantaa ma’pelindo
(memilah yang lebih layak) dilaksanakan setelah pembagian kepada pemangku adat
dan masih ada yang bisa dibagi. Hal ini hanya dapat dilaksanakan jikalau daging
sangat terbatas sedangkan yang hadir sungguh banyak.
Disamping
ketiga cara mantaa di atas terkadang
masih ada juga yang dilaksankan pada tondo’
(daerah) tertentu yang biasa disebut mantaa
ma’kala’ (pa’lembang-lembang) dan terkadang disebut juga mantaa padang. Yang dimaksud dengan ma’kala’, ma’lembang-lembang, atau mantaa
padang ialah daging yang diberikan
kepada kampung tetangga karena sudah tertanam sejak dahulu kala. Dengan kata
lain mantaa (pemberian daging)
semacam ini terlaksana karena adanya perjanjian antar kampung.[5]
Di
dalam Ossoran Badong To Dirapai’ berisi
riwayat hidup almarhum sejak dilahirkan, bertumbuh menjadi dewasa, berkarya
dalam masyarakat, menjadi tua, meninggal lalu dilangsungkan upacara
kematiannya; kemudian berangkat menuju ke Puya
dan dari sana beralih ke Barat, di mana ia naik ke dunia ke atas, menjadi
dewa (mendeata membali puang).[6]
Pada babak upacara kematiannya, salah satu kumplet berbunyi sebagai berikut
(dikutip dlm. Liku-Ada’, 20010:162):
Ungaraga
lempo’-lempo’, Ia
mendirikan sebuah panggung kecil,
Sola to
lempo bumarran, Sebuah
aram-aran berbau amis,
Nanai
mantaa langsa’ , Tempat ia membagi-bagikan langsat,
Ussearan
buakayu. Menebarkan
buah-buahan.
Sandamibka’panan
balang, Maka semua
beroleh daging bagian paru-paru,
Sola usuk panamile. Dan juga rusuk
kerbau jantan besar.
Bala’kaan atau
lempo bumarran adalah panggung yang
didirikan pada upacara kematian. Tempat membagi-bagi daging (mantaa). Kuplet di atas menandaskan
bahwa orang mati itu sendirilah (secara figuratif) yang mendirikan bala’kaan itu, tempat ia membagi-bagikan
daging kerbau yang dikorbankan pada upacara kematiannya itu. Semua pihak dalam
kampung memperoleh bagian. Dulu kerbau yang dikorbankan dalam upacara kematian
seseorang dipandang sebagai miliknya asendiri. Karena kalau anak-anaknya
mengorbankan kerbau atau babi, maka itulah yang akan menjadi dasar pembagian
warisan dikalangan anak-anak almarhum itu. Jadi memang daging kerbau yang
dibagi-bagikan dari bala’kaan itu
adalah milik orang mati itu sendiri. orang Toraja dulu bekerja keras selama
hidup, berupaya mengumpulkan harta. Untuk dibagi-bagikan pada ritus mantaa di upacara kematiannya! Dengan
demikian tujuan orang Toraja tempo dulu mengumpulkan harta bukanlah untuk
dimiliki dan dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagi-bagikan pada upacara
kematiaannya kelak kepada mereka yang hidup, sebelum ia sendiri berangkat ke
dunia akhirat.[7]
KESIMPULAN
Dengan
demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam kebudayaan Toraja di dalamnya
terkandung nilai-nilai Injil salah satunya adalah upacara mantaa yang dilakukan dalam upacara rambu solo’. Dalam upacara mantaa
nilai yang terkandung seperti berbagi (bnd. Mat. 14:13-21; Mrk. 6:32-44;
Luk. 9:10-17; Yoh. 6: 1-13). Selain itu nilai yang terkandung di dalamnya
adalah penghargaan kepada orang-orang yang telah bekerja dalam upacara
kematian. Jadi nilai luhur yang mendasari ritus mantaa ialah kerelaan berbagi milik, berbagi kehidupan, semangat
kebersamaan, solidaritas komuniter dan persatuan keluarga.
Terima Kasih Telah membaca
[1] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere-Flores:
Ledalero, 2002), hlm. 97-98.
[2] Ibid, hlm. 96.
[3] Berdasarkan Wawancara
Penulis dengan Bapak Samuel Karre, Sabtu, 12 Desember 2015.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Jhon Liku Ada’, Reinterpretasi dan Reaktualisasi Budaya
Toraja (Yogyakarta: Gunung Sopai, 2012), hlm. 39.
0 komentar:
Post a Comment