Wednesday, September 12, 2018

Bulangan Londong



“ Bulangan Londong
Sembangan Suke Barata ”



Kata  Bulangan berasal dari kata Bulang yang berarti memasang Sigai (sinigai). Sementara dibulang=dibulappattang yang berarti mengikat tadji pada kaki ayam sabungan, tapi bukan ditempat biasa, hal ini dilakukan apabila ayam yang akan diadu tidak sebanding. Bulang diartikan pula seb agai tali pengikat pada ayam jago. Londong = ayam jantan, Sembangan = Memanjung sekali saja dengan miring, suke = tabung (bambu), bumbungan; Barata berarti perkabungan.  Namun hal ini berbeda dengan kata baratu, baratu berarti kumpulan batu, taruhan yang dikumpulkan oleh seluruh peserta. Penggunaan kata baratu pada kalimat sembangan suke baratu lebih mengarah pada pengertian sabung ayam dengan taruhan benda-benda, dimana benda taruhan seperti emas, perak, uang dan sebagainya dimasukkan kedalam satu tempat. Siapa yang keluar sebagai pemenang, dialah yang berhak memperoleh Suke baratu.  Bulangan Londong Sembangan Suke Barata sebagai salah satu bagian liturgi (lesoan alukna Rambu Solo’) dalam Rambu Solo’ dapat diartikan sebagai adu ayam jago dengan tujuan buluh ayam yang rontok dimasukkan kedalam Suke Barata (Tuang-tuang) yang sebelumnya telah dipotong (disembang) oleh to minaa. Bulangan Londong Sembangan Suke Barata  berintegrasi dalam aluk rambu solo’, khususnya pada pelaksanaan aluk barata kendek (dipuli misa’ pitu lompo). “ Bulangan londongna lessoan barata, sembangan bulo  lako toditolabonggalelena disonda kapayunganna dipatiran sangka’, dilau’eran pangalukanna situru’ pangraku’na”.
         Menurut Mitodologi Toraja Bulangan Londong berawal (tigaronto’) diatas langit.  “Bahwa Pong Matua meminta untuk mendirikan rumah a’riri bonga ura’na, untuk mendirikan rumah ini dibutuhkan pande petanga’ (ahli pikir), pande paita (ahli nujum), pande manarang (orang pintar), dan pande paliu’ (pengawas). Setelah rumah a’riri bonga posi’ selesai dilakukanlah syukuran atau mangrara banua dan sebagai syaratnya dipotonglah tiga macam hewan atau di tallung rarai yakni ayam, babi dan kerbau” Dalam ritus aluk todolo ayam mempunyai makna persembahan baik dalam pesta rambu tuka’ maupun dalam upacara rambu solo’, lebih-lebih pada acara kaperokan (aluk sumpu lolokna= ditallu rarai yakni darah ayam, babi dan kerbau). Demikian pula dalam rambu solo’ ketika meaa (ma’peliang) ayam dibawa ke to’ liang dan diadu namun tanpa taruhan sebgai kelengkapan upacara dengan harapan ayam akan ikut membawa keselamatan jiwa si mati. “ Kengku manukna Lapandek londongna Tulang Didi’ angku tiaranko sau’ tondok pong Lalondong”. Seorang pemimpin yang memenuhi syarat kepemimpinan tallu bakaa dalam upacara rambu solo’ rapasan sapu randanan baru dikatakan sundun (lengkap) ketika ia diberi bulangan londong. Karena hal ini akan menjadiAyam jantan yang akan diadu dirawat dan dilatih secara khusus dengan harapan ia akan membawa kemenangan bagi pemiliknya. 

Dalam masyarakat Toraja ma’pasibobo’/ma’pasibitte londong dianggap sebagai hobby dan hiburan. Sabung ayam menjadi hiburan masyarakat dimulai pada waktu peristiwa “To Pada Tindo To Misa Pangimpi, Untulak Buntunna Bone, dilangda Sendana Bonga.” Terbangun kesepakatan diantara mereka bahwa Bulangan Londong akan menjadi wadah pertemuan atau tamuan mali’ bagi mereka (baca=To Pada Tindo) apabila salah satu diantara mereka meninggal. Akan tetapi kemudian orang banyak mulai turut melakukan sabung ayam dengan memasang alat yang dapat mempermudah kekalahan ayam orang lain dengan memasang taji bambu (tadi tallang) di kaki ayam yang akan diadu. 
     Dengan masuknya orang Bugis yang mulanya datang berdagang kopi kemudian mengajak bangsawan Toraja untuk berjudi maka diperkenalkan pulalah alat canggih yakni taji besi yang dilumasi dengan jeruk nipis (lemo tadi). Dengan taktik permainan judi yang dimodali (pa’palele) oleh pedagang dari luar Toraja maka dimulailah saling menjual dan merampas harta benda.
“…kabuto-buto to lino, tang mana’pa tau mata. Nakua:
“ Mambela Bone, nakua: langka Balanda”. Mambela, madappi sia. Langka, dio sia ren. Sanglebangan sarong sia, sangtengka anak dara sia.
Sulemo untiro bone, ullinde-line Balanda, umpesondang tana tangnga. Tang kariunna Bone, tang kapadang-padangnna kaluku manna riunna, bua manna si api’na, pala si rongrean manna…”(Gelong Sangpulo Dua).
Dari hal ini dapat dikatakan bahwa permainan judi sabung ayam bukan berasal dari kebiasaan kalangan orang Toraja tetapi datangnya dari luar yakni suku Bugis. Judi bukan adat bagi orang Toraja apalagi yang berkenaan dengan judi sabung ayam.  Judi dimasukkan oleh orang Bugis tidak lain dari strategi dan skenario laten untuk menaklukaan dan merusak sumber daya manusia Toraja. Karena sejarah membuktikan perang fisik tidak dapat menaklukkan Tana To Lepongan Bulan. Dalam kegiatan Judi Sabung Ayam dimasukkan bentuk judi lain seperti dadu yang dibawa oleh orang Bugis yang bernama Lo Dani. “Eru’matanna Lo dani, eru’ landa isinna, disura’ dadu, doki to doi”. Karena telah berkembang menjadi judi yang melekat dalam aluk rambu solo’ maka ia harus dimintakan izin yang disebut “paramisi” pada masa penjajahan Belanda khususnya di Toraja Dari sini jelas bahwa Judi Sabung Ayam bukan bagian dari aluk, adat dan kebudayaan Toraja, apalagi kalau itu dianggap bagian dari ritus rambu solo’. Karena kebudayaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena judi sabung ayam tidak memenuhi dan memajukan kebutuhan hidup maka judi sabung ayam bukan budaya. Dalam acara syukuran tersebut maka dibagi pulalah struktur  social dan kedudukan dalam masyarakat (toe nene’) kepada semua masyarakat yang hadir. Ada yang ditentukan menjadi Parengge’, to Makaka, dan ada juga yang ditentukan menjadi budak karena ia terlambat datang pada acara tersebut.
“…ia yang akan menjadi budak (la lumbang mendadi peosok ongan). Tapi ia mengajukan keberatan, bahwa bagaimana mungkin ia ditunjuk sebagai budak sementara kita satu darah, satu daging, kita bersaudara. Maka diputuskanlah untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan hukum adat (Petari Pempitu Dao Langi’). Sitetean Tampo, siukkunan, sibambangan, sipakoko, simimmi’, sidemeran padang, dan yang terakhir Silondongan. Namun orang yang telah ditentukan sebagai budak tetap kalah”.
Adapun ayam jantan (londong) bagi kehidupan orang Toraja memberi arti:
1.      Ayam sebagai simbol ethos kerja manusia Toraja, ia membangunkan manusia dari pembaringan, meningatkan manusia untuk mulai beraktivitas pada pagi hari dan berhenti pada saat ayam kembali keperaduannya. Ia menyambut sinar pagi untuk merajut dan melanjutkan kehidupan bagi umat manusia.
2.      Ayam menjadi simbol ketangguhan dan keberanian dan kepemimpinan manusia Toraja, khususnya pada upacara Rambu Solo Rapasan Sapu Randanan. Kaum kerabatnya turut berkabung dengan kayunan londong..

           Terima Kasih Telah Membaca!!!

 Sumber :
    1. Teodorus Kobong, Injil dan Tongkonan, BPK Gunung Mulia, 2000
    2. Kamus Bahasa Toraja.


2 comments:

  1. situs resmi sabung s128 online terpercaya!
    Yuk Gabung Bersama Bolavita Raih Kemenangan Anda Sekarang Juga 100% Tanpa Bot
    Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
    WA: +628122222995

    ReplyDelete